Puisi

title

Secuil Bulan di Atas Mahakam


Penulis: Achmad Rizani Asnawi | Posting: 23 Juli 2021


Lelaki itu berdiri, memandang ke luar, Mahakam

dari kaca jendela kantornya yang tinggi

kemarau memanggang Juni terasa amat panas

hujan yang dinanti tak turun sama sekali


hutan membara, daun kering, cokelat, menghitam

dan gugur menyedihkan

Mahakam, begitu banyak menyimpan kesan

angin membuat riak, kapal membuat gelombang

kedua tepinya runtuh perlahan-lahan


Lelaki itu berdiri, matanya lurus ke depan

lelaki itu berdiri, ingatannya berjalan ke belakang


Ke manakah perginya perahu-perahu itu

tambangan yang dikayuh

dan pesut-pesut

yang gembira bergerombol

kilat tubuhnya yang hitam

tak henti-hentinya timbul tenggelam


Ke manakah jamban-jamban itu

tempat semua orang berlayar

dan haba-haba yang ditambatkan

irama gambus

yang meniup asap

aroma yang sedap dan panggang asin

yang lagi dimatangkan


mesjid tua yang tenteram

berlantai ulin penuh kesejukan

betapa nyenyak tidur

diterpa angin perlahan


anak-anak yang riang

belajar berenang di tepian

mereka yang perkasa

berenang menyeberang

di sela kumpai hanyut

tak ada yang takut buaya menerkam

begitu langka orang yang tenggelam

amatlah akrab persahabatan dengan Mahakam


Lelaki itu memandang menerawang

Samarinda Seberang

menerawang

mesjid tua Kampung Baqa

tetapi ke mana rumah-rumah besar dan tinggi

dengan jendela-jendela panjang

pintu yang tebal

dan udara yang sejuk

anak-anak yang tak kenal susah

di kolong rumah berlari berlompatan


Lelaki itu menoleh ke kiri

Gunung Steleng yang tak begitu tinggi

pepohonan yang meranggas

lalu kapal-kapal yang berlabuh

di teluknya yang teduh

Selili, Selili, oh, Selili yang sepi


Lelaki itu mengejap-ngejapkan matanya

ia menoleh ke belakang

kolam renang dan gunung permandian

rumah penjara dan gereja yang penuh misteri

sebuah sekolah di sudut

di situlah sang ayah amat lama mengabdi


Lelaki itu termangu

diusapnya kumisnya yang tak begitu tebal

mulai memutih

hari pun beranjak senja

ada bayang-bayang di kaca jendela

gambar wajahnya yang mulai menua

seorang lelaki, 60 tahun dalam usia


Lampu-lampu kini telah menyala

bagai kunang-kunang menyerbu kota

gerobak, kendaraan, pabrik-pabrik

kapal pengangkut kayu dan batu bara

bunyi-bunyian menyatu dalam seribu suara

bakso, pangsit, sate, kacang rebus

jagung bakar di tenda-tenda

ayam banjar, tahu lamongan

dan seribu restoran

menebar aroma yang membangkitkan selera


pasar-pasar, lalu swalayan

semua kebutuhan kehidupan

siapakah yang masih bertanya

adakah lagi yang tak ada

dulu orang sakit karena kurang makan

kini mereka terbunuh

oleh makan yang berlebihan


hingar-bingar kota

bulan secuil

dan rumah-rumah mungil

rebutan dibayar dengan mencicil

ciri sebuah kota, sebuah provinsi

yang beranjak dalam transisi

kota dan sebuah pulau

tak lagi hanya sebuah suku

manis gula yang amat menghimbau

semangat bersaing meningkatkan mutu


Kini tak hanya sekadar sekolah

tak cukup hanya tingkat yang rendah

orang-orang bebas berlomba melangkah

dengan jurusan pilihan hati


Rumah sakit kini berbenah diri

selain bersih layanan pun manusiawi

pepohonan hijau, kandang burung dan taman yang asri

kapal beradu cepat

dan pesawat dibuat tempat hinggapnya


Lelaki itu belum juga lelah berdiri

kini ia goyang-goyangkan pinggangnya

ia mulai mengingat-ingat

sudah berapa jauh langkahnya

dan kerja, sudah cukupkah pengabdiannya

orang-orang bercerita tentang perubahan

arti sebuah jembatan, rumah-rumah ibadah

dan sekolahan

Rumah sakit, pasar-pasar dan kapal yang bersileweran

bahkan, gerobak sampah, banjir

dan mobil kebakaran

bila ada yang kurang

karena memang kebutuhan tak pernah terpuaskan

dan manusia mungkin terlalu banyak tuntutan


Lelaki itu masih berdiri di sana

termangu

ia tak melihat di tepi Mahakam

seribu tangan dilambaikan

mulut mereka menyanyi riang

karena mereka telah diberi tempat dan kesempatan

sebuah negeri yang memberi kehidupan

sebuah provinsi yang jauh dari keributan

sebuah kota yang aman tenteram, kata orang


Lelaki itu kini tersenyum

bulan semakin tinggi di atas Mahakam

kilat air dalam cahaya

ada rasa bahagia

sebagai anak manusia

tiba-tiba

lelaki itu tersentak

ada suara yang berteriak

pintu yang digedor kuat-kuat


ia melangkah ke sana

sebuah lift tak mau terbuka

Lelaki itu membalik

memanggil penjaga

pelan-pelan ia berkata

adakah ciptaan kita yang sempurna


tiba-tiba

lelaki itu terkesiap

gemuruh suara, membahana

reformasi, reformasi

orang-orang dengan ikat kepala

betapa garang

korupsi, kolusi, nepotisme

semua telunjuk ke wajahnya

lelaki itu terpana

