Detik dan lonceng jam dinding ruang tamu tidak membuat Yono gelisah. Justru kucuran jam pasir itulah yang memburunya. Laju jarum speedometer Nissan Evalia, Toyota Rush, bahkan Fortuner terbaru yang beberapa waktu lalu ia pacu tergesa menuju kerabatnya, serasa kalah cepat dengan deras pasir yang mengucur di jam kesukaannya tersebut.
“Sementara ini aku titipkan mobil ini ke kamu. Jaga baik-baik seperti milikmu sendiri!”
“Sampai kapan dan untuk apa, Yon?”
“Tidak perlu kamu tahu. Yang penting jaga dan rawat saja. Jika ada yang tanya, bilang ini mobilmu sendiri. Jelas!?” tegas Yono sambil tergesa pergi meninggalkan tanda tanya dan gelisah di raut muka kerabatnya.
Jam pasir di sudut ruangan terus saja mengucur deras. Untuk kesekian kali Yono membolak-balik jam pasir tersebut. Pusing dan jengkel, mungkin itu yang disampaikan jam pasir itu jika bisa bicara. Namun itu tak sebanding dengan kegalauan Yono. Peristiwa tadi pagi, yang disampaikan istrinya telah membuat impiannya berantakan menjadi serpihan bulir-bulir pasir.
Ia memandangi foto yang selama ini jadi kebanggaannya. Ia telah banyak berkorban untuk dapat mengenakan pakaian dinas itu. Ratusan juta telah ia gelontorkan agar dapat mengenakan seragam dinas upacara impiannya. Ratusan juta demi dana operasional Tim 12 yang ia bentuk agar jabatan kepala desa dapat diraihnya.
Yono sadar sepenuhnya untuk menduduki jabatan kepala desa, ia harus siap dengan segala risiko. Jer basuki mawa bea, kesuksesan pasti butuh pengorbanan, begitu kata para leluhur. Yono tidak pernah menyesal pada apa yang ia gadaikan demi jabatan kades ini. Yono sadar yang telah dia keluarkan untuk dana kampanye dan tetek bengek terkait pemilihan kepala desa, pasti akan segera kembali. Bahkan dengan bonus yang berlimpah.
Foto pelantikannya sebagai kepala Desa Selok Awar-awar di gedung kecamatan adalah foto tergagah dari sekian koleksi foto dirinya. Foto paling besar ia pajang di tengah ruang tamu agar semua orang yang berkunjung ke rumahnya tahu bahwa ia adalah penguasa desa ini. Yono ingat betul, sebulan sebelum pelantikan, tentu saja setelah hasil rekap perhitungan suara yang memenangkannya, ia telah memesan sepatu kulit hitam khusus dari Surabaya untuk acara pelantikan. Berkemeja dan celana mlipit serba putih, dasi hitam polos, topi hitam dengan garuda di depan membuatnya tampak sangat perlente.
Kere munggah bale. Dari orang biasa kini Hariyono adalah orang yang terpandang dan berkuasa. Bukan tanpa alasan ia ngotot ingin jadi kades di Selok Awar-awar. Ia bosan hidup jadi petani yang hanya mengandalkan hasil tak pasti. Kemarau yang teramat panjang, hujan berimbas banjir, harga gabah yang tak tentu, bukanlah bisnis menguntungkan baginya. Beruntung peluang itu datang saat ia sudah jemu hidup biasa-biasa saja. Pemilihan kepala desa adalah peluang untuk membuatnya cepat kaya.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Keinginannya yang menggebu bersambut dukungan dari beberapa pengusaha. “Kami siap mendukung Pak Hariyono menjadi kepala desa Selok Awar-awar.”
“Menjadi kepala desa bukan pekerjaan mudah, Pak. Saya tidak mengerti birokrasi. Lagi pula, dana untuk sosialisasi dan kampanye tak banyak yang saya miliki. Bapak-bapak kan tahu, masyarakat tidak butuh sekadar janji, tapi juga duit untuk setiap suaranya.”
