Lily Handayani, Penyandang Disabilitas di Balikpapan
Dia penyandang tunadaksa. Tetapi dia bukan perempuan yang gampang patah semangat. Bahkan semangatnya untuk berkreasi bisa jadi lebih besar dari kebanyakan orang normal. Perempuan itu bernama Lily Handayani.
---
Waktu menunjukkan pukul 07.30. Jalan di Balikpapan belum terlalu padat. Dengan diantar sang suami mengendarai sepeda motor, Lily Handayani bergegas menuju Terminal Batu Ampar Balikpapan. Perempuan berusia 44 tahun itu ingin mengejar bus tujuan Samarinda yang berangkat pukul 08.00.
Meski penyandang tunadaksa, Lily tak mengalami kesulitan naik bus dan melakukan perjalanan jauh. Ibu satu anak ini sudah biasa naik bus pulang pergi Balikpapan-Samarinda untuk suatu keperluan. Bahkan saat berkuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1995, dia sering naik bus.
Yang Lily khawatirkan terlambat sampai di Samarinda. Dia tahu perjalanan bus ke Samarinda lebih cepat setelah ada jalan tol Balikpapan-Samarinda. Waktu tempuh sampai pintu tol Palaran hanya sekitar satu jam 30 menit. Sebelumnya bisa sampai 3 jam. Tapi dari Terminal Sungai Kunjang, dia harus naik kendaraan lagi menuju lokasi acara.
Lily ke Samarinda untuk mengikuti pelatihan kerajinan anyaman rotan untuk penyandang disabilitas yang diadakan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Kaltim mulai Senin (20/9) hingga Jumat (24/9). Menurut jadwal, pembukaan dilakukan Gubernur Kaltim Isran Noor, Senin pukul 09.00.
Ternyata pembukaan diundur sampai hampir pukul 10.00. Lily pun menarik napas lega. Warga Jalan DI Panjaitan No 45 A, Kelurahan Karang Rejo Balikpapan itu senang tak terlambat mengikuti materi latihan. Dia tak ingin sudah jauh-jauh dari Balikpapan, ternyata ketinggalan materi latihan.
Pelatihan itu diikuti sekitar 200 peserta dari berbagai daerah di Kaltim. Pelatihan dilakukan dalam jaringan (daring) dan secara langsung (diluar jaringan/luring). Yang mengikuti praktik langsung dibatasi 30 peserta sesuai protokol kesehatan selama masa pandemi covid 19. Lokasi praktik di UPTD Pelatihan Koperasi, Jalan DI Panjaitan Samarinda.
Lily tidak puas mengikuti pelatihan secara daring. Dia ingin melihat dan melakukan praktik langsung. Bahkan dia berkeinginan ilmu yang didapat bisa ditularkan kepada sesama penyandang disabilitas di Balikpapan. Ketika panitia mengizinkannya ikut praktik langsung, pada hari itu juga Lily berangkat ke Samarinda.
“Saya ingin sekali belajar anyaman rotan. Apalagi saya ingin mengembangkan usaha membuat tas anyaman. Sebelum pelatihan dibuka (Senin, 20/9/2021, Red.)saya minta izin pada panitia untuk mengikuti praktek langsung. Begitu diizinkan saya langsung berangkat. Jadi saya peserta satu-satunya dari Balikpapan. Kebanyakan peserta dari Samarinda,” ujarnya Rabu (22/).
Lily memang tak mau berhenti berkreasi. Ketika pandemi covid 19 mengurangi aktivitas kursus musiknya, Lily mencari cara agar bisa memanfaatkan waktu luang. Dia memilih berkreasi dengan kain perca. Ia mengubah barang bekas itu menjadi hasil kerajinan yang menarik, seperti hiasan penutup kulkas, penutup televisi, hingga sarung bantal dan boneka.
“Karena kurang ada kegiatan selama masa pandemi, saya iseng menjahit kain perca menjadi produk yang menarik, seperti bantal dan boneka. Ternyata banyak yang tertarik ketika saya tawarkan lewat media sosial. Saya pun makin menekuni kegiatan ini,” ujar ibu dari M Yusuf Abrisam ini, ditemui disela pelatihan kerajinan anyaman rotan.
