Cerpen

title

Lolos


Penulis: Amien Wangsitalaja | Posting: 11 September 2021

Hari ini aku berjumpa Safri. Dan selalu saja aku mengalami situasi trenyuh setiap berjumpa dengannya. Beberapa tahun lalu pertemuan kami adalah di Yogya, tempat ia dan keluarganya saat itu tinggal sementara oleh tuntutan studi dan pekerjaan. Kesahajaan, barangkali itu yang kukenal dari Safri sehingga trenyuh itu selalu kurasakan tiap berjumpa atau mengingatnya.

Satu kisah yang sering kuulang-ulang kuceritakan pada keluargaku atau teman-teman mengobrol adalah kisah Safri berikut ini.

Safri menghadapi situasi yang dilematik dengan hari Minggunya. Anak-anak mengajak berjalan-jalan pada hari yang cerah itu, tapi Safri sedang malas bepergian dengan bus umum. Dan mereka bukan keluarga berpunya yang memungkinkan mereka memiliki mobil pribadi.

Sebetulnya, bagi Safri perjalanan menggunakan kendaraan umum, baik bus kota maupun bus antarkota, hampir selalu menyenangkan, bahkan meskipun sudah menjadi rutinitas. Safri hampir tiap hari naik bus pulang pergi ke kantor penerbitan tempatnya bekerja yang berada di kota berbeda dari rumah tinggalnya. Safri tinggal di Yogya sementara kantor tempatnya bekerja di Kota Solo. Selalu saja Safri merasa ada hal-hal yang baru bisa ia temui di tiap perjalanannya dengan naik bus umum.

Setidaknya Safri selalu menjumpai orang yang baru yang lain dari orang kemarin yang duduk di kursi bus di sampingnya. Mungkin wanita atau pria, suatu saat muda atau tua, bisa yang berpenampilan rapi atau bisa juga yang lusuh. Ada di antara mereka suka akrab dan mereka bercerita sepanjang perjalanan sehingga harus berpisah karena perbedaan tujuan. Ada juga yang suka menutup diri, dan ini menyerupai karakter Safri, sehingga selama perjalanan duduk berdampingan itu mereka hanya saling diam, bahkan pandang pun tak. Pada jam-jam sibuk, ketika penumpang harus berdesakan, Safri mengenal banyak manusia dengan segala identitas dan spontanitasnya di sana.

Karena itulah Safri lebih memilih tidak berfanatik atau berlangganan pada salah satu armada atau salah satu kru bus yang dikenal. Sebagian besar orang yang nglaju, yang tiap hari pulang pergi bepergian ke tujuan yang sama entah itu tempat kerja atau tempat sekolah, sering memiliki armada favoritnya masing-masing atau supir favorit atau kondektur favorit. Mereka yang demikian cenderung tidak mau naik bus selain bus langganannya. Safri justru tidak demikian.

Safri lebih merasa memperoleh banyak pengalaman dengan menaiki bus yang berbeda-beda. Bus yang satu diketahuinya bermesin bagus karena itu larinya kencang, bus yang lain diketahuinya selalu mengalah karena ketuaannya dan kedewasaannya di jalanan. Kru armada yang satu berkarakter agak profesional dan karena itu sering saklek dalam hal tarif dan tempat turun penumpang, kru armada yang lain ada yang tidak mempedulikan profesionalisme dan karena itu cenderung toleran dan akrab dengan penumpang. Dan sebagainya.

Intinya, naik bus umum itu menyenangkan karena membuat Safri kaya. Bukan kaya harta, tentu, karena kalau Safri kaya harta mungkin Safri justru punya mobil pribadi sehingga tidak perlu bersusah-susah naik kendaraan umum. Kaya maksudnya kaya pengalaman dan hal-hal yang bisa direnungkan.

Tapi, belakangan ada juga pengalaman tertentu yang justru membuat Safri tidak nyaman naik bus. Entah kenapa akhir-akhir ini teramat sering ia jumpai peristiwa kejahatan di dalam bus, terutama peristiwa pencopetan. Beberapa kejadian itu bahkan di depan mata Safri sendiri, dan Safri melihat bagaimana pencopet itu berulah atau bagaimana mereka tidak sempurna menyembunyikan dompet copetannya sehingga dompet itu kelihatan olehnya.

