Ulasan

title

Cengkih dan Ingatan yang Membekas


Penulis: Zainul Arifin | Posting: 25 Juli 2021

Novel ini berkisah berbagai ingatan tokohnya dan kolektif masyarakatnya. Tidak sekadar meneruskan ingatan kolektif masyarakat, penulis berupaya memberi counter narasi terhadapnya.

----

PERISTIWA buruk lebih mudah membekas dalam ingatan. Bukan sekadar sebagai pelajaran, melainkan juga mengendap begitu dalam. Namun, ingatan yang dipelihara turun-temurun acap kali sekadar dibesar-besarkan. Akibatnya, apa yang diceritakan sebenarnya tidak benar-benar terjadi. ”Sampai hari ini, tak ada yang tahu mana potongan kisah yang sepenuhnya benar, dan mana yang sekadar prasangka. Segala sesuatu tetap samar” (halaman 2).

Seperti biasa, Erni kembali meramu persoalan desa. Cerita dibuka dengan tragedi berdarah di kebun cengkih pada 1950. Tragedi inilah yang menjadi pijakan ingatan kolektif masyarakat. Ingatan yang salah menimbulkan relasi sosial yang renggang. Di titik ini Naf Tikore, pihak yang dianggap bersalah, dikucilkan dan dibuang oleh masyarakat.

Kisah melompat ke 1990, tentang rumah tua yang diberi nama Rumah Teteruga. Haniyah dan putrinya, Ala, adalah generasi ketiga dari pemilik rumah tersebut. Teteruga artinya penyu, hewan yang berdaya ingat kuat dan berinsting kembali ke tempat asalnya (strong homing instinct).

Dan, rumah memang tempat ingatan dirawat. Baik itu ingatan yang menggembirakan maupun ingatan yang menyedihkan. Di rumah itulah Ala mencatat ejekan demi ejekan teman-teman dan gurunya di sekolah hanya karena ia bermata juling.

Guru yang seharusnya melindungi justru menjadikan sekolah bak neraka. Lingkungan yang permisif terhadap perundungan. Meskipun bisa membalas, Ala tak pernah melakukannya. Keadaan yang membuatnya terus tenggelam dalam kesedihan. Cerita yang gelap, tetapi Erni berhasil mengemasnya dalam porsi yang tepat. Sehingga tidak lebay dan kisah terasa hidup.

Dunia yang Ala lihat adalah dunia yang penuh rumor dan salah paham. Pengalaman kebertubuhan itulah yang mengajarkannya. Karena itu, terhadap ingatan kolektif masyarakat, Ala adalah anomali. Ala tidak merelakan memorinya dihegemoni oleh narasi kolektif masyarakat. Ia tidak memercayai sesuatu sebelum melihatnya sendiri.


Ingatan yang Dibatalkan

Latar desa pedalaman kerap disuguhkan bersama narasi supranatural. Hal ini pula yang ditampilkan Erni dalam kemasan Ala bisa melihat hantu gentayangan. Tanpa rasa takut, Ala berteman dengan hantu bernama Ido. Pada awalnya, kemunculan Ido bagaikan pelipur lara saat Ala dirundung muram. Namun, sekuel dongeng Ido tentang anak bernama Mandika dari hari ke hari ternyata benar terjadi.

Ala menyusun pecahan demi pecahan cerita Ido. Mandika yang diceritakan Ido ternyata dirinya sendiri. Jasad Ido berada di kebun cengkih, dan kepalanya ada di kolong ranjang nenek buyut Ala. Serpihan demi serpihan ingatan tak sekadar bercampur aduk, tetapi juga saling bertabrakan di kepala Ala.

Mengambil alur campuran, Erni membuat apa yang diingat masyarakat sebenarnya kekeliruan dan apa yang dilupakan justru adalah kebenaran. Akibat desas-desus tentang Naf Tikore, unsur magis begitu kental terasa, seperti Naf Tikore digambarkan sebagai penyembah gurita raksasa, punya ilmu kebal, bisa menghilang, dan beristri bangsa jin. Dan, unsur magis ini dibatalkan dengan unsur magis yang lain, yakni kesaksian arwah Ido. Bagi mereka yang menjunjung tinggi rasionalitas narasi, segi ini sedikit mengganggu.


Ingatan yang Dipulihkan

Tanah dan kehidupan adalah satu napas. Demikian juga, ingatan yang terjalin berkelindan bersamanya. Kental dengan nuansa alam kebun cengkih yang eksotis memicu gairah baca lembar demi lembar. Apalagi Erni tak hanya mengulas ingatan lokal, tetapi juga nasional. Amnesia masyarakat dipulihkan dengan narasi problem kehidupan mereka, yakni kebun cengkih.

Pada 1992 dibentuklah BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih) yang dipimpin oleh Tommy Soeharto. BPPC memonopoli perdagangan cengkih dalam negeri. Semua hasil cengkih wajib dijual murah ke KUD yang terkait langsung dengan BPPC. Kebijakan ini menyengsarakan petani cengkih. Bahkan, sebagai bentuk rasa frustrasi, para petani membakar kebunnya sendiri.

Seolah menunjukkan soal yang mendarah daging di Nusantara, Erni mengingatkan sejak dahulu penjajah datang ke Nusantara demi cengkih. ”Kumpeni mengatur rakyat hanya boleh menanam cengkih atas izin Kumpeni, luas lahan, harga jual cengkih, dan tempat menanam ditentukan oleh Kumpeni” (halaman 137). Garis persoalan lokal cengkih yang disebabkan kebijakan pusat menyadarkan kita akan pentingnya mempertahankan tanah dan lingkungan.

Meskipun Orde Baru tumbang, soal cengkih belum juga tertangani. ”Ala dan Haniyah mendengarkan radio berhari-hari menunggu kabar BPPC dihapuskan. Namun, belum ada kabar apa pun yang bertautan dengan cengkih, melainkan berita-berita susunan kabinet dan paket reformasi” (halaman 142).

Ditutup dengan problem cengkih membuat pikiran melaju ke segala arah. Arah pertama sebagai bahan penting bagi keretek, produksi cengkih terhubung dengan industri-industri rokok besar. Artinya, sebenarnya cengkih berandil besar sebagai landasan ekonomi nasional.

Arah selanjutnya, sekiranya penting menjaga kesejahteraan petani. Sebab, sejarah panjang penjajahan menyadarkan kita bahwa monopoli perdagangan adalah bentuk penjajahan itu sendiri tak peduli dilakukan bangsa Barat maupun bangsa sendiri. Tentu menjawab titah kemajuan tidak boleh dengan penderitaan petani yang dijebak di dalam sistem. Di titik inilah kiranya novel Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga menjadi penjaga ingatan terhadap problem yang sebenarnya. (*)

--------------------------------------------


DATA BUKU:

Judul: Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga

Penulis: Erni Aladjai

Cetakan: Pertama, Januari 2021

Tebal: vi + 146 halaman; 13,5 x 20 cm

ISBN: 978-602-481-527-1

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

--------------------------------------------


ZAINUL ARIFIN, Alumnus Ilmu Sastra UGM tinggal di Kediri.


Sumber: Jawa Pos

Share:
Ulasan Lainnya