Kami duduk berkerumun mengelilinginya dalam sebuah bilik sempit, satu satunya ruangan yang ada dalam rumahnya itu. Bilik itu tidak saja sebagai kamar tidur, tapi juga langsung sebagai sebagai tempat menerima tamu sekaligus untuk dapur dan tempat menyimpan segala macam perabot. Di dinding terpancang 18 macam senjata kuno yang sudah karatan lantaran usianya yang lebih tua dan pemiliknya.
Orang tua itu konon sudah berumur 140 tahun lebih. Kerut-merut pada wajahnya memang menunjukkan usia yang sudah lanjut. Cuma satu keanehan yang ada padanya, ia masih kuat bicara, masih dapat mendengar dengan baik dan dapat pula berjalan dengan gagah. Penglihatannya pun masih terang.
Katanya selama hampir satu abad dia tidak pernah lagi makan nasi, ikan, daging, dan segala makanan yang mengandung lemak. Dia cuma makan sayur-sayuran dan kadang-kadang buah. Kerjanya di kampung kami hanyalah membuka sebuah perguruan dalam hal-hal kebatinan, yaitu ilmu-ilmu gaib.
Selain itu, orang tua itu, senang sekali bercerita asal ada yang mau mendengarkan. Dalam inti cerita itulah kemudian terdapat segala kunci pelajaran kegaiban. Kepada para muridnya, ia tidak meminta apa-apa, kecuali murid itu sendiri yang merasa berutang budi kepadanya dan membalas kebaikan itu dengan membawakan kepadanya sayur-sayuran yang sudah dimasak di rumah atau buah-buahan.
Di rumahnya, dia tidak pernah membuat api untuk masak. Kalau dia punya sayuran, tentu sayur itu dimakannya mentah. Jangan harap di rumah itu ada korek api, sebab dia tidak pernah membelinya. Kalau ada orang sebelah atau murid-muridnya datang membawakan lampu, di rumahnya kelihatan ada cahaya keluar menembus dinding yang berlubang di sana-sini. Kalau tidak, di rumah itu pun tak kelihatan apa-apa. Gelap.
Dukun tua itu, tak pernah tahu nilai uang. Jangankan nilai, mata uang pun ia tak pernah mau memilikinya. Buat apa uang, katanya. Itulah keanehan dukun tua di kampung kami.
Meskipun demikian dia sangat terkenal, sebab ilmunya. Dia dapat dengan seketika menyebut nama siapa saja yang datang, meskipun orang itu baru pertama kali masuk ke rumahnya. Dia tahu pula keperluan orang, sebelum orang itu mengatakannya.
Tidak ada satu benda tajam yang bisa melukai kulit yang lisut itu, lantaran ia kebal pada segala macam besi. Kalau ia mau dalam sekejap mata ia bisa menghilang tak terlihat oleh mata, sebab mempergunakan ilmu pemetang.
Atau kalau dengan tenaga tuanya ia memegang kita, jangan harap dapat lepas dari pegangan itu. Itulah ilmu gumgum. Sebaliknya, pernah pula ia dipegangi oleh murid-muridnya sebanyak sebelas orang, dengan mudah ia lepas, lantaran ia mempergunakan ilmu walut putih.
Itulah segala macam ilmunya. Lantaran melihat dengan mata kepala sendiri terpaksa atau dipaksa untuk mempercayainya. Oleh itu pula ia jadi dikenal dan orang lalu berguru kepadanya, ingin punya kepandaian seperti dia pula.
Malam itu kami berkerumun di dekat Dukun Tua itu. Sebuah pelita minyak yang terletak di atas meja reot di sudut ruangan satu-satunya penerangan yang ada. Aku duduk di antara sekian banyak muridnya. Kedatanganku ke situ bukanlah untuk belajar apa-apa, cuma aku ingin tahu betapa sesungguhnya orang tua itu.
