Ada maksud tersembunyi dari keganjilan fisik maupun nonfisik yang disajikan dalam puisi-puisi Hendro Siswanggono.
----
KENAPA orang tertarik membahas buku puisi? Begitu yang kerap ditanyakan. Dan jawabannya pun beragam. Ada yang karena ini, karena itu, sampai pada karena nama si penyairnya terdengar indah di telinga. Tapi, kali ini, mari dipinggirkan semua keberagaman jawaban yang ada.
Ikuti saja apa yang ingin saya lakukan. Yaitu, ingin membahas satu buku puisi. Dan buku puisi itu berjudul Orang-orangan yang Menyala dari Matanya (2021) karya Hendro Siswanggono. Satu buku puisi dengan cover dominan warna putih campur kuning, hijau gelap, serta gambar lelingkaran tak beraturan yang sepintas seperti tubuh manusia.
Tapi, bagi saya, itu lebih mirip pada gambar orang-orangan yang ganjil. Yang kita temui di film horor. Lalu, siapa sebenarnya Hendro Siswanggono? Dia adalah seorang penyair yang telah menulis sejak 1968 (data yang saya lacak). Sekian puisinya pun tersebar di berbagai media dan buku, misal: Basis, Budaya Jaya, Horison, Antologi 25 Penyair Surabaya, dan Tonggak 4. Dan belakangan, dia juga menerbitkan buku puisi Potret Seorang Anak Laki-Laki yang Menitikkan Air Mata (2020).
Ternyata, gambaran orang-orangan yang ganjil itulah yang disajikan Hendro Siswanggono di buku puisinya. Dan, gambaran itu ada orang-orangan yang ganjil fisik dan ada yang ganjil nonfisik.
Ganjil fisik dapat kita lihat pada puisi Aku Berbiak dari Secangkir (halaman 9): //Aku berbiak dari secangkir kopi/ Kepala hitam dengan tubuh ampas/ Malam bersendiri terbaring di ranjang makam/ Makan remah nasi dari sisa-sisa hari/ Menatap kepada siapa sepertinya yang/ Kian mendekat kepada kematian…///. Sedangkan ganjil nonfisik dapat kita lihat pada puisi Bersama (halaman 77): //Aku bertemu dengan perasaanku sendiri/ Hanyut dalam kemesraan/ Kesadaranku menyiksa hidupku/ Teman seusia sekarat/ Aku hanya berdua/ Berpelukan dan saling terbuka/ Menikmati segala kebahagiaan/ Kujalani seperti orang-orang kebanyakan…///.
Sebagai yang disajikan ganjil, ternyata orang-orangan itu dapat membalik waktu. Artinya, waktu yang semestinya berjalan lurus dari awal menuju akhir pun dapat dibalik dari akhir menuju awal: //Melangkah mundur tak mengakhiri/ kehidupan. Aku serasa species yang/ sendirian./ Menghuni pohon besar/ gelap penuh legenda…// (puisi Melangkah Mundur Tak Mengakhiri, halaman 5).
Juga dapat melihat hal-hal yang bukan semestinya: //Para manekin yang jatuh di atas bumi/ Membaca potongan-potongan legenda/ Nyanyian-nyanyian ganjil dan kata-kata yang keruh/ Sesekali terjun berbaur degan pesona bizare/ Mendengar tipuan-tipuan kalimat…/ // (puisi Para Manekin di Atas Bumi, halaman 17).
Anehnya, kemampuan ganjil semacam di atas ternyata tidak membuat orang-orangan itu bahagia. Sebaliknya, dengan rasa datar, menukas: //Saat aku berbaring di kamar/ Aku tak berpikir apa-apa// Saat aku duduk di ruang makan/ Aku tak makan apa-apa// Saat aku bercengkerama di beranda/ Tak ada hidangan apa-apa// Hanya sepiring kepedihan/ Dan secangkir air mata hangat// (puisi Saat Berbaring, halaman 24). Dan ketakbahagiaan itu pun terus-menerus mengekorinya. Sampai puncaknya berkata: //Kemauan membiarkanku berjalan sejak dini/ Menampakkan kegaduhan tak henti kepada/ Dengan tubuh pucat engkau mencabik-cabikku/ Warisan mengerikan tak terbayangkan/ Waktu mendiamkan segala kejadian/ Menghabiskan kepedihan dalam ungkapan…/// (puisi Kemauan Membiarkan, halaman 102).
Kini soalnya adalah: apakah keganjilan orang-orangan yang disajikan dalam buku puisi Orang-orangan yang Menyala dari Matanya oleh Hendro Siswanggono itu sekadar ingin berganjil iseng ataukah ada maksud tersembunyi? Ya, seperti di dalam dunia sastra (termasuk puisi), pemeo yang berbunyi: apa yang dikatakan begini, kadang yang dimaksud adalah begitu, pun benar adanya.
Jadi, ini bukan sekadar iseng. Tapi, ada yang ingin disampaikan. Dan itu dapat kita masukkan sebagai keironisan. Dalam arti, sesuatu yang dianggap biasa ternyata diam-diam dari matanya menyala hal yang ganjil (simbol orang-orangan). Hal yang ketika di malam-malam gelap pun bangkit dan menukas: //Tak ada foto diriku siapa/ Mereka juga tak mengenal dirinya/ Imajinasi berkembang suka-suka/ Menciptakan berhala yang dipuja-puja…/// (puisi Foto Diri halaman 29).
Ya, dunia memang makin maju. Dulu kita hidup dengan berburu. Terus bertanam. Terus bertempat. Berdesa. Berkota. Bermetropolis.
Lalu, kebiasaan menunjuk pun berubah menjadi menghafal. Menulis. Merekam. Menginternet. Terus. Dan terus. Sampai ke mana. Entahlah. Kita semua tak ada yang tahu.
Yang jelas, dunia terus meluncur seperti kapsul waktu yang tak pernah lelah. Menembusi batas demi batas. Sampai akhirnya menjadi lupa: ”Sebenarnya diri kita ini siapa, dari mana, untuk apa, dan mau ke mana? Atau sekadar pengembara yang pokoknya mengembara.”
Pengembara yang oleh Hendro Siswanggono disebut sebagai: ”Beri dia ratusan kematian. Akan dia larungi tengah lautan. Hingga dasar tatapan matanya. Padahal, dari beribu tahun kematian, hanya didapat pesan yang sedikit menyenangkan.” (saduran puisi Sajak Kematian, halaman 58). (*)
--------------------------------------------
DATA BUKU:
Judul: Orang-orangan yang Menyala dari Matanya
Penulis: Hendro Siswanggono
Editor: Yuliati Sesetyo Wardini
Penerbit: Tankali
Cetakan: Pertama, Maret 2021
Tebal: x + 113 halaman
ISBN: 978-623-7451-82-2
--------------------------------------------
MARDI LUHUNG. Penulis puisi dan guru. Tahun 2010 mendapat Khatulistiwa Literary Award untuk bidang puisi.
Sumber: Jawa Pos