Catatan

title

Estafet Generasi Sastra Kaltim


Penulis: Mukhransyah | Posting: 26 September 2021

Karya-karya beserta profil singkat sastrawan generasi lama di Kalimantan Timur (Kaltim) sebagian kami sajikan dalam situs web madahetam.com. Kebanyakan bahan kami ambil dan sunting kembali dari buku Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia (2011), yang dieditori sastrawan Korrie Layun Rampan. Kami berharap karya sastra di Kaltim, dari generasi ke generasi, bisa dengan mudah dibaca dan dipelajari oleh siapa saja.

Generasi awal sastrawan Kaltim bisa dilihat dalam menu Puisi mulai postingan 1 Juli 2021. Generasi ini muncul tahun 1946. Sastrawan Korrie Layun Rampan menyebut sastrawan-sastrawan ini merupakan pembuka bagi generasi berikutnya. Sastrawan generasi awal yang karyanya dimuat di situs web ini, yaitu Ahmad Dahlan, Suhana, Oemarmaiyah, Burhan Dahlan, Maswan Dachri, Haji Amir, Mansyah Usman.

Selain mereka, masih banyak sastrawan lain yang juga terlibat dalam perjalanan awal sastra di Kaltim. Di antaranya Djohansjah Ana, Hanafiah Basri, Cahaya, AM Zakaria, A Rivai Ahmad, M Saleh Koeman, Marhaen, Marakarma, A Jazidi, Ridwan Majedi, dan lain-lain. Kami belum menemukan karya para sastrawan ini. Namun, kami akan berusaha mencari warisan sastra mereka.

Menurut Korrie, para sastrawan ini bila dilihat dari segi usia, termasuk Angkatan 45. Tetapi bila dilihat dari karya, masih tergolong Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan Pujangga Baru. Bentuk puisi kata Korrie, kebanyakan menggunakan irama pantun dan syair. Sementara prosa masih menggunakan pola hikayat dan riwayat, seperti kebanyakan karya Angkatan Balai Pustaka.

Di antara mereka yang menonjol ialah Ahmad Dahlan, Achmad Noor, dan Suhana. Ketiganya produktif menulis di media massa, khususnya media seni budaya. Termasuk media bergengsi yang dipimpin kritikus sastra Indonesia, HB Jassin. Ahmad Dahlan yang pernah menjadi bupati Kutai (sekarang Kutai Kartanegara), juga menerbitkan majalah seni budaya Gelora Mahakam di Tenggarong.

Generasi sastrawan berikutnya berkiprah antara tahun 1954 sampai 1969. Korrie Layun Rampan menyebut mereka Angkatan 66. Mereka yang dimuat dalam situs web ini antara lain, Djumri Obeng, Awang Shabriansjah, Masdari Ahmad, M Ardin Katung, Syarifah Maryam Barakbah, Herman Syukur, Sjarwani Miskan, M Sattar Miskan, Antung Abdullah, Hamdy AK, dan Badaruddin Hamidy.

Sastrawan lain dalam generasi ini ialah Dini Amiruddin, EM Adeli, Bachrun Gasib, A Malik, Ahmad, S Abubakar Yahya, Badaruddin Hamidy, Rochani Yati, Anny Rochani, Ahmad Hijrati, Alwi AB, Masiah Ahmad, Sani Rahman, Zairin Dahlan dan lain-lain. Kami juga belum menemukan karya-karya mereka. Dalam buku-buku yang diterbitkan Korrie Layun Rampan juga belum kami temukan. Bila pembaca memiliki karya-karya mereka silakan dikirim ke redaksi madahetam.com

Generasi ini dapat menyalurkan karya karena media massa mulai bermunculan di Samarinda dan Balikpapan. Diantaranya Masyarakat Baru, Pembina, Pacifik, Gema Abadi, Gelora Masyarakat, Tunas, Gema, dan Tekad. Selain itu, terdapat beberapa perkumpulan, seperti Ruang Sastra SMA, Sanggar Seni Sastra RRI Samarinda, Mahakam Club, dan Komunitas Sastra Tunas Mekar.

Anggota Komunitas Sastra Tunas Mekar pada tahun 1959 menerbitkan antologi puisi berjudul Nafas yang memuat karya para penyair generasi awal hingga yang berkarya tahun 1959. Di antaranya Suhana, Syarifah Maryam Barakbah, Herman Syukur, Hasani HA, Oemarmaiyah, dan lain-lain. Karya puisi mereka bisa dilihat dalam menu Puisi di situs web ini. Inilah buku antologi puisi pertama dari generasi awal penyair Kaltim.