Aku juga yakin benar-benar bahwa ia punya bakat sebagai seorang tukang cerita. Aku tertarik kepadanya bagaimana ia bisa menarik minat sekian banyak pendengarnya dengan cerita yang begitu lancar dan bersemangat. Malam itu, untuk kesekian kalinya aku datang ke rumahnya dan mendengarkan ia bercerita.
Dukun itu mendehem beberapa kali dan menghapus ujung bibirnya dengan ujung jubahnya yang kumal dan tua seperti usianya pula, di mana sudah banyak bolong yang tampak.
“Tidak satu pun di dunia ini dapat berlaku tanpa izin Tuhan,” begitu ia mulai ceritanya, “dan kewajiban manusia untuk meminta izin itu. Tapi, untuk itu pun harus tahu apa-apa syaratnya. Dulu, ketika aku hampir-hampir putus asa sebab beberapa kali aku mengalami kegagalan. Kemudian tahulah aku bahwa hal itu belum lagi mendapat izin-Nya. Lalu aku coba lagi dan akhirnya seperti kalian lihat aku dapat menghilang di mana saja dan kapan aku mau.”
Dukun tua itu mengusap-usap hidungnya, kemudian meneruskan. “Banyak cara untuk dapat menemukan ilmu pemetang. Di antaranya yang perlu kalian ketahui begini. Carilah sebuah lesung lunggal dan tujuh ekor ikan pepuyu. Pergilah ke suatu tempat yang sunyi dimana ada anak sungai yang mengalir dengan arusnya yang agak deras. Ikan pepuyu tadi dimasukkan ke dalam lesung yang diberi berair sedikit, lalu diaduk dengan entong atau pengaduk nasi.”
“Hal ini harus dikerjakan setelah lewat tengah malam, tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Sebab bila ada orang lain yang mengetahuinya, maka batallah pekerjaan itu. Menjelang jam tiga akan ada tujuh benda yang berputar-putar di atas kita dengan kecepatan luar biasa. Menyambar-nyambar seperti lebah. Jangan menoleh dan menengadah, tapi teruslah dengan kerja mengaduk-aduk. Benda yang beterbangan di atas kepala kita tadi makin mengurangi kecepatannya, dan lama-lama jelaslah bahwa benda tadi adalah perempuan yang terbang menyambar-nyambar.”
“Bila sudah jelas benar benda tadi, dan kita sudah lihat kain-kainnya yang berjeleweran dengan warna-warni, itulah tandanya bahwa benda itu adalah hantu beranak. Pusatkan perhatian pada hantu beranak yang terbang di sekitar kita. Begitu kain yang dipakai hantu itu berjuntaian ke arah kita, dengan cepat sambarlah. Lekas lari dan terjun ke air, lalu berenang di bawah air melawan arus. Artinya kita harus pergi berlawanan dengan arus sungai.”
“Usahakan air itu berbuih, yaitu dengan jalan memukul atau menebis-nebiskan air itu. Buih air tadi akan turut terbawa air dan hantu beranak akan mengikuti air itu ke hilir, sedangkan kita lari ke hulu. Jangan berenang dulu ke tepi, tapi haruslah dalam air (meski tidak lagi menyelam) sampai menjelang subuh, dan cuaca benar-benar sudah terang, atau bila perlu sampai pagi. Kain yang dirampas dari hantu beranak tadi jangan sampai dilihat orang. Kain itu kemudian bila kita pakai untuk penutup apa saja yang ada pada tubuh, lengan umpamanya, sudah pasti tidak akan dapat terlihat mata manusia. Itulah satu cara mendapat ilmu pemetang.”
Dukun tua itu membuka mulutnya lebar-lebar, dan dari mulut itu mengeluar bau yang tidak begitu sedap dicium,. Jelas nampak giginya yeng berderet kecil kecil seperti gigi bayi. Untuk kesekian kalinya aku jadi heran, bahwa bila orang sudah jadi ompong, tumbuh gigi bari kecil-kecil seperti gigi anak-anak.