Ketidaknyamanannya bukan pada soal kekhawatiran jika suatu saat Safrilah yang menerima giliran menjadi korban pencopetan itu. Bukan. Safri tak khawatir demikian karena Safri memang tidak merasa memiliki barang atau sejumlah uang yang layak diincar oleh para pencopet itu. Ketidaknyamanannya lebih pada bagaimana Safri selalu saja tidak mampu memberikan pertolongan kepada para korban pencopetan itu atau apalagi mencegah terjadinya pencopetan. Dirasakannya betapa lemahnya dirinya dan bagaimana harus ia tanggung dosa karena membiarkan kejahatan berjalan mulus di depan mata. Agama Safri mengajarkan bagaimana penganutnya berkewajiban mencegah kejahatan.

Setiap ada orang yang berteriak dirinya kecopetan atau setiap Safri melihat wajah-wajah yang berpenampilan mencurigakan, Safri selalu geram. Safri geram kenapa harus selalu menyaksikan peristiwa demikian, yang membuatnya merasa serba salah. Di satu sisi Safri merasa berdosa jika membiarkan kejahatan terjadi, di sisi lain Safri benar tidak mampu melakukan tindak pencegahan.

Dipikir lebih baik Safri menghindar saja dari kemungkinan menyaksikan peristiwa demikian sehingga tidak ada beban baginya untuk begini atau begitu. Safri tidak ingin meneror diri sendiri dengan perasaan-perasaan bersalah. Itulah yang kemudian membuatnya agak malas naik bus akhir-akhir ini. Safri pun mulai sering tidak masuk ke kantor penerbitan.

Namun, bagaimana mungkin Safri bisa terhindar terus dari naik bus? Itu muskil. Bahkan untuk hari-hari libur yang semestinya Safri tidak ada tanggungan harus ke kantor penerbitan dengan naik bus antarkota pun selalu saja ada alasan yang memaksa Safri untuk naik bus.

Hari itu, misalnya. Di hari Minggu yang ceria anak-anak merengek mengajak berjalan-jalan ke kompleks kampus tempat Safri dulu kuliah. Kompleks kampus itu memang meriah pada hari Minggu. Ada orang berolah raga, ada mahasiswa ngeceng, ada banyak penjual makanan yang semuanya dipenuhi pembeli. Anak-anak selalu senang jika diajak melihat keramaian semacam itu. Dan hari ini mereka menginginkannya kembali.

Safri juga senang berjalan-jalan demikian dengan anak istri. Hanya saja Safri menjadi surut jika mengingat bahwa untuk ke kompleks kampus itu mereka harus naik bus kota. Kembali kekhawatiran menyaksikan peristiwa pencopetan terbayang olehnya.

Tapi, anak-anak sungguh pandai merengek dan istrinya juga memaksa. Safri pun terpaksa, dengan malas dan mencoba mengusir waswas, menuruti kemauan mereka. Mereka pun berangkatlah. Anak-anak dan istri gembira. Sementara itu Safri diam-diam berdoa agar pagi itu tidak terjadi pencopetan di bus yang mereka tumpangi. Safri inginkan kembali perjalanan yang mengasyikkan.

Sejauh ini memang tidak ada tanda-tanda adanya penumpang yang mencurigakan. Mereka hampir sampai tujuan. Safri sedang mulai berasa lega ketika kemudian naiklah ke bus kota yang mereka tumpangi itu empat lelaki berpenampilan ala mahasiswa. Keempatnya berlagak tidak saling kenal. Ada yang menduduki kursi yang masih kosong sedang lainnya tetap berdiri karena kebetulan bus kota itu cukup penumpang.

Safri pucat. Safri memastikan mereka adalah para pencopet yang biasa melakukan aksinya bergerombol. Safri bisa pastikan karena Safri cukup mengenal karakteristik gerakan dan penampilan mereka. Jadi, harus ia saksikan lagi hari ini sebuah peristiwa kejahatan di depan matanya? Jadi, hari ini Safri harus berdosa lagi karena menjadi umat yang lemah tidak mampu mencegah kejahatan?