Di antara sastrawan generasi ini, yang produktif dan berpengaruh ialah Djumri Obeng. Pria kelahiran Loa Kulu ini menulis cerpen, puisi, novel, drama, puisi anak-anak, dan cerita anak-anak. Salahsatu cerpennya “Langit Hitam” dimuat di majalah Sastra tahun 1964. Cerpen ini juga masuk dalam antologi cerpen dwi-bahasa, Indonesia dan Prancis. Korrie menilai karya Djumri Obeng setara dengan karya sastrawan nasional.

Generasi berikutnya tahun 1970-an. Mereka ialah Ahmad Rizani Asnawi, Syamsul Munir Asnawie, Johansyah Balham, Ibrahim Konong, Sudin Hadimulya, Ibramsyah Amandit, Arkanita, Sarwani Miskan, Sattar Miskan, Mugni Baharuddin, Hamidin, Syarifudin Basran, Karno Wahid, Zairin Dahlan, MD Hasyim Masykur, Abd. Alwi, M Nansi, Sidharta Wijaya, R Panji Setiono, Sandy, Abdul Rahim Hasibuan, dan lain-lain.

Korrie menganggap mereka masuk Angkatan 70 atau 80. Menurut Korrie, pada masa itu sastrawan sudah mampu keluar dari pengebirian konsepsi politik sastra Orde Lama. Penerbitan karya-karya sastra sudah makin bermunculan. Namun, dalam atmosfer Orde Baru kegiatan sastra di daerah, bahkan di pusat, belum sepenuhnya menemukan gairah kreativitas. Para pengarang ini muncul dengan dukungan mingguan Sampe dan media massa lain yang terbit di Samarinda dan Balikpapan.

Dari generasi ini, yang mencuat nama Ahmad Rizani Asnawi, Mugni Baharuddin, Karno Wahid, dan Johansyah Balham. Mereka menerbitkan kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan novel. Rizani menerbitkan kumpulan puisi berjudul Bayang-Bayang (1978). Karno menerbitkan buku puisi Tempoyaq (1981), Topeng (1982), Istana Malam (1983), Lanskap (1984), dan Getar-Getar Aorta (2000) serta beberapa novelet. Mugni menerbitkan buku puisi berjudul Perjalanan Sepi, Sunyi, Dingin, dan Panas (1998). Johansyah Balham melahirkan novel Runtuhnya Martadipura dan Sanga-sanga 1947.

Setelah itu, lahir generasi Dewan Kesenian Samarinda (DKS). Penyebutan “Generasi DKS” merujuk dari kata pengantar Syafruddin Pernyata pada buku antologi berjudul Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999). Sementara menurut Korrie, jika mengikuti pengelompokan dalam suatu angkatan sastra, generasi ini dapat digolongkan sebagai Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia.

Yang termasuk dalam generasi ini antara lain Yadi AM, Adam A Chiefny, Fiece ESF, Dimas Hono, Buddy Warga, Sukardi Wahyudi, Tatang Dino Herro, Syafruddin Pernyata, Misman RSU, Masriady Mastur, Hamdani, Roedy Haryo Widjono AMZ, Habolhasan Asyari, Syamsul Khaidir, Yaya WS Aria Santyka, Zulhamdani AS, Nanang Rijono, Elansyah Jamhari, Herman A Salam, dan lain-lain.

Di antara para sastrawan ini, selain menulis karya sastra juga bergiat di bidang teater yang sudah muncul pada akhir tahun 1970-an. Beberapa grup teater yang didukung sejumlah sastrawan dan seniman teater, seperti M Sattar Miskan, S Ibrahim Konong, Aziz Farani, Mugni Baharuddin, Abdul Rahim Hasibuan, Syamsul Khaidir, Yongki, Saiful M, Rizal Effendi, dan lain-lain.

Pada masa ini juga lahir beberapa media yang mendukung penerbitan karya sastra. Ahmad Rizani Asnawi sebagai ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kaltim membuat media DKS: Arus, yang ditangani Syafril Teha Noer. Media massa lain yang menyediakan halaman sastra adalah mingguan Sampe. Kemudian menyusul lahir Manuntung (kemudian berganti nama Kaltim Post), Suara Kaltim (kemudian berganti Swara Kaltim), dan sejumlah media massa lain.