Orang tua itu diam sebentar memerhatikan kami seorang-seorang untuk mengetahui benarkah kami mengerti ceritanya. Lalu seorang dari kami menanyakan padanya, apakah dia memiliki kain seperti ceritanya itu. Dia menjawab tentu saja, tapi katanya tak seorang yang boleh melihat kain itu, sebab kalau ada orang lain yang melihatnya batallah kesaktiannya.
Setelah sekali lagi ia mengusap hidung dan bibirnya ia meneruskan pula. “Ada cara lain lagi. Begini, pada malam Jumat ketika 14 hari bulan, di perempatan jalan yang sepi sesudah tengah malam hidupkanlah api di mana di atasnya terpanggang seekor bengkarung dengan tusuknya dari kayu atau kawat baja. Berlakulah seolah kita sedang membuat sate, sambil sesekali berkata pelan-pelan sate, sate, sate. Kemudian akan datang seorang tua bertongkat dengan janggut dan rambut yang sudah putih, terseok-seok dan sempoyongan oleh tenaga tuanya. Kalau orang tua itu meminta sate bertindaklah dan katakan kepadanya bahwa sate itu cukup untukmu seorang.”
“Kalau dia memaksa juga adakanlah tawar-menawar. Sate ditukarkan dengan tongkatnya. Kalau ia mau berikanlah sate tadi dan segeralah minta tongkatnya dan lekaslah Iari pulang. Jangan tidur hingga hari siang. Kalau kita mau tidak dilihat orang, pakailah tongkat itu di tangan kiri dan berjalanlah sempoyongan dengan terbungkuk-bungkuk. Itulah ilmu pemetang pula.”
Orangtua itu mendehem lalu meludah di lantai. Ia diam kini. Dari semua mata yang mengerumuninya membayang kepuasan atas pelajaran tadi. Mungkin ada di antaranya yang mau dengan segera mencobanya. Entahlah. Tapi menurut kata Dukun Tua itu, hal itu pasti akan berhasil asal saja yang melakukannya tidak mengenal arti takut.
Di sekitar kerumunan tadi cuma terdengar jelas suara napas turun naik beraturan. Semua mulut terkunci rapat-rapat. Diam kaku dan sepi. Pelita minyak berkedip-kedip ditiup angin dari luar lewat celah-celah dinding yang nampak bengkah di sana-sini.
Orang tua itu diam, terus diam dan diam. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suatu kejadian yang mengherankan. Dia, Dukun Tua yang bercerita tadi, tiba-tiba hilang dari pendangan kami. Lalu terdengar suaranya yang serak parau tertawa pelan-pelan. Ketika tanganku menjangkau ke arahnya duduk tadi, aku merasa menyentuh tubuhnya, namun mata kami tak menampak apa-apa.
Sekali lagi terdengar ketawanya. Sedang kami duduk terheran-heran. Melihat keadaan itu ia menampakkan diri, duduk di tempatnya semula. Dengan demonstrasi seperti ini banyak di antara kami mau mencoba menemukan ilmu pemetang. Namun, sampai saat tulisan ini kubuat aku belum pernah mencobanya lantaran aku belum pernah mendapatkan akal cara menangkap seekor bingkarung untuk dibuat sate.
Masih banyak lagi cara untuk dapat menghilang, demikian katanya, menambahkan setelah melihat kami begitu sibuk membicarakan ceritanya.
“Adakah cara lain yang lebih mudah mengerjakannya?” seorang kawan bertanya takut-takut.
“Tapi pun ada kesukarannya. Begini, carilah seekor kucing yang hitam seluruhnya. Kukunya pun harus hitam. Biasanya kalau kucing itu berwarna hitam dengan kuku yang hitam, ujung lidahnya pun tentu hitam. Nah, sembelihlah kucing itu pada malam Jumat dengan tidak seorang pun melihatnya. Kemudian bungkus dengan kain hitam dan kuburkan pada suatu tempat. Bila sudah, tubuh kucing itu hancur, artinya beberapa bulan kemudian, juga jatuh pada hari Jumat, pergilah ke kuburan kucing tadi dan bongkarlah. Tulang-tulang yang berserakan kumpulkan kembali, sampai pada bagian yang sekecil-kecilnya. Ambillah potongan-potongan tulang itu dan pegang dengan dua ibu jari telunjuk dan ibu jari dan menghadap cermin.”