“Kami mengerti, Pak. Justru itu, kami hendak menawarkan bantuan untuk Pak Hariyono. Soal dana kampanye dan sosialisasi, biar kami yang atasi?”
“Benarkah?” kata Yono ragu-ragu.
“Tentu. Tetapi dengan syarat dan kompensasi.”
“Apakah itu?”
“Jika Pak Hariyono nantinya jadi Kades, Bapak hanya perlu memberi izin kepada perusahaan kami untuk menambang pasir di Watu Pecah yang ada di wilayah Desa Selok Awar-awar untuk dieksplorasi.”
“Maksudnya, perusahaan Bapak-bapak ini yang akan menambang pasirnya?”
“Begitulah.”
“Tetapi di daerah Watu Pecah sebagian masih milik Perhutani dan milik warga yang bertani.”
“Itu nanti pasti bisa Bapak atasi. Nantinya, jika jabatan kades sudah di tangan, Bapak bisa membuat seribu satu peraturan dan instruksi, bukan? Belum lagi, bagi hasil dan pajak penambangan itu nantinya juga bisa Bapak nikmati lho.”
“Tapi...”
“Dana yang kami tawarkan tak terbatas lho, Pak. Ingat, tawaran ini hanya kami sodorkan khusus ke Pak Hariyono.”
Impian jadilah kenyataan. Hariyono yang tadinya tidak digadang-gadang justru unggul dalam pemilihan. Warga tak menyangka Hariyono bergelimang uang dan tidak sungkan membagikan stiker, kaus, bendera, nanggap dangdutan, bahkan membagikan uang saat kampanye. Uang benar-benar membuat warga terlena. Yono pun seringkali tertawa sendiri karena warga begitu percaya dengan janji kampanyenya.
“Jika masyarakat memilih saya menjadi kepala desa, maka saya akan mendatangkan investor untuk kemajuan desa kita. Watu Pecah yang terletak di pinggir desa dan dipenuhi pasir tak berguna akan saya jadikan tempat wisata kebanggaan seluruh warga!!”
Riuh warga pun mengelu-elukan pidatonya kala itu.
Benar juga kata para pengusaha tambang itu. Begitu ia dilantik sebagai kepala desa, para pengusaha menghujaninya dengan ucapan selamat beserta hadiah. Dari sekian banyak hadiah, entah mengapa Hariyono begitu menyukai jam pasir pemberian salah satu pengusaha rekanannya. Bukan saja jam pasir seperti itu tergolong langka di era sekarang yang bergelimang jam digital, namun pasir di dalamnya mengingatkan apa yang dijanjikannya.
Tentu saja sebagai seorang yang tahu membalas budi, Yono pun berusaha memenuhi janji. Tanda tangannya sungguh aji dan bertaji. Berbagai izin atas dalih kebijakan telah berganti. Yang terpenting, setiap tanda tangannya tentu pula ada harganya. Dan terkait tambang-menambang kini ia semakin ahli. Pasir-pasir di Desa Selok Awar-awar kini baginya adalah butir emas yang berlimpah.
***
“Tosan dan Kancil berulah lagi, Pak,” ujar Dasirun membuyarkan lamunan Yono di Jumat siang. Baju koko sehabis salat Jumat yang sedari tadi sengaja dibuka karena kegerahan, segera dikancingkan.
Tak ada angin tak ada hujan, Dasirun tiba-tiba menyelonong masuk ruang kerjanya tanpa permisi. Jika itu hanya staf desa, tentu telah ia maki-maki. Tapi untuk kelakuan Dasirun yang terhitung kurang ajar, Hariyono mencoba menahan diri. Dasirun salah satu orang yang turut berjasa mengantarkannya hingga bisa menjabat seperti ini. Dasirun adalah ketua Tim 12. Sebuah tim pemenangan bentukannya saat kampanye pemilihan kades. Bahkan sampai saat ini, Desirun dan anggotanya adalah pasukan bayangan yang selalu mengawal dan melindungi setiap kebijakan yang diambilnya. Memang di mana-mana preman tak punya aturan, begitu maklum Hariyono atas kelakuan Dasirun.