ia bertanya


Siapa aku sebenarnya


Samarinda, Juni 1998




Pensiun


Dilihat dari bentuk kata

la hanya kumpulan huruf

yang membentuk bunyi

amat sederhana tetapi amat dalam artinya


Pensiun

orang yang gelisah ketika akan didatanginya

dilihat dan rata-rata harapan hidup

ia adalah tonggak perjalanan manusia

yang amat panjang

dan pendek sisa langkah yang akan ditempuhnya


Pensiunan adalah sindroma batas kekuasaan

yang sampal pada akhir kehebatan wibawanya

ibarat gigi ia tinggal gigi tengah

mulut yang kehilangan geraham

kekuatan daya kunyahnya


Orang-orang yang lagi berkuasa

lalu memuaskan isi perut dan yang di bawahnya

pada waktu pensiun

akan menikmatj berbagai penyakit

tubuh dan jiwa

mereka akan diserang rasa takut

karena kehilangan muka


Orang-orang yang semasa berkuasa

lalu memuaskan keserakahannya

pada waktu pensiun

akan gelisah kehilangan sumber kekayaannya

ia akan merasa miskin

ditinggal oleh hidup yang penuh gaya


Orang-orang yang lagi berkuasa

lalu membiasakan diri

dikerubungi oleh para penyanjung

dan berbahagia oleh kesemuan senyum

dan derai tawa ceria

akan kesepian ditinggal semut-semut yang pergi

ketika gula kehabisan rasa manisnya

mereka akan menenima akibat yang nyata

dari kebaikan dan kedzaliman

dari sebuah kekuasaan

yang dipakai lurus

atau dibengkokkan sesuka hatinya


Bagi mereka

pensiun adalah siksaan yang nyata

buah kedzaliman

dan arogansi wibawa dan kesemuan jiwa


Pensiun adalah surga yang nyata

dan jiwa yang tenteram

buah kebaikan dan persaudaraan yang diciptakan

oleh hati yang tulus

sebagai makhluk Tuhan


Pensiun adalah kehormatan

Buat orang-orang yang selamat

Sampai ujung kariernya


Orang-orang yang bijaksana

akan bergegas menyongsong pensiunannya

karena mereka sadar

sudah sampai pada batas akhirnya

dan mereka hanya bagian dari sejarah

menunda langkah

dan menunda hari

akan sama dengan menutup kesempatan

untuk anak mereka sendiri


Mereka yang pensiunan

adalah seekor burung jinak yang dilepas

dari sangkar emasnya

burung yang terbiasa hidup

dari gelas dan mangkok

yang tersedia dalam sangkar

yang bernama Pegawai negeri


Mungkin tiba-tiba ia

menjadi linglung

merasa bodoh di alam bebas

lalu ingin masuk kembali

ke sangkar emasnya

atau ia terbang lepas

ke kebun-kebun rambutan

sawah yang sarat pepadian

atau ia memilih

menebar biji-bijian

mengawinkan kembang berpasang-pasangan

menghijaukan bumi

membuat udara bersih dan menyegarkan


Buat mereka

rasanya tak perlu puji-pujian

karena itu bersifat kesementaraan

biarlah ia melangkah perlahan

langkah ketelitian orang lulus ujian

biarlah ia menoleh ke belakang

karena ia sedang melepas kenangan

dari sejarah hidup yang panjang

dan kita secara bergilir

ikut berbaris di belakang

sambil bertanya

adakah kita

akan mulus lepas

seperti banisan depan


Marilah kita beri

doa restu keselamatan

agar ia bahagia

menimang cucu kesayangan

sambil sekali-sekali

menyapu rumah yang tenteram


Para pensiunan

Selamat lulus ujian

doakan juga kami

dapat berbuat lebih baik

dan jika nanti pensiun

akan juga dilepas

dengan senyum kebahagiaan


Samarinda, 13 September 1998

(Secuil Bulan di Atas Mahakam, Komite Sastra DKD KaItim, 1999)



ACHMAD RIZANI ASNAWI. Lahir di Samarinda, 7 Juni 1944. Lulus dari Fakultas Sospol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1971) dan Magister pada School of Public Administration, University of California, Los Angeles, USA (1985). Sejak 1972 meniti karier sebagai PNS di Bappeda Tingkat I Kalimantan Timur (1972-1980), BKKBN (1980-1998) dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat I Kalimantan Timur sampai meninggal dunia pada tahun 2002. Menggemari sastra sejak SMA. Tulisannya tersebar di berbagai media massa seperti Kedaulatan Rakyat dan Mercu Suar di Yogyakarta. Sejak kembali ke Kaltim, ia mengembangkan sastra dan teater. 

Dalam bidang sastra menerbitkan buletin Arus dan antologi puisi, diskusi sastra, dan lain-lain dalam bidang teater mendatangkan pelatih Untung Basuki dan Bengkel Teater Rendra di Yogyakarta; serta mengembangkan teater anak-anak Rumpun Pisang dengan pelatih/pembina Syafril Teha Noer. Karyanya terhimpun dalam kumpulan sendiri maupun antologi bersama: Merobek Sepi (1980), Bayang-bayang (ed. Korrie Layun Rampan, Puisi Indonesia, 1980), Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999), dan lain-lain. Penyair ini menyukaì puisi panjang dalam bentuk balada. Salah satu puisinya yang berjudul “AI Fatihah” (Alquran dalam Imajinasi) dipuji HB Jassin sebagai bentuk yang belum pernah ditulis oleh penyair Indonesia lainnya. 


Photo by ibukotakita.com

Share:
Puisi Lainnya