“Begitulah lakukan terus-menerus, sepotong demi sepotong dipegang tulang tadi, hingga sampai pada satu di antara sekian banyak potongan tadi kita kemudian tidak menampak diri kita lagi pada cermin. Itulah tandanya, bahwa kita telah menemukan ilmu pemetang. Inilah yang termudah dapat dilakukan,” demikian keterangannya. “Hanya saja,” katanya kemudian, “di antara berpuluh kucing belum tentu ada kucing hitam seekor. Dan banyak orang tak sampai hati membunuh seekor kucing yang begitu jinak hidup di rumah.”
Untuk kesekian kalinya suasana jadi sepi sesudah ia menutup cerita. Masing-masing pikiran tertuju pada pilihan yang mana di antara ilmu tadi yang dapat dilakukan. Kalau memang belum “jodo” sukarlah dipastikan mana yang dapat dilaksanakan. Tapi, seperti kata Dukun Tua itu, tak satu pun yang boleh berlaku di dunia ini, kalau tidak seizin-Nya.
Karena malam telah larut dan udara di luar begitu lembap, kami senggol-menyenggol antara seorang ke seorang, sebagai isyarat untuk pulang. Kami pun bangkit meninggalkan Dukun Tua setelah mengucapkan terima kasih dan berjanji akan datang kembali keesokan malamnya. Kami kemudian bergantian sujud dan mencium telapak tangannya, sedang orang tua itu masih tetap tak bergerak dari duduknya.
Ketika sampai di luar kami berkumpul pula membicarakan “pelajaran” yang baru kami terima di bawah lampu jalan yang taram-temaram yang sudah mulai disirami embun malam yang dingin dan lembap. Lalu masing-masing dengan gontai menuju rumah setelah sepakat esok malam akan datang berkumpul untuk meminta pelajaran bagaimana tahan pukulan dan kebal terhadap segala senjata tajam.
Malam itu aku mimpi suatu yang indah sekali, dan betapa nikmatnya hingga bangun esoknya terpaksa ibu menggoyang-goyangkan tempat tidurku dan membuka jendela. Ketika seberkas sinar matahari pagi menyinari mukaku dan pemandangan menjadi silau, barulah aku bergerak turun dari pembaringan.
Sebelum meninggalkan tempat tidur aku melihat di tingkap jendela beriring-iring semut hitam tebal membawa seekor kupu-kupu yang telah mati kaku. Alangkah baiknya, kupu-kupu tak akan mati-mati atau setidak-tidaknya kebal, begitu pikirku. Setelah ibu melengking nyaring memanggilku dari dapur, aku pun bergegas ke belakang, mandi.
Hari itu aku dapat tugas dari kantor dimana aku bekerja untuk mengudik ke Hulu Mahakam dengan motor balap guna memeriksa benda kuno yang kabarnya ada ditemukan penduduk kampung. Belum jelas benda apakah itu.
Sore itu kedatanganku dari Hulu Mahakam agak terlambat. Setelah aku pergi ke rumah kepala bagianku untuk melapor hasil peninjauan hari itu aku cuma disambut oleh anaknya yang mengatakan bahwa ayahnya sedang pergi. Aku terpaksa pulang dengan berjalan kaki. Padahal awalnya aku minta diantar dengan jip bila saja kepala bagianku itu ada di rumah.
Dan alangkah heran. Ketika aku melewati rumah Dukun Tua, kulihat orang banyak berkumpul berkelompok-kelompok. Tentu ada perkelahian lagi, begitu pikirku. Sebab sering terjadi perkelahian dan pertumpahan darah . Biasanya Pak Tua-lah tempat orang menyandarkan diri sebelum soal itu disampaikan ke tangan polisi. Begitu besar wibawanya.