Lily menjual sarung bantal mulai harga Rp 40 ribu sampai Rp 100 ribu. Ada juga tas kosmetik dengan harga mulai Rp 15 ribu. Tas tenun kecil mulai Rp 30 ribu. Tas besar Rp 150 ribu. Produk yang belakangan dia garap adalah masker yang banyak dibutuhkan masyarakat selama pandemi. Dia jual mulai Rp 10 ribu tergantung jenis kain.
Lily juga mahir membuat selimut tebal dan tas rajut dengan teknik makrame (seni membuat produk dengan berbagai simpul). Tas rajut dijual sekitar Rp 300 ribu dan tas makrame seharga Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu. Untuk pembuatan selimut katanya, agak rumit dan memakan waktu, sehingga harganya bisa mencapai Rp 1 juta.
Setiap produk yang dibuat Lily, selalu memunculkan desain baru. Seperti boneka, tak sekadar untuk pajangan, tetapi bisa untuk meletakkan barang-barang seperti handphone dan remote televisi. “Boneka saya desain lengkap dengan kantung untuk menaruh barang. Biasanya orang-orang pekerja yang memesan,” tuturnya.
Nah, sekarang Lily ingin mengembangkan produknya dengan anyaman rotan. Saat praktik latihan Rabu lalu, Lily dengan cetakan merangkai rotan membentuk sebuah tas. Juga merangkai rotan menjadi keranjang, tempat bumbu, pot bunga. Hasil kerajinan dari rotan ini kemudian diamplas lalu dicat pernis agar mengkilap dan merekat.
***
Ketika virus polio menyerang tubuhnya, Lily baru berusia 9 bulan. Padahal dia sudah mendapat vaksin polio. Bisa jadi karena virus polio sudah keburu masuk tubuhnya sebelum mendapat imunisasi. “Setelah terkena polio, kaki kiri saya lemah. Bilang orang lumpuh layu. Saya hanya bisa mengesot,” ujarnya.
Orangtua Lily tidak menyerah. Berbagai pengobatan terus dilakukan. Lily sempat menjalani pengobatan di RSUD AW Sjahranie Samarinda. Pernah juga dibawa ke Solo. Tapi perempuan kelahiran Balikpapan tahun 1977 ini, tidak juga sembuh. Semakin lama penyakit polio kian susah disembuhkan.
Saat kelas 3 SD, Lily mulai menggunakan alat bantu brace, agar bisa berjalan dengan nyaman. Tapi ketika dia sudah kelas 2 SMA, brace dilepas. “Saya merasa tidak nyaman menggunakan alat bantu itu. Kurang bebas bergerak. Jadi mulai kelas 2 SMA saya sudah tak pakai brace,” ujar istri Slamet Mulyadi ini.
Lulus SMA negeri di Balikpapan, Lily melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra. Disela kuliah, Lily memanfaatkan waktu luang dengan belajar bermain alat musik, yaitu biola dan piano. “Dari dulu saya memang suka seni. Seni sastra, seni musik dan lain-lain,” tegasnya.
Dengan kemampuan bermain musik inilah, begitu kembali ke Balikpapan, Lily bisa melatih anak-anak. Sebelum pandemi muridnya sekitar 20 orang. Latihan dilakukan di rumah Lily, di Karang Rejo, Kecamatan Balikpapan Tengah. “Kalau ada murid yang minta, bisa juga diajarkan di rumah secara privat,” kata dia.
Tapi sejak pandemi covid, aktivitas latihan sudah berkurang. Waktu luang inilah yang dimanfaatkan Lily untuk memproduksi kerajinan kain perca. Usaha ini sekaligus untuk membantu suaminya yang bekerja sebagai ojek online. “Saya sudah menjahit kain perca sejak 2012, yaitu setelah melahirkan putra sulung saya. Sambil jaga anak, saya mengolah kain perca,” jelasnya.
Aktivitas itu kian dia tekuni selama masa pandemi. Dia gencar memasarkan produknya lewat akun instagram @safinaquilt_new. Dia juga akan memasarkan produknya di marketplace agar bisa menjangkau konsumen dari seluruh Indonesia. Belakangan ia mulai berkreasi membuat tas anyaman berbahan daun purun dan berbahan kain tenun khas Kaltim.
Kreativitas memang tidak boleh berhenti. Sekalipun pada masa pandemi covid 19. (***)