Safri tidak menginginkan yang demikian. Safri harus cepat bertindak sebelum peristiwa itu benar terjadi. Daripada Safri menyaksikan kejahatan dan merasa bersalah tidak mampu mencegahnya, lebih baik Safri menghindari menyaksikannya saja. Mungkin ini semacam pelarian. Entahlah, tapi setidaknya Safri bisa menghindarkan diri dari didera rasa bersalah.

Safri benar-benar tidak ingin terus berada di dalam bus bersama dengan para pencopet itu sampai mereka benar-benar menjalankan aksinya. “Silakan kalian beraksi, tapi jangan di depan mataku," demikian batin Safri.

Maka, segera ia ajak anak istri turun dari bus. Istrinya tidak paham diajak turun sebelum sampai tujuan, tapi ia menurut saja. Mereka pun turun dan Safri sempat melirik geram pada salah satu anggota pencopet yang berdiri di dekat pintu bus itu. Pencopet itu tenang saja.

Dan Safri sekeluarga telah benar turun. Dan Safri berasa lega.

 “Kenapa sih, kita turun di sini?" istrinya menanya.

"Ah, tak apa-apa.

"Tapi, kita khan belum sampai?"

Safri jelaskan juga akhirnya pada istrinya duduk perkaranya. Bahwa menurut dugaannya keempat lelaki yang baru naik tadi adalah rombongan pencopet dan bahwa Safri tidak tega untuk menyaksikan aksi mereka di depan matanya.

"Ya, Allah!? Pak!?" teriak istri Safri tiba-tiba.

 “Ada apa?

"Dompetku... uang kita...!"

"Hah?

Safri selalu membuatku trenyuh. Kemarin, aku kembali berjumpa secara tak sengaja dengannya. Ia rupanya sudah berpindah bekerja pada salah satu instansi Pemerintah di Kota Samarinda. Ia berkata sudah hampir sepuluh tahun tinggal di kota ini, tapi baru kemarin kami bertemu secara tak sengaja. Kami sama-sama bertemu di lobi salah satu hotel. Ia mengantar tamu dari "orang pusat", pejabat pemerintah tingkat pusat. Aku sendiri juga menemui seorang teman lama yang kebetulan sedang mengikuti salah satu pertemuan di kota ini.

Safri banyak bercerita tentang dirinya, pekerjaan, dan jabatannya. Ia bercerita begitu menggebu dan menyerocos. Kurasa ia sekarang begitu pandai bercerita tidak seperti dulu yang cenderung tidak banyak bicara. Bahkan, hampir aku tidak berkesempatan menyela untuk menceritakan tentang diriku.

Tak lama kami harus sama-sama meninggalkan lobi untuk meneruskan urusan masing-masing.

"Din, kamu pakai apa?" Ia memencet tombol kunci mobilnya.

"Ah, aku biasa naik taksi saja."

"Oh, ya? Aku sekarang tidak perlu risau lagi.”

"Maksudmu?"

"Ya, aku tidak bakalan harus risau melihat rombongan pencopet, hahahaha."

Safri tertawa lepas sambil masuk ke mobilnya tanpa menawariku ikut menumpang. Ia mengingatkanku pada cerita hidupnya. Ia tertawa seperti menertawakan kekonyolan. Aku juga harus mengimbanginya dengan tertawa sambil melambaikan tangan. Aku tertawa, tapi dalam hatiku aku tetap diselimuti oleh rasa trenyuh. Entah oleh Safri yang dulu atau Safri yang sekarang. (***)

Keterangan:

Taksi = sebutan warga Samarinda terhadap angkutan kota (angkot).


-----------------------------------------------------

AMIEN WANGSITALAJA. Pria kelahiran Wonogiri, 19 Maret ini bernama asli Aminudin Rifai. Ia seorang sarjana dan magister sastra yang telah menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media, baik media massa cetak, maupun berbagai buku antologi (antologi bersama dan tunggal). Sebut saja Majalah Sastra Horison, Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Republika, Media Indonesia, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Panjimas, Matabaca, Jurnal Nasional, serta harian-harian lokal di Lampung, Riau, Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.


Ilustrasi: Bizman

Share:
Cerpen Lainnya