Setelah aku dekat benar ke rumah itu, di halaman sebelah kulihat orang-orang menorah kayu dan memotong papan-papan. Aku rasakan sesuatu yang tidak enak sebagai firasat terjadi sesuatu. Meski demikian tanpa melihat dan memerhatikan lebih lanjut, aku menaiki jenjang dan masuk ke ruangan. Di sana telah duduk beberapa orang tua dan murid-murid Pak Dukun mengelilingi sebuah jasad yang telah kaku, ditutupi dengan beberapa lembar kain batik, terbujur dengan tenangnya menghadap kiblat. Pak Dukun Tua meninggal dunia sudah.
Kebaikannya telah dikenal oleh orang-orang kampung kami, meski tak seorang pun yang tahu dari mana asalnya. Dia tak punya sanak atau famili, tapi semua mereka yang menghuni kampung kami menganggap dia lebih dari famili. Itulah kelebihannya.
Entah bagaimana mula-mula diketahui sebab kematiannya, aku tak pernah ingin tahu. Ketuaannya bagiku sudah menyebabkan hal yang wajar bila maut mau datang kepadanya. Hari itu ia pergi, sebelum sempat memenuhi janjinya memberikan sesuatu kepada kami. Tuhan Maha Kuasa.
Di halaman sebelah yang pelatarannya agak luas berkumpul banyak orang. Semua mereka menceritakan keanehan orang tua itu beserta kesaktiannya ketika masih hidup, banyak hal yang dibicarakan perihal dia, yang hampir-hampir merupakan dongengan. Agaknya sukar dipercaya semua pembicaraan mereka, tapi untuk menolaknya pun tak sanggup juga lantaran hampir semua orang pernah melihat kesaktian Pak Tua itu.
Pernah kejadian orang akan menebang pohon pinang, tetapi sukar karena pohon itu terselip antara dua rumah yang berdekatan sekali. Begitu orang ramai membicarakannya, yang seorang menghendaki memotongnya sedikit di atas lebih dahulu. Yang lain menghendaki dibiarkan saja, lantaran tidak mengganggu apa-apa.
Datanglah Pak Tua menengahi. “Biarkan hari ini dan tebang besok pagi,” katanya tegas, dan nanti kerja itu serahkan kepada orang pandir ini,” begitu katanya menyebut dirinya.
Semua terdiam. Tak ada yang mau mencoba membantah putusan itu. Ketika keesokan harinya orang bangun dari tidur, semua terheran-heran melihat pohon pinang sudah tiada lagi. Cuma ada bekas-bekasnya. Itu pun tak ada yang berani bertanya, karena tahu Pak Tua memang selalu aneh. Dongeng bukan? Tidak, sama sekali bukan dongeng. Ini sungguh-sungguh terjadi.
Hari itu segala keanehan telah pergi menemui Tuhan yang Maha Esa.
Setelah mayit dimandikan kemudian disembahyangkan, gemuruhlah suara “lailaha illallah” mengantarkan jasad tua itu ke peristirahatannya.
Empat puluh malam kemudian orang masih dapat mencium bau yang sedap harum di atas pekuburannya. Sejak itu banyaklah orang yang menyepi di sekitar kuburan tersebut, meminta berkah. Sampai tulisan ini kubuat Pak Dukun masih dianggap orang keramat dan banyak dikunjungi orang bila tiba malam Senin atau Jumat. (***)
Sastra, No. 3, Th. II, 1962
-----------------------------------------------------
AWANG SHABRIANSJAH. Satu generasi dengan Flora Inglin Hari Moerdani dan Djumri Obeng. Belum banyak biodata tentang sastrawan Kaltim ini. Ada yang menyebut Awang Shabriansjah seorang birokrat dan sastrawan pada periode 1950-an sampai 1970-an. Cerpen “Dukun Tua” ini diambil dari Majalah Sastra terbitan tahun 1962 yang dipimpin Paus Sastra Indonesia HB Jassin. Sastrawan Korrie Layun Rampan menilai cerpen ini sangat khas dan spesifik mencirikan warna lokal.
Sumber: Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia
Ilustrasi: Bizman