Hitam putihnya tokoh terasa betul hanya merupakan bentuk memetik polos. Penulis hanya tinggal merasuk ke dalam psikologi karakter buatannya.
---
Bagi pembaca yang telanjur tahu siapa penulis buku ini, asumsinya atas motif penyusunan sepuluh cerpen di dalamnya bisa jadi akan langsung terbentuk. Ada motif ”apologi” di sana: pembelaan dari teman seprofesi atas perlakuan masyarakat awam selama pandemi.
Apalagi ada semacam catatan kaki di beberapa cerpen yang jelas-jelas ditujukan kepada para nakes (tenaga kesehatan) yang menjadi korban akibat ketimpangan sosial yang terjadi selama pandemi. Para nakes yang seharusnya memiliki expert power (kekuasaan keahlian), yang bersumber dari pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan seharusnya dapat menyuruh atau memerintah orang terkait anjuran kesehatan, justru tak diacuhkan, diabaikan, bahkan dituduh mengkhianati sumpah profesinya sendiri.
Jika kita memikirkan motif penyusunan buku tersebut, rasanya memang akan mengganggu objektivitas dalam menilai kualitas tulisannya secara utuh. Jika orang dikatakan tengah membela sesuatu, sudah jelas dia tidak akan bisa objektif terhadap objek lain yang tidak dibela.
Penggambaran tokoh-tokoh protagonis akan senantiasa diposisikan sebagai pahlawan, sementara tokoh antagonis akan senantiasa diposisikan sebagai penjahat. Tidak ada benang-benang cerita yang mengarahkan pembaca untuk memahami perkembangan tiap karakter mengapa memilih tindakan bodoh, jahat, baik, atau meragu.
Tidak adil lantaran para tokoh menjadi wayang semata. Lakon wayang saja tidak sedemikian dangkalnya.
Beruntung lantaran sebagian cerpen dalam buku ini memang mengambil secara langsung fakta-fakta sosial yang terjadi di sekeliling penulis, hitam putihnya tokoh terasa betul hanya merupakan bentuk memetik polos. Dan, penulis hanya tinggal merasuk ke dalam psikologi para tokoh buatannya. Dan, pembaca akan mengamininya.
Lantas, bagaimana jika yang menyusun cerita adalah seorang dokter, yang notabene bisa dikatakan sebagai salah satu pihak dari dua pihak yang terhubung dalam pandemi Covid-19? Patutkah kita menaruh curiga bahwa buku ini kehilangan independensinya?
Dalam ”Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”, Seno Gumira Ajidarma mengatakan bahwa sebuah karya bisa lahir atas sebuah obsesi, terpikirkan terus-menerus, hingga memenuhi kepala. Dokter Rosa, yang sekian tahun telah mengenyam pendidikan kedokteran, yang dididik berdasar pengetahuan empiris terkait penyakit dan kesehatan, juga bekerja di lingkungan yang mengutamakan keselamatan jiwa manusia, adalah sangat wajar jika yang keluar dari kepala (baca: kegelisahannya) adalah perkara-perkara seputar dunia medis –apalagi di musim pandemi. Kepungan fakta yang begitu intens akhirnya melahirkan sebuah obsesi; ketika nakes dilumpuhkan, sastra harus bicara.
Sebenarnya tidak semua dari sepuluh cerpen dalam buku ini berkisah tentang dunia nakes. Itu menunjukkan bahwa Dokter Rosa seharusnya memiliki kemampuan untuk menyusun cerita di luar tema dunia profesinya, sebagaimana penulis lain yang juga mampu menulis cerita di luar profesinya. Sebut saja Nova Eliza Handayani dengan Area X-nya dan Dewi Lestari dengan Aroma Karsa-nya.
Ada kesadaran penuh ketika mengeksekusi ide perihal pengorbanan para nakes yang atau malah menjadi korban. Bahwa mereka juga manusia. Kisah ”Akhir Kisah Tiga Pucuk Surat” menjadi antitesis yang melengkapi. Dengan begitu, akan muncul empati. Jika nanti terjadi pandemi lagi, ingatlah kisah-kisah ini. (***)
--------------------------------------------
DATA BUKU:
Judul buku: Kau Tuduh Aku Meng-Covid-Kanmu
Penulis: Bon Yosi
Penerbit: SIP Publishing
Cetakan: Pertama, September 2021
Tebal: xx + 88 halaman
ISBN: 978-623-337-367-8
--------------------------------------------
NUR HADI. Cerpenis, esais, penyair