Lelaki itu berdiri, memandang ke luar, Mahakam
dari kaca jendela kantornya yang tinggi
kemarau memanggang Juni terasa amat panas
hujan yang dinanti tak turun sama sekali
hutan membara, daun kering, cokelat, menghitam
dan gugur menyedihkan
Mahakam, begitu banyak menyimpan kesan
angin membuat riak, kapal membuat gelombang
kedua tepinya runtuh perlahan-lahan
Lelaki itu berdiri, matanya lurus ke depan
lelaki itu berdiri, ingatannya berjalan ke belakang
Ke manakah perginya perahu-perahu itu
tambangan yang dikayuh
dan pesut-pesut
yang gembira bergerombol
kilat tubuhnya yang hitam
tak henti-hentinya timbul tenggelam
Ke manakah jamban-jamban itu
tempat semua orang berlayar
dan haba-haba yang ditambatkan
irama gambus
yang meniup asap
aroma yang sedap dan panggang asin
yang lagi dimatangkan
mesjid tua yang tenteram
berlantai ulin penuh kesejukan
betapa nyenyak tidur
diterpa angin perlahan
anak-anak yang riang
belajar berenang di tepian
mereka yang perkasa
berenang menyeberang
di sela kumpai hanyut
tak ada yang takut buaya menerkam
begitu langka orang yang tenggelam
amatlah akrab persahabatan dengan Mahakam
Lelaki itu memandang menerawang
Samarinda Seberang
menerawang
mesjid tua Kampung Baqa
tetapi ke mana rumah-rumah besar dan tinggi
dengan jendela-jendela panjang
pintu yang tebal
dan udara yang sejuk
anak-anak yang tak kenal susah
di kolong rumah berlari berlompatan
Lelaki itu menoleh ke kiri
Gunung Steleng yang tak begitu tinggi
pepohonan yang meranggas
lalu kapal-kapal yang berlabuh
di teluknya yang teduh
Selili, Selili, oh, Selili yang sepi
Lelaki itu mengejap-ngejapkan matanya
ia menoleh ke belakang
kolam renang dan gunung permandian
rumah penjara dan gereja yang penuh misteri
sebuah sekolah di sudut
di situlah sang ayah amat lama mengabdi
Lelaki itu termangu
diusapnya kumisnya yang tak begitu tebal
mulai memutih
hari pun beranjak senja
ada bayang-bayang di kaca jendela
gambar wajahnya yang mulai menua
seorang lelaki, 60 tahun dalam usia
Lampu-lampu kini telah menyala
bagai kunang-kunang menyerbu kota
gerobak, kendaraan, pabrik-pabrik
kapal pengangkut kayu dan batu bara
bunyi-bunyian menyatu dalam seribu suara
bakso, pangsit, sate, kacang rebus
jagung bakar di tenda-tenda
ayam banjar, tahu lamongan
dan seribu restoran
menebar aroma yang membangkitkan selera
pasar-pasar, lalu swalayan
semua kebutuhan kehidupan
siapakah yang masih bertanya
adakah lagi yang tak ada
dulu orang sakit karena kurang makan
kini mereka terbunuh
oleh makan yang berlebihan
hingar-bingar kota
bulan secuil
dan rumah-rumah mungil
rebutan dibayar dengan mencicil
ciri sebuah kota, sebuah provinsi
yang beranjak dalam transisi
kota dan sebuah pulau
tak lagi hanya sebuah suku
manis gula yang amat menghimbau
semangat bersaing meningkatkan mutu
Kini tak hanya sekadar sekolah
tak cukup hanya tingkat yang rendah
orang-orang bebas berlomba melangkah
dengan jurusan pilihan hati
Rumah sakit kini berbenah diri
selain bersih layanan pun manusiawi
pepohonan hijau, kandang burung dan taman yang asri
kapal beradu cepat
dan pesawat dibuat tempat hinggapnya
Lelaki itu belum juga lelah berdiri
kini ia goyang-goyangkan pinggangnya
ia mulai mengingat-ingat
sudah berapa jauh langkahnya
dan kerja, sudah cukupkah pengabdiannya
orang-orang bercerita tentang perubahan
arti sebuah jembatan, rumah-rumah ibadah
dan sekolahan
Rumah sakit, pasar-pasar dan kapal yang bersileweran
bahkan, gerobak sampah, banjir
dan mobil kebakaran
bila ada yang kurang
karena memang kebutuhan tak pernah terpuaskan
dan manusia mungkin terlalu banyak tuntutan
Lelaki itu masih berdiri di sana
termangu
ia tak melihat di tepi Mahakam
seribu tangan dilambaikan
mulut mereka menyanyi riang
karena mereka telah diberi tempat dan kesempatan
sebuah negeri yang memberi kehidupan
sebuah provinsi yang jauh dari keributan
sebuah kota yang aman tenteram, kata orang
Lelaki itu kini tersenyum
bulan semakin tinggi di atas Mahakam
kilat air dalam cahaya
ada rasa bahagia
sebagai anak manusia
tiba-tiba
lelaki itu tersentak
ada suara yang berteriak
pintu yang digedor kuat-kuat
ia melangkah ke sana
sebuah lift tak mau terbuka
Lelaki itu membalik
memanggil penjaga
pelan-pelan ia berkata
adakah ciptaan kita yang sempurna
tiba-tiba
lelaki itu terkesiap
gemuruh suara, membahana
reformasi, reformasi
orang-orang dengan ikat kepala
betapa garang
korupsi, kolusi, nepotisme
semua telunjuk ke wajahnya
lelaki itu terpana
ia bertanya
Siapa aku sebenarnya
Samarinda, Juni 1998
