Cerpen

title

Aku Bukan Orang Ketiga


Penulis: Muthi' Masfu'ah | Posting: 10 September 2021

Namaku Putri. Sudah 7 tahun aku bekerja di kantor pusat salah satu perusahaan swasta ternama di kota kecil ini. Awalnya, aku bertugas di bidang hubungan masyarakat, kini aku ditempatkan di bidang pengembangan sumber daya manusia. Tugasku menangani pelatihan karyawan baru atau karyawan lama yang akan pindah ke jenjang jabatan yang lebih tinggi.

Semula aku sangat berkomitmen pada pekerjaan, selalu bersikap profesional, fokus dengan pekerjaan, dan tidak mau melibatkan diri pada hal-hal di luar tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan. Tapi entah kenapa, komitmen itu akhirnya bergeser. Akhir-akhir ini aku mulai tak konsentrasi pada pekerjaanku. Yaitu sejak kepala bidang pengembangan sumber daya manusia dipimpin oleh Pak Maulana.

Kehadiran Pak Maulana, kepala bidang baru itu, sangat mengganggu konsentrasiku. Mungkin ia tahu, kalau aku kesepian dibalik ketegaranku. Mungkin ia tahu betapa beratnya ditinggal suamiku, Argi, yang wafat 1 tahun lalu. Kepergian Argi begitu membekas dalam gemuruh hatiku, hingga aku belum bisa membuka hatiku untuk yang lain.

Entah dengan kehadiran Pak Maulana. Aku tak kuasa menolak. Setiap aku menaruh berkas laporan pengembangan di ruangnya, aku tak kuat menatap matanya yang teduh, namun tajam menatapku dari ujung kaki sampai ujung jilbabku. Risih juga rasanya. Tapi entahlah, hatiku selalu bergetar. Aku selalu teringat Argi, mungkin karena Pak Maulana seusia dengan Argi, sekitar 45 tahun.

Berapa kali kami tak sengaja beradu pandang, walau aku ingin meminjamnya sebentar, sekadar menatapnya lama, hanya untuk mengusir kesepianku. Entahlah, aku mulai suka mencuri pandang. Suka melihat rambut hitamnya yang mulai tumbuh uban-uban kecil. Bila masuk ruang kerja Pak Maulana, aroma khas wangi parfumnya menggoda hatiku.

Makin mengganggu konsentrasiku. Jujur, aku suka kedewasaannya. Mungkin kharismanya. Suka suaranya yang makin berat dengan dialek tertentu. Aku makin suka caranya memandangku. Aku makin suka caranya memerhatikananku, dengan cara yang sederhana. Apakah Pak Maulana yang terpikat atau aku yang terpikat?

Hingga pesan WhatsApp (WA) darinya berulang kali aku terima, mengajak makan siang bersamaku. Aku masih bisa menolaknya halus, dengan beribu alasanku. Aku masih bisa berpikir jernih, meski sahabatku, teman sekantor berani menjalin hubungan dengan pria beristri di kantorku. Aku belum siap dan akan merasa bersalah ketika istrinya menelepon. Aku masih merasa bersalah ketika anak-anaknya menelepon ketika sedang kunikmati kebersamaan dengannya.

Untuk itu cukup bagiku melihat sosoknya dari jauh. Itu saja sudah mampu mengganggu konsentrasi kerjaku. Karena sungguh, aku tak pernah bermimpi memiliki kekasih pria beristri. Walau, dia sungguh memikatku. Apakah semua laki-laki makin dewasa dan berkharisma ketika dia mencapai usia 45 tahun ke atas? Aku bagai terpasung cinta, pada pria yang beristri!

“Apa salah seorang wanita mencintai pria yang sudah beristri? Dan keduanya saling mencintai?” gumamku, berusaha membuang lamunan ini.

Tak lama, terdengar suara pesan WA masuk dari telepon genggamku.

“Putri, bisa temani saya mengantar berkas ke kantor wali kota sekarang?”

Ah, entah alasan apalagi agar aku bisa menolak. Sebuah pesan WA yang jujur, selalu kunanti darinya. Sekuat apa aku menolak, padahal hatiku sudah terpikat. Duh, apakah benar aku jatuh cinta?

***

“Put, kamu benar mau pindah kerja?” tanya Tanti berusaha mengalihkan pandanganku kepadanya.

Aku menggangguk lemah.

“Mba Put, jadi istri kedua kenapa? Kan gak dilarang agama, kamu bukan merebut suami orang. Kalian saling cinta,” Azizah ikut bersuara.

Aku menatapnya datar, sama datarnya aku menatap pagi dan langit hari-hari ini. Aku menghela nafas, entah berapa kali. Tanganku masih terus memunguti barang-barang di atas meja kerjaku, dan menaruhnya di dalam kardus-kardus kosong. Pak Maulana sedang dinas keluar kota, sehingga aku dapat kesempatan membersihkan barang-barangku di ruang kerja.

“Put, kamu dengar kami lagi bicara serius denganmu kan?” Tanti terus mengejarku dengan tatapannya dan beragam pertanyaannya.

