Catatan

title

Pejabat Minta Dilayani


Penulis: Mukhransyah | Posting: 28 Juli 2021

Ratusan penyapu jalan di Kabupaten Purwakarta tampil berbeda saat malam pergantian tahun 2015. Mereka tidak mengenakan seragam berwarna kuning, melainkan mengenakan kemeja putih berlengan panjang dan dasi. Mereka mengikuti jamuan makan malam bersama bupati dan jajaran pejabat pemkab, di Taman Pancawarna.

Kedatangan mereka disambut Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dan wakilnya beserta para pejabat pemkab. Malam itu, para kepala dinas dan pejabat lainnya mengenakan seragam penyapu jalan berwarna kuning. Mereka bertugas melayani para penyapu jalan. Para penyapu jalan pun menikmati perayaan pergantian tahun sebagai “bos”.

Program “tukar nasib” ini dilakukan Dedi sebagai bentuk apresiasi kepada para penyapu jalan. Dia ingin penyapu jalan bisa menikmati liburan tahun baru bersama keluarga. "Sepanjang tahun mereka bekerja kumpulkan sampah, jadi khusus hari ini kami istimewakan mereka,” ujar Dedi, saat memberi kata sambutan dalam acara makan malam.

Setelah perayaan pergantian tahun, Dedi bersama pejabat, PNS, anggota TNI serta masyarakat, membersihkan sampah dari perayaan pergantian tahun. Saat pagi, kawasan yang dipadati masyarakat saat malam pergantian tahun sudah bersih. "Saya pulang jam 3 pagi setelah tugas saya sebagai penyapu selesai," ucap Dedi, seperti dilansir detikcom. 

Di Purwakarta ada 375 penyapu jalan, dan 85 orang diantaranya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Tenaga Harian Lepas (THL). Dalam program “tukar nasib” ini, mereka diliburkan dua hari, yaitu 31 Desember 2015 dan 1 Januari 2016. Namun mereka tetap menerima upah Rp 50.000 per hari, dan dianggap sebagai bonus.

Yang dilakukan Dedi dan jajarannya ini salahsatu bentuk motivasi kepada bawahan (penyapu jalan). Dalam ilmu manajemen dan teori kepemimpinan, upaya ini disebut proses memberikan pengarahan dan pengaruh kepada bawahan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. untuk mendukung program pemerintah.

Lewat program ini para pejabat juga akan menghargai pekerjaan bawahan (tukang sapu). Para pejabat juga akan mengetahui dan merasakan kesulitan yang dialami para bawahan. Sekaligus juga mengubah pandangan bahwa pemerintah bukan sekadar bisa memerintah. Tetapi harus tahu setiap persoalan di lapangan atau di tengah masyarakat. 

Saat menjalankan program ini, para pejabat Purwakarta pasti kagok. Tidak biasa melayani bawahan. Apalagi penyapu jalan yang mungkin dipikiran mereka masuk daftar paling bawah. Sementara tukang sapu juga jengah mendapat layanan dari pejabat. Ketidaknyamanan ini terjadi karena ada kotak pemisah status dalam pikiran keduanya. 

“Tukar nasib” ini kelihatannya sepele, tapi apakah kepala daerah dan pejabat di provinsi kita ini mau dan bisa? Selain menyapu jalan, misalnya membersihkan dan menata taman, membersihkan gorong-gorong yang tersumbat, atau mengatur lalu lintas yang macet? Tentu kegiatan yang bukan sekadar pencitraan dan dilakukan dengan ikhlas.

Selama ini memang ada kesan, pejabat di pemerintahan bukan bertugas melayani masyarakat. Sebaliknya, pejabat yang meminta dilayani masyarakat karena merasa mempunyai kekuasaan dan wewenang. Contohnya, bila melintas di jalan ramai harus dikawal voorijder. Bukannya menyelesaikan masalah, malah jadi penyebab kemacetan.

Sering pula kita lihat konvoi kendaraan pejabat tinggi negara atau daerah melintas di jalan ramai, diatur oleh petugas kepolisian atau Dinas Perhubungan (Dishub) kota. Tetapi ketika ada kemacetan akibat proyek, kepadatan kendaraan, atau traffic light yang mati, petugas Dishub jarang terlihat. Kemacetan dibiarkan, seakan tugasnya hanya mengawal kepala daerah.

Ada pejabat yang mengaku siap mendengarkan aspirasi dan keluhan masyarakat. Tapi ketika ditemui susahnya minta ampun. Ketika ditelepon, ponsel-nya tidak pernah diangkat. Yang mengangkat kadang malah bawahan. Saat janjian bertemu, lebih susah lagi. Alasannya bermacam-macam; keluar daerah, rapat staf, dan lain-lain.  

Sebagai orang awam, saya menyimpan pertanyaan sederhana. Misalnya, dalam suatu waktu seorang pejabat publik sebuah instansi diundang oleh masyarakat kelurahan bersamaan dengan undangan kepala daerah atau atasannya. Acaranya sama; hanya makan siang. Undangan manakah yang akan dipenuhi pejabat itu? Undangan wali kota atau masyarakat? 

Bila menjelang mutasi atau suksesi kepala dinas, pejabat itu bisa jadi lebih tertarik menghadiri undangan kepala daerah. Undangan masyarakat bisa saja dianggap tidak berpengaruh pada kariernya. Bila dia lebih mengutamakan atasannya, berarti dia lebih banyak mengabdi kepada kepala daerah. Bukan pengabdian kepada masyarakat.

Pemerintahan identik dengan kekuasaan. Bila kita tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerintah cenderung mengarah pada kekuasaan. Pemerintah yang mengatur negara atau daerah. Bila ingin melenyapkan kesan “kekuasaan”, bisa diganti dengan pengabdi negara/daerah. Apa pejabat mau disebut pengabdi daerah?

Kepala daerah dan pejabat yang lebih menonjolkan kekuasaan akan merasa bak raja kecil di daerah atau di lingkungannya. Pejabat yang lebih menonjolkan kekuasaannya akan lebih suka dipanggil nama jabatan, ketimbang namanya. Bila dia menjaga jarak kekuasaannya dengan masyarakat, maka pembangunan tidak akan berjalan maksimal.

Kita tahu jabatan kepala daerah atau jabatan lainnya hanyalah titipan Tuhan. Seperti juga anggota DPRD, jaksa, polisi, petani, lurah, camat, guru, sopir, penjual sayur, dan lainnya. Menjadi pejabat adalah amanah. Karena amanah, sudah seharusnya pejabat menjaga kepercayaan dan mengutamakan kepentingan masyarakat.

Oknum pejabat yang minta dilayani akan cenderung melakukan penyelewengan wewenang, korupsi, dan gratifikasi. Sekalipun mendapat fasilitas dari negara, kepada pengusaha atau masyarakat bisa jadi pejabat ini akan meminta fasilitas-fasilitas. Mereka meminta pelayanan karena merasa sudah memberi layanan atau akan memberikan layanan. 

Kadang ada saja kita dengar ulah mendengarkan oknum pejabat meminta hadiah, komisi, tiket pesawat, layanan hotel, fasilitas lapangan golf, sampai meminta layanan Pekerja Seks Komersial (PSK). Mental pejabat seperti ini jugalah yang memunculkan kasus “Papa Minta Saham”. Bila tak berubah, berikutnya entah kita akan mendengar pejabat minta apa lagi. (***)

Samarinda, 4 Januari 2016



MUKHRANSYAH. Wartawan di Kaltim. Pengurus Jejaring Madah Etam dan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kaltim.

Share:
Catatan Lainnya