Kesetiaan
Adalah mata air yang mengalir
Dari pusar kemurnian
Menuruni lereng
Menjadi air terjun
Mengalir deras di riam-riam
Enggan terbujuk dengan kebusukan
Yang mengajak kompromi
Di sela bebatuan lindung
Kesetiaan
Adalah air bening
Yang membentuk gelombang
Menjadi topan dan badai
Yang murka
Membentur dusta
Dan dosa
Hingga dirinya sendiri terbelah
Menjadi udara
Yang menyejukkan dunia
Tenggarong, 1 April 1999
Secuil Bulan di Atas Mahakam, 1999. editor Syafruddin Pernyata dkk., Samarinda: Komite Sastra DKD Kaltim
------------------------------------------------
Jentera
nyala yang terjaga
menerangi setiap sudut kota
adalah hidup semakin bermakna
aroma jerami kuhisap dalam
namun
bermunculan menggulung semua
ketika jentera mulai bergoyang
dan nyala terayun gelisah
sinarnya gamang menyibak pekat
akankah dunia masih layak
sebagai tempat untuk berpijak?
Balikpapan, 20-3-1999
------------------------------------------------
Perjalanan Angan
di era kritis
adalah nurani terbentur ke langit-langit kering
jiwa berguling-guling di lantai basah
mencari damai yang terbang entah ke mana
kurasa angin segera dapat membantu
tetapi raga bak kapal retak menjelang petaka
mabuk laut menyesak memburaikan mimpi
bah
kepada siapa kenestapaan ini dapat kubagi
anganku tertumbuk pada kejenuhan menunggu jemputan
Ujung Pandang, 21-3-1999
------------------------------------------------
Kami Anak Generasi Kini
kami anak generasi kini
mengharapkan para bapak politisi
tidak saling cakut
saling rebut
sementara kepala negara semakin kalut
menampung aspirasi tak pernah serasi
kami anak generasi kini
tak ingin warisan
keserakahan keegoisan dan rasa permusuhan
kami inginkan warisan
kepedulian dilandasi rasa cinta kasih
dan kebersamaan
kami anak generasi kini
merindukan hadirnya iklim nilai baru
dibentuk oleh nilai-nilai keindahan
tidak didominasi tuntuan fisik
penyebab mental semakin payah
kami anak generasi kini
akan terus menyeruak
di tengah keramaian negeri
mencari bapak kami
yang mau mendengar
desah napas dan detak jantung kami
yang mulai kehabisan energi
karena tenggelam dalam badai resesi
kami anak generasi kini
suf... et... plup
tak bisa bicara lagi (tenggelam)
------------------------------------------------
SAMSUL KHAIDIR. Lahir di Kecamatan Muara Ancalong 26 Oktober 1958 dan melewatkan masa kecilnya di Tenggarong. Sastrawan yang dikenal dengan nama Syamkhai ini menikah dengan Mariyati, wanita pecinta teater kelahiran Balikpapan. Pengalaman Syamsul Khaidir terjun dalam dunia kesenian diawali dengan mengikuti workshop teater yang diadakan Dewan Kesenian Daerah Kaltim. Saat itu, ia masih menempuh pendidikan di Universitas Mulawarman dan menjadi tenaga pengajar pendidikan agama di Sekolah Dasar Negeri 009 Samarinda Seberang. Ahmad Rizani Asnawi yang ketika itu menjadi ketua Dewan Kesenian Daerah mendatangkan pelatih teater Untung Basuki dari Bengkel Teater Rendra Yogyakarta.
Syamsul Khaidir semakin terlibat dalam dunia kesenian ketika menerima tawaran Mugni Baharudin untuk mengajar di Teater 77. Pada tahun 1981, ia mendirikan Teater Suluh bersama Habolhasan Asyari dan tahun 1993 mendirikan Teater Bintek di Tenggarong. Beberapa naskah drama yang sudah dia tuIis antara lain berjudul Garuda (1983), monoplay Tunggul (1984), Rumah Duka, cerita rakyat Tragedi Lubang Undan, drama operet Kupenuhi Panggilanmu (1996), drama tradisional Restu Baginda Indra Bungsu (1997), Aku dan Negeri Awan (1997), dan Suara Bumi (1998).
Syamsul yang pernah menjabat ketua Lembaga Pembina Kebudayaan Kutai Kartanegara (LPKK) dan pernah menjabat Ketua III Dewan Kesenian Kutai. Dia sudah menulis banyak puisi, di antaranya dimuat dalam buku antologi Merobek Sepi (Dewan Kesenian Daerah Kaltim, 1986), Secuil Bulan di Atas Mahakam (Dewan Kesenian Daerah Kaltim, 1999) Menepis Ombak Menyusuri Sungai Mahakam (Dewan Kesenian Daerah Kutai Kartanegara, 1999), Seteguk Mahakam (Komunitas Masyarakat Seni Kukar, 2006). Sastrawan ini tutup usia pada tahun 2009.
Photo by Zhang Kaiyv/Unsplash