Puisi

title

Kesetiaan


Penulis: Syamsul Khaidir | Posting: 01 Oktober 2021


Kesetiaan

Adalah mata air yang mengalir

Dari pusar kemurnian

Menuruni lereng

Menjadi air terjun

Mengalir deras di riam-riam

Enggan terbujuk dengan kebusukan

Yang mengajak kompromi

Di sela bebatuan lindung


Kesetiaan

Adalah air bening

Yang membentuk gelombang

Menjadi topan dan badai

Yang murka

Membentur dusta

Dan dosa

Hingga dirinya sendiri terbelah

Menjadi udara

Yang menyejukkan dunia


Tenggarong, 1 April 1999

Secuil Bulan di Atas Mahakam, 1999. editor Syafruddin Pernyata dkk., Samarinda: Komite Sastra DKD Kaltim

------------------------------------------------


Jentera


nyala yang terjaga

menerangi setiap sudut kota

adalah hidup semakin bermakna

aroma jerami kuhisap dalam


namun

bermunculan menggulung semua

ketika jentera mulai bergoyang

dan nyala terayun gelisah

sinarnya gamang menyibak pekat


akankah dunia masih layak

sebagai tempat untuk berpijak?


Balikpapan, 20-3-1999

------------------------------------------------


Perjalanan Angan


di era kritis

adalah nurani terbentur ke langit-langit kering

jiwa berguling-guling di lantai basah

mencari damai yang terbang entah ke mana


kurasa angin segera dapat membantu

tetapi raga bak kapal retak menjelang petaka

mabuk laut menyesak memburaikan mimpi


bah

kepada siapa kenestapaan ini dapat kubagi

anganku tertumbuk pada kejenuhan menunggu jemputan


Ujung Pandang, 21-3-1999

------------------------------------------------


Kami Anak Generasi Kini


kami anak generasi kini

mengharapkan para bapak politisi

tidak saling cakut

saling rebut

sementara kepala negara semakin kalut

menampung aspirasi tak pernah serasi


kami anak generasi kini

tak ingin warisan

keserakahan keegoisan dan rasa permusuhan

kami inginkan warisan

kepedulian dilandasi rasa cinta kasih

dan kebersamaan


kami anak generasi kini

merindukan hadirnya iklim nilai baru

dibentuk oleh nilai-nilai keindahan

tidak didominasi tuntuan fisik

penyebab mental semakin payah


kami anak generasi kini

akan terus menyeruak

di tengah keramaian negeri

mencari bapak kami

yang mau mendengar

desah napas dan detak jantung kami

yang mulai kehabisan energi

karena tenggelam dalam badai resesi


kami anak generasi kini

suf... et... plup

tak bisa bicara lagi (tenggelam)


------------------------------------------------

SAMSUL KHAIDIR. Lahir di Kecamatan Muara Ancalong 26 Oktober 1958 dan melewatkan masa kecilnya di Tenggarong. Sastrawan yang dikenal dengan nama Syamkhai ini menikah dengan Mariyati, wanita pecinta teater kelahiran Balikpapan. Pengalaman Syamsul Khaidir terjun dalam dunia kesenian diawali dengan mengikuti workshop teater yang diadakan Dewan Kesenian Daerah Kaltim. Saat itu, ia masih menempuh pendidikan di Universitas Mulawarman dan menjadi tenaga pengajar pendidikan agama di Sekolah Dasar Negeri 009 Samarinda Seberang. Ahmad Rizani Asnawi yang ketika itu menjadi ketua Dewan Kesenian Daerah mendatangkan pelatih teater Untung Basuki dari Bengkel Teater Rendra Yogyakarta.

Syamsul Khaidir semakin terlibat dalam dunia kesenian ketika menerima tawaran Mugni Baharudin untuk mengajar di Teater 77. Pada tahun 1981, ia mendirikan Teater Suluh bersama Habolhasan Asyari dan tahun 1993 mendirikan Teater Bintek di Tenggarong. Beberapa naskah drama yang sudah dia tuIis antara lain berjudul Garuda (1983), monoplay Tunggul (1984), Rumah Duka, cerita rakyat Tragedi Lubang Undan, drama operet Kupenuhi Panggilanmu (1996), drama tradisional Restu Baginda Indra Bungsu (1997), Aku dan Negeri Awan (1997), dan Suara Bumi (1998).

Syamsul yang pernah menjabat ketua Lembaga Pembina Kebudayaan Kutai Kartanegara (LPKK) dan pernah menjabat Ketua III Dewan Kesenian Kutai. Dia sudah menulis banyak puisi, di antaranya dimuat dalam buku antologi Merobek Sepi (Dewan Kesenian Daerah Kaltim, 1986), Secuil Bulan di Atas Mahakam (Dewan Kesenian Daerah Kaltim, 1999) Menepis Ombak Menyusuri Sungai Mahakam (Dewan Kesenian Daerah Kutai Kartanegara, 1999), Seteguk Mahakam (Komunitas Masyarakat Seni Kukar, 2006). Sastrawan ini tutup usia pada tahun 2009.


Photo by Zhang Kaiyv/Unsplash

Share:
Puisi Lainnya