Memiliki nama lengkap Prof DR H Abdul Malik Karim Amrullah dengan gelar Datuk Indomo. Namun lebih populer dengan nama pena Hamka atau terkadang M.K. Amrullah. Lahir 17 Februari 1908 dan meninggal dunia 24 Juli 1981. Beliau seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.
Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan. Menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa pada tahun 1924. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah.
Dia pernah ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma. Hal ini melecut semangat Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli.
Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik Indonesia, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik.
Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno.
Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang berumur pendek karena dibredel Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta (yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden) berjudul "Demokrasi Kita".
Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya dan dibawa ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.
Menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno, Hamka dibebaskan pada Mei 1966. Pada masa Orde Baru Soeharto, ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta berceramah di RRI dan TVRI.
Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim.
Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. (wikipedia)