Catatan

title

Komunitas, Web, dan Madah Etam


Penulis: Mukhransyah | Posting: 24 Agustus 2021

Apakah ini bisa dibilang gerakan literasi berhasil? Komunitas penulis atau pecinta sastra semakin marak. Hampir tiap kabupaten/kota memiliki komunitas atau perkumpulan. Ada yang dibuat formal atau terorganisasi dengan baik. Ada pula yang tidak formal. Yang penting bisa ngumpul dan diskusi. Ada pula perkumpulan yang dibentuk dosen dan mahasiswa di kampus-kampus. Belum lagi kelompok literasi masyarakat yang berjaringan sampai pelosok-pelosok daerah.

Kita tahu, beberapa komunitas di Indonesia telah melahirkan penulis andal. Pada tahun 70-an, ada komunitas di Jogjakarta yang melahirkan penulis-penulis ternama, yaitu Persada Studi Klub yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi. Komunitas ini melahirkan Korrie Layun Rampan, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Iman Budi Santosa, Yudhistira ANM Massardi, dan lainnya. Komunitas ini bubar pada 1975 karena Umbu pindah ke Bali. Kini sang pendiri telah tiada.

Komunitas yang juga dikenal adalah Forum Lingkar Pena (FLP), berdiri tahun 1997. Komunitas didirikan Helvy Tiana Rosa dan beberapa rekannya. Kini sudah memiliki cabang di 32 provinsi dan 12 cabang di luar negeri (cabang Kaltim termasuk yang awal dibentuk). Salahsatu pendiri FLP, Asma Nadia, dikenal lewat novel Emak Ingin Naik Haji, Rumah Tanpa Jendela, dan Assalamualaikum Beijing. Ketiga novel ini sudah difilmkan. Ada juga Habiburrahman El Shirazy, penulis Ayat-Ayat Cinta.

Di Kaltim, komunitas-komunitas terutama lahir di Samarinda, Balikpapan, Bontang, dan Kutai Kartanegara. Ada Group Penulis Balikpapan (GPB), Sindikat Lebah Berfikir (Samarinda), Macandahan (Samboja), Studio Kata (Bontang), Buku Etam (Samarinda), Sanggar Sastra Remaja Indonesia. Ada pula komunitas perempuan, seperti Ibu-Ibu Doyan Menulis (IIDM) dan Borneo’s Women Community. Banyak lagi komunitas lain, yang terlalu banyak bila disebutkan dalam catatan ini. 

Yang sudah lama berdiri dan tetap eksis adalah Jaring Penulis Kaltim (JPK) yang didirikan Korrie Layun Rampan bersama beberapa penulis tahun 2005. Meski tidak secara formal menghimpun anggota, namun komunitas ini memiliki ratusan anggota. Di antaranya bisa disebut berhasil mewarnai dunia sastra, seperti Amien Wangsitalaja, Herman A Salam, Shantined, Sari Azis, dan lain-lain. Komunitas ini juga telah menerbit beberapa buku antologi cerita pendek (cerpen). Sebelum pandemi Covid 19, mereka rutin tiap minggu menggelar diskusi tatap muka. 

Uraian di atas bukan ingin menggambarkan yang bergabung dalam komunitas pasti akan menjadi penulis andal. Komunitas tentu saja bukan patokan bisa menghasilkan penulis berkualitas. Tidak semua penulis hebat lahir setelah bergabung dalam komunitas atau perkumpulan. Penulis yang hebat adalah penulis yang bisa mengembangkan dirinya sendiri, termasuk mencari karakter tulisannya sendiri. Tanpa harus bergantung pada perkumpulan beserta anggotanya. Karena penulis sejatinya pekerjaan individual. 

Komunitas diperlukan sebagai wadah mengasah kemampuan menulis. Menjadi sarana berbagi ilmu, wawasan, dan pengalaman. Bisa saling memberi masukan dan motivasi. Lewat diskusi-diskusi, penulis bisa membentuk gaya penulisan sendiri. Manfaat inilah yang bisa memicu semangat seorang penulis. Dan, manfaat inilah yang membuat komunitas menjamur dengan anggota dari berbagai lapisan; dosen, guru, jurnalis, pelajar, mahasiswa, pengusaha sampai pejabat. 

Pandemi Covid 19 selama hampir 2 tahun ini, bahkan tak menyurutkan semangat komunitas untuk beraktivitas. Kemajuan teknologi komunikasi membuat mereka tetap bisa melakukan diskusi. Tanpa tatap muka. Komunitas bisa membuat grup di aplikasi pesan lintas platform WhatsApp (WA), bisa lewat Facebook, Instagram, dan aplikasi lain. Bahkan diskusi dan seminar melalui situs web atau aplikasi berbasis internet (webinar) juga marak.  Peserta bisa ikut dari mana saja; di rumah, di kantor, di kampus. Bahkan bisa sambil melakukan pekerjaan lain. 

Kemajuan teknologi pula yang membuat masyarakat semakin mudah menyalurkan karya mereka. Sebelum tahun 2000, media massa masih terbatas. Penulis hanya bisa mengirimkan naskah ke media cetak, atau terkadang media radio. Sekarang penulis juga bisa mengirimkan karyanya untuk media massa dalam jaringan (media daring) yang menjamur. Banyak media online yang memberi ruang untuk karya sastra. Majalah sastra Horison pun sempat bersalin rupa menjadi media online.