“Berulah lagi maksudmu?”
“Besok, Sabtu tanggal 26 pagi, mereka mau ngajak warga demo lagi ke balai desa.”
“Besok pagi?”
“Benar, Pak.”
“Lantas apa kerja kalian selama ini? Apakah mereka tidak takut pada ancaman kalian?”
“Kami juga tidak habis pikir, mengapa mereka tetap punya keberanian menentang kita, Pak.”
“Ini sudah keterlaluan. Harus segera dihentikan.”
“Saya dan teman-teman siap menerima instruksi, Pak.”
“Segera eksekusi! Besok jadikan balai desa tempat eksekusi dan peringatan bagi warga lainnya. Tapi ingat, jangan bawa-bawa nama saya!”
“Siap!”
Dasirun segera berlalu. Hariyono segera berkemas meninggalkan kantor desa. Ia hanya pesan kepada stafnya bahwa ia mendadak ada urusan di luar.
***
“Pak...Pak... ada kerusuhan di balai desa. Kata orang-orang, yang namanya Tosan dan Kancil dikeroyok gerombolan preman hingga mati!” istri Yono mengguncang-guncang tubuhnya yang terbaring di kasur. Sejak semalam Yono memang tidak tidur. Semalaman dadanya sesak untuk bernafas. Setiap memejamkan mata, bising suara laksana puluhan backhoe berdengung di telinganya. Yono pun sebenarnya tahu jika istrinya telah bangun lalu pergi dan pulang dari pasar seperti biasanya. Istrinya pasti tahu kabar dari warga.
“Pak, buruan bangun dan tengok apa yang terjadi di balai desa sana!”
“Diam! Ini hari Sabtu. Kantor balai desa libur. Nanti juga pasti ada yang lapor ke rumah. Senin saja nanti kuurusi!” bentak Yono kepada istrinya.
“Wong edan!” rutuk istrinya sambil membanting pintu kamar.
***
Hingga malam Yono tak juga keluar kamar. Dibiarkannya istrinya yang bolak-balik mengingatkannya untuk makan. Pun Yono tak menggubris istrinya yang marah, lantas memilih tidur bersama anaknya di kamar yang lain.
Yono terus saja menatap jam pasir yang terletak di samping fotonya. Setelan seragam dinas upacara putih kebanggaannya kini tampak bagai kafan yang siap menyelelimutinya. Ketakutannya membuncah. Tiap butir pasir yang turun dari jam pasir tersebut semakin lama semakin menebar ketakutan. Badan Yono berkeringat kepanasan. Hariyono kalap. Diambilnya jam pasir dan dihempaskan ke foto di sampingnya. Braakkkk!!
Hariyono limbung tak berdaya. Sayup-sayup ia masih sempat mendengar bunyi sirine mobil polisi memasuki pelataran rumahnya. (***)
2015 - 2021
(Mengenang perjuangan Salim Kancil yang gugur karena memperjuangkan hak tanah warga 6 tahun silam di Lumajang, Jawa Timur)
-----------------------------------------------------
ENDRY SULISTYO. Penulis adalah alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di berbagai komunitas di Yogyakarta. Hijrah ke Jakarta pada tahun 2005 - 2018. Sejak 2018 menetap di Samarinda, Kalimantan Timur. Saat ini menjadi pegiat Komunitas #SejangkauanTangan Indonesia dan Komunitas TerAksara Telah menerbitkan beberapa buku sastra (antologi puisi, buku anak) dan beberapa buku penunjang pendidikan.
Ilustrasi: Bisman Nainggolan