Aku hanya diam.

“Put, please, jangan pindah kerja ya. Kita sudah seperti saudara, bukan lagi sahabat Put..” Tanti terus merengek, menarik kardus barang-barangku.

“Put, kamu kenapa lemah begini sih..” Tanti menatapku dengan mata berkaca. Tanti sahabat sebayaku ini memang paling perduli padaku, apalagi sejak Argi wafat.

Aku menatapnya datar. Aku tak kuasa. Kupeluk tubuhnya erat, tangisku pecah. Azizah, tim satu kantorku yang usianya masih kepala dua pun terpaku. Matanya ikut berkaca.

“Put, bicara dong. Agar kita tau yang sebenarnya.” Tanti membujukku.

Aku masih terdiam. Mungkin mati rasa.

“Aku… Aku gak kuat… Aku gak bisa di kantor ini terus…” suaraku bergetar memecah pagi.

“Put, kamu pindah ke kantor manapun, pasti ada aja yang tertarik padamu. Kenapa tidak kamu putuskan segera yang mana yang paling menyenangkan hatimu Put. Kanapa harus Pak Maulana, Putri. Masih banyak yang lain, yang siap menggantikan Argi. Kamu kan tinggal pilih saja. Aku tau itu Putri,” Tanti menguatkanku.

“Aku belum bisa memutuskan apapun,” jawabku singkat, lirih nyaris tak terdengar. Pak Maulana yang justru berhasil “mengganggu” hari-hariku.

“Pak Maulana laki-laki lemah. Harusnya berani membuat kamu jatuh cinta, berani pula bertanggung jawab. Aku gak tega lihat kamu begini,” Tanti memegang tanganku, suaranya bergetar.

“Gak ada yang salah, Tan. Aku yang gak cerdas, kenapa harus buka hati,” suaraku masih lirih.

Ah, mana mungkin cinta diukur dengan kecerdasan apalagi logika. Tapi, bagaimana mungkin aku kuat, menatap rindu pada sosok Pak Maulana yang sudah mencuri hatiku. Sama halnya, aku tak kuat menatap sendu wajah istrinya yang belum rela ada istri kedua menemani Pak Maulana. Aku tak mau disebut orang ketiga. Aku bukan perebut suami orang. Meski Pak Maulana berani menceraikan istrinya dan meninggalkan anak-anaknya demi bersamaku.

Tidak akan itu terjadi! Aku perempuan yang masih punya logika. Aku yang akan pergi. Aku tak akan mengusik siapapun. Aku memandang sendu Tanti, Azizah, sahabat di kantorku. Maafkan, aku tak mungkin tetap bekerja di kantor ini.

***

Malam ini hatiku sudah agak tenang. Sungguh tidak ada yang mampu menolong diriku kecuali aku sendiri. Aku putuskan, besok sudah masuk kerja di kantor baru. Akhirnya aku menerima tawaran kerja adik tingkatku, di kantor barunya.

Bunyi pesan masuk, memudarkan lamunanku. Ada pesan dari Pak Maulana. Berkali-kali. Hatiku masih bergemuruh. Rindu itu belum mau pergi.

Ia mengirimkan tautan lagu kenangan kami. Aku menahan buliran bening dari penglihatanku. Tanganku masih terasa lemas, mungkin ini terakhir aku memutar lagu ini.

Beberapa pesan masuk darinya. Aku tak sanggup membaca. Mungkin tak akan pernah membacanya.

Aku menghela nafas, ada luka di sana. Aku menatap kejauhan dengan gamang dari arah jendela. Langit senja mulai berubah warna. Gelap perlahan-lahan mengusirnya pergi. Seperti perasaanku saat ini. Sesuatu terasa lepas dari jiwaku. Entah kemana. Kini, rindu itu memaksaku pergi. (***)


-----------------------------------------------------

MUTHI’ MASFU’AH. Merupakan nama pena dari Yattini. Ia alumnus Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Mulawarman tahun 1995. Istri dari H Ma’ruf Effendy, A.Md ini adalah guru Pembina Menulis dan Menggambar di SD Islam Terpadu Asy Syaamil, SDIT Cahaya Fikri serta guru Pembina FLP Kids Bontang. Muthi juga mantan ketua FLP Kaltim (Forum Lingkar Pena, November 1998 – Februari 2010) dan mantan koordinator Pemberdayaan Perempuan Anak dan remaja MUI Bontang tahun 2004 – 2005. Ia aktif menerbitkan karya sastra di Kaltim, dan hingga sekarang mengisi berbagai training menulis, menggambar, dan motivasi remaja di Kaltim. Saat ini aktif sebagai ketua Gagas Citra Media, Literasi Kaltim, Owner Rumah Kreatif dan Bimbel Salsabila, juga pernah menjadi pengasuh rubrik Obsesi di radio Buana 101.5 FM Bontang. Info lain tentang Muthi’ Masfuah bisa dilihat dalam tautan menu Penulis di situs web ini.


Ilustrasi: Bizman


Share:
Cerpen Lainnya