Situs web khusus sastra juga bermunculan dalam beberapa tahun terakhir. Di antaranya dengan konten lokal yang kental dan bergaya kekinian dengan sasaran anak muda. Kebanyakan diasuh sastrawan. Misalnya di Denpasar ada situs Tatkala, di Jogjakarta ada Basabasi, di Bandung ada Buruan, di Solo ada Nongkrong yang baru aktif tahun lalu, di Manggarai (NTT) ada Bacapetra, dan ratusan situs web sastra lainnya. Kalimantan pun tak ketinggalan. Di Banjarbaru (Kalsel) ada AsyikAsyik, di Pontianak (Kalbar) ada Literasi Kalbar.

Namun media-media cetak nasional seperti Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Republika, Tempo, dan media nasional lain, masih menjadi rujukan untuk karya-karya berkualitas (sekalipun muncul pesimistis media cetak sulit bernapas dan segera tenggelam). Sebagian penulis merasa mendapat “legitimasi” sebagai sastrawan bila karyanya dimuat di Kompas atau Jawa Pos. Anggapan “legitimasi” ini juga berlaku bagi penulis jenis artikel lain, seperti opini, kolom, atau feature. 

"Legitimasi" ini muncul karena untuk terbit di media cetak tersebut harus melalui proses seleksi dan kurasi. Padahal sebagian media online pun bisa jadi melewati proses tersebut. Selain ini, honorarium untuk dimuat di media cetak nasional tersebut dianggap lebih memadai dibandingkan media online. Kemudian, media tersebut dianggap lebih terpercaya, terverifikasi, serta memiliki pembaca cukup banyak dan sesuai dengan segmentasi karya.    

YANG PERTAMA

Di antara rimbun komunitas dan media online, situs web madahetam.com hadir. Situs ini dikelola Jejaring Madah Etam (JME) yang terdiri dari sastrawan, dosen, guru, jurnalis, penggiat literasi, dan sebagainya. Di Kaltim memang ada puluhan komunitas penulis, namun situs web yang fokus pada pengembangan sastra atau kegiatan tulis-menulis hanya madahetam.com. Media-media massa di Kaltim tak banyak yang menyediakan rubrik seperti cerpen, puisi, esai, dan opini.

Madahetam.com disiapkan untuk penulis Kaltim (dan seluruh Indonesia). JME mengajak komunitas penulis dan sastra terlibat dalam web ini. Sebenarnya, pengurus JME juga pentolan atau pengurus komunitas-komunitas di Kaltim (bahkan di Dewan Kesenian Daerah Kaltim). Maka boleh pula dikata, web ini sebenarnya juga milik penulis dan komunitas di Kaltim. Hanya saja karena web terbuka untuk publik Indonesia, maka persaingan antar penulis dari berbagai daerah bisa saja terjadi.

JME tetap mendorong penulis muda muncul di berbagai daerah di Kaltim. Karena itulah di beberapa daerah, terdapat koordinator JME. Di Kutai Kartanegara ada Sukardi Wahyudi, sastrawan yang sudah membuat lebih 350 puisi, puluhan cerpen, naskah drama, dan novel. Di Bontang ada Muthi Masfuah, yang dikenal sebagai pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) di Kaltim. Telah menerbitkan puluhan buku dan beberapa kali mendapat penghargaan sebagai guru berprestasi. Di Balikpapan ada Lovie Gustian, sastrawan muda pemilik Roeang Lovie yang juga direktur Balikpapan TV. Di utara Kaltim (Berau) ada penyair muda Andriane Uran dan di selatan (Paser) ada Hutja Prasetya.   

Pengurus JME juga berupaya agar madahetam.com tak sekadar menjadi wadah memajang karya untuk memuaskan ego para penulis, seperti kritikan yang sering disampaikan sastrawan Eka Kurniawan. Karya yang dimuat di situs madahetam.com tetap melalui seleksi dan kurasi oleh masing-masing divisi. Mungkin tidak seberkelas sastrawan yang sudah berpengalaman. Paling tidak pengurus JME berupaya tidak asal “tempel” karya hanya untuk menampilkan sesuatu yang baru.

Sebagai bentuk penghargaan sekaligus dokumentasi, madahetam.com memuat karya-karya penulis generasi lama di Kaltim. Di antaranya yang sudah turut mewarnai dunia sastra Indonesia, seperti Djumri Obeng, Korrie Layun Rampan, Achmad Noor, Ardin Katung, dan Achmad Rizani Asnawi. Madahetam.com juga menghimpun karya sastra lokal atau daerah, seperti cerita rakyat, dongeng, pantun, dan sebagainya. Tujuannya agar generasi sekarang atau yang akan datang, tetap bisa menikmati karya sastrawan asal Kaltim. Agar sastra daerah bisa tetap terpelihara.  (***)  

Samarinda, 24 Agustus 2021


---------------------------------

MUKHRANSYAH. Wartawan di Kaltim. Pengurus Jejaring Madah Etam dan Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur.


Ilustrasi: medium.com

Share:
Catatan Lainnya