Sastra di Kaltim kemudian semakin bergairah setelah Korrie Layun Rampan kembali ke Kaltim pada tahun 2001, setelah 40 tahun bermukim di Jakarta. Dia berupaya membimbing para sastrawan muda dengan membentuk komunitas sastrawan. Mereka melakukan diskusi, seminar, peluncuran buku, dan penerbitan buku, baik dilakukan di Samarinda, Balikpapan, Sendawar, dan lain-lain.

Buku yang diterbitkan Korrie antara lain antologi cerpen Bingkisan Petir (2005) dan Samarinda Kota Tercinta (2007). Dua buku ini dibiayai secara swadana oleh para sastrawan. Selanjutnya, terbit buku antologi Balikpapan Kota Tercinta (2008) dan Balikpapan dalam Sastra Indonesia (2008) serta buku Hantu Sungai Wain (2009). Ketiga buku itu sangat penting karena menggambarkan kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan sastra di Kota Balikpapan. Buku warisan Korrie lainnya adalah Kutai Barat dalam Sastra Budaya Indonesia yang terbit di Sendawar, Kutai Barat.

Pelanjut generasi Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia yaitu Fatimah Asyari, Siti Jumaniyah, Akhmad Zailani, Sunaryo Broto, Harry Trunajaya BS, Datu Iskandar Zulkarnaen, Aniroh, Atik Sulistyowati, Atik Sri Rahayu, Arif Er Rahman, Try Lestari, Unis Sagena Hasyim, Hasan Aspahani, Amien Wangsitalaja, Sari Azis, Shantined, Rita Widyasani, Daian, Sultani, Sophie, Tri Wahyuni, Gita Lidya, Novieta Christina, Maya Wulan, Nala Arung, Mukhransyah, Fitriani Um Salva, Wuri Handayani, dan lain-lain.

Para sastrawan muda ini sangat bersemangat dalam berkarya dan menggeluti dunia sastra. Selain berkarya dan membuat buku tunggal atau antalogi, mereka juga aktif dalam berbagai komunitas sastra dan kegiatan sastra, seperti pembacaan puisi, pertemuan sastra nusantara, diskusi, dan sebagainya. Di antara karya mereka bisa disimak pada menu Puisi dan Cerpen di situs web ini.

Setelah mereka, generasi sastrawan berikutnya kembali bermunculan. Anak muda pada generasi milenial (generasi Y) semakin banyak yang berminat menyelami lautan sastra. Bahkan perkembangan sastra semakin bergairah dengan munculnya berbagai media massa lokal dan nasional yang mengakomodasi karya mereka. Baik media cetak maupun media digital (media online). Sastrawan muda yang karyanya dimuat di web ini seperti Andriane Uran, Andria Septy, dan Panji Aswan.

Generasi milenial dan generasi Z sudah sangat bergantung pada teknologi. Sastra yang berkembang dalam kehidupan mereka sudah berbasis digital atau  sastra digital. Baik sastra lisan maupun tulisan. Mereka bisa saja menyalurkan karya melalui media sosial atau aplikasi yang bisa dibaca semua orang. Namun bobot sastra dalam karya mereka tentu saja tidak bisa diukur karena tak melewati proses kurasi.

Generasi ini pun tak perlu repot mendatangi toko buku untuk membaca karya penulis ternama. Mereka bisa membaca lewat buku digital atau e-book. Ada yang berbayar, ada pula yang tidak. Mereka juga bisa membaca sekaligus mengirimkan karya tulis melalui aplikasi seperti Wattpad. Komunitas digital ini sudah dirilis 15 tahun lalu dan mempunyai puluhan juta members. Penerbitan karya lewat aplikasi ini tentu tanpa melalui kurasi. Penulis lebih mementingkan readers atau followers.

Di era milenial ini, banyaknya readers, followers, viewers, likes, subcribers, dan sebutan lainnya tampaknya sudah menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah karya. Karya yang bagus dan berkualitas bisa jadi atau belum tentu akan banyak penikmat. Begitu juga sebaliknya. Yah, kita tunggu saja karya-karya generasi milenial yang berbobot sekaligus memiliki banyak readers, terbit di situs madahetam.com. (***)

Samarinda, 26 September 2021


(Sebagian diolah dari Pendahuluan Buku Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia yang ditulis Korrie Layun Rampan)


Photo by iStock

Share:
Catatan Lainnya