Pensiun
Dilihat dari bentuk kata
la hanya kumpulan huruf
yang membentuk bunyi
amat sederhana tetapi amat dalam artinya
Pensiun
orang yang gelisah ketika akan didatanginya
dilihat dan rata-rata harapan hidup
ia adalah tonggak perjalanan manusia
yang amat panjang
dan pendek sisa langkah yang akan ditempuhnya
Pensiunan adalah sindroma batas kekuasaan
yang sampal pada akhir kehebatan wibawanya
ibarat gigi ia tinggal gigi tengah
mulut yang kehilangan geraham
kekuatan daya kunyahnya
Orang-orang yang lagi berkuasa
lalu memuaskan isi perut dan yang di bawahnya
pada waktu pensiun
akan menikmatj berbagai penyakit
tubuh dan jiwa
mereka akan diserang rasa takut
karena kehilangan muka
Orang-orang yang semasa berkuasa
lalu memuaskan keserakahannya
pada waktu pensiun
akan gelisah kehilangan sumber kekayaannya
ia akan merasa miskin
ditinggal oleh hidup yang penuh gaya
Orang-orang yang lagi berkuasa
lalu membiasakan diri
dikerubungi oleh para penyanjung
dan berbahagia oleh kesemuan senyum
dan derai tawa ceria
akan kesepian ditinggal semut-semut yang pergi
ketika gula kehabisan rasa manisnya
mereka akan menenima akibat yang nyata
dari kebaikan dan kedzaliman
dari sebuah kekuasaan
yang dipakai lurus
atau dibengkokkan sesuka hatinya
Bagi mereka
pensiun adalah siksaan yang nyata
buah kedzaliman
dan arogansi wibawa dan kesemuan jiwa
Pensiun adalah surga yang nyata
dan jiwa yang tenteram
buah kebaikan dan persaudaraan yang diciptakan
oleh hati yang tulus
sebagai makhluk Tuhan
Pensiun adalah kehormatan
Buat orang-orang yang selamat
Sampai ujung kariernya
Orang-orang yang bijaksana
akan bergegas menyongsong pensiunannya
karena mereka sadar
sudah sampai pada batas akhirnya
dan mereka hanya bagian dari sejarah
menunda langkah
dan menunda hari
akan sama dengan menutup kesempatan
untuk anak mereka sendiri
Mereka yang pensiunan
adalah seekor burung jinak yang dilepas
dari sangkar emasnya
burung yang terbiasa hidup
dari gelas dan mangkok
yang tersedia dalam sangkar
yang bernama Pegawai negeri
Mungkin tiba-tiba ia
menjadi linglung
merasa bodoh di alam bebas
lalu ingin masuk kembali
ke sangkar emasnya
atau ia terbang lepas
ke kebun-kebun rambutan
sawah yang sarat pepadian
atau ia memilih
menebar biji-bijian
mengawinkan kembang berpasang-pasangan
menghijaukan bumi
membuat udara bersih dan menyegarkan
Buat mereka
rasanya tak perlu puji-pujian
karena itu bersifat kesementaraan
biarlah ia melangkah perlahan
langkah ketelitian orang lulus ujian
biarlah ia menoleh ke belakang
karena ia sedang melepas kenangan
dari sejarah hidup yang panjang
dan kita secara bergilir
ikut berbaris di belakang
sambil bertanya
adakah kita
akan mulus lepas
seperti banisan depan
Marilah kita beri
doa restu keselamatan
agar ia bahagia
menimang cucu kesayangan
sambil sekali-sekali
menyapu rumah yang tenteram
Para pensiunan
Selamat lulus ujian
doakan juga kami
dapat berbuat lebih baik
dan jika nanti pensiun
akan juga dilepas
dengan senyum kebahagiaan
Samarinda, 13 September 1998
(Secuil Bulan di Atas Mahakam, Komite Sastra DKD KaItim, 1999)
ACHMAD RIZANI ASNAWI. Lahir di Samarinda, 7 Juni 1944. Lulus dari Fakultas Sospol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1971) dan Magister pada School of Public Administration, University of California, Los Angeles, USA (1985). Sejak 1972 meniti karier sebagai PNS di Bappeda Tingkat I Kalimantan Timur (1972-1980), BKKBN (1980-1998) dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat I Kalimantan Timur sampai meninggal dunia pada tahun 2002. Menggemari sastra sejak SMA. Tulisannya tersebar di berbagai media massa seperti Kedaulatan Rakyat dan Mercu Suar di Yogyakarta. Sejak kembali ke Kaltim, ia mengembangkan sastra dan teater.
Dalam bidang sastra menerbitkan buletin Arus dan antologi puisi, diskusi sastra, dan lain-lain dalam bidang teater mendatangkan pelatih Untung Basuki dan Bengkel Teater Rendra di Yogyakarta; serta mengembangkan teater anak-anak Rumpun Pisang dengan pelatih/pembina Syafril Teha Noer. Karyanya terhimpun dalam kumpulan sendiri maupun antologi bersama: Merobek Sepi (1980), Bayang-bayang (ed. Korrie Layun Rampan, Puisi Indonesia, 1980), Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999), dan lain-lain. Penyair ini menyukaì puisi panjang dalam bentuk balada. Salah satu puisinya yang berjudul “AI Fatihah” (Alquran dalam Imajinasi) dipuji HB Jassin sebagai bentuk yang belum pernah ditulis oleh penyair Indonesia lainnya.
Photo by ibukotakita.com