Cerpen

title

Arus Balik


Penulis: Herman A. Salam | Posting: 27 November 2021

Bulir padi merunduk dalam, gemuk seperti tembamnya pipi perawan. Berayun-ayun malas mengikuti tiupan angin. Siang semakin panas. Arak-arakan awan tipis tak mampu memanyungi bumi dari teriknya matahari. Gerombolan burung pipit terbang kian kemari mencari kesempatan mencuri buliran padi. Sesekali terdengar teriakan gadis kecil dan gerencengan suara kaleng di tubuh orang-orangan pengusir burung.

Roben menatap Kayang, gadis kecil yang mulutnya tak hentinya berceloteh memarahi pipit-pipit nakal. Sesekali Kayang menyibak rambut pirangnya dengan jari-jarinya yang mungil. Roben gemas ingin mengucel-ngucel tubuh Kayang yang semakin hari semakin montok, walau Buring, istrinya sering memarahinya.

“Yah, kenapa tidak ditembak saja burung pipit nakal itu. Kan kalau setiap hari padi kita mereka makan, nanti bisa habis,” ujar Kayan.

“Tidak boleh begitu, Yang. Kita harus bisa saling berbagi. Pipit-pipit itu kan juga perlu makan.”

“Kalau begitu, untuk apa Yayang capek-capek mengusir burung setiap hari? Mendingan Yayang main saja!” protes Kayang pada bapaknya.

Roben sesaat menghentikan pekerjaannya. Rajutan bambu dia letakkan. Ia kemudian bangkit lalu duduk di samping Kayang. Dipeluknya putri kecilnya itu sambil mencium ubun-ubunnya dengan penuh sayang. Roben kemudian mengayun-ayunkan kakinya terjuntai megikuti gerakan Kayang yang selalu mengayun-ayunkan kakinya manakala duduk di dangau.

Roben menarik tali nilon sambil berteriak mengusir rombongan pipit yang akan hinggap di utara pondok. “Heyaaaa...!”

“Heyaaaae...,heya..., heyaaa!” teriak Kayang sambil menarik tali menggoyang orang-orangan yang berdiri di dekar pohon wangi.

“Eh, bandel! Lihat, Yah! Coba Ayah sumpit yang ada bulu putihnya itu. Itu pipit yang paling bandel. Kalau sekali dua saja mengusirnya, mana dia pergi. Heya...!”

“Yang, kita tidak boleh membunuh burung yang nakal itu, masih banyak yang mereka sisakan untuk itu. Kalau mau mengambil jangan serakah. Jangan sampai mematahkan tangkainya.”

Pandangan Roben mengikuti burung-burung pipit yang terbang menjauh. Berputar sesaat kemudian hinggap di bagian ladang yang lain. Pipi-pipit itu mengingatkan masa kanak-kanaknya dulu. Puluhan bahkan ratusan burung pipit mati terkena jeratnya atau melengket tak berdaya di potong ranting yang sudah diolesi getah nangka. Semua itu dilakukannya ketika kemarahan memuncak. Kebencian terhadap teman-temannya dilampiskan pada burung-burung lemah itu.


“Roben bekantan.”

“Roben penuh bulu persis orang utan.”

“Roben anak kampang.”

Masih banyak ejekan lain keluar dari mulut teman-teman bermainnya.

Tak sekali dua ia berkelahi karenanya. Kesemuanya memang dapat dimenangkannya, namun akibatnya orang tua kawan-kawannya sering tidak terima. Umpatan yang keluar dari mereka lebih kejam lagi. Maka tanpa perduli pada teriakan Inay, dengan gubangnya ia kayuh sekuat tenaga menuju huma Kek Abing di hulu Kliwai. Berhari-hari ia di pondok Kek Abing dan kakeknya sudah membujuk ia kembali ke kampung karena Roben juga harus masuk sekolah.

Kek Abing tahu akan kekesalan cucunya itu, yang tumbuh dengan memiliki perbedaan dari teman-temannya di kampung. Roben mewarisi darah bapaknya. Pertumbuhan tubuhnya tidak sama seperti anak-anak sebayanya. Tubuhnya tumbuh menjulang. Rambutnya pirang keriting menggelombang, bulu-bulu tumbuh di kulitnya yang putih kemerahan plus sepasang mata biru dan hidung yang mancung terukir di wajahnya. Bak burung bekisar, Roben menarik perhatian orang-orang. Sejak kecil sudah dalam perhatian, baik saat bermain gasing atau logo tak ada yang mampu menandingi kecakapan Roben. Juga kecepatan berenang di sungai.

Saat Roben menginjak dewasa, banyak gadis suka pada Roben yang ganteng. Ketika Roben terlibat dalam Upacara Pelas Kampung maupun Erau, gadis-gadis banyak yang memerhatikan Roben. Roben yang ramah, Roben yang memiliki senyum memikat dengan tatapan dalam di baluk matanya yang biru. Namun ini membuat kesal para pemuda yang kalah bersaing dengan Roben dalam memperebutkan cinta seorang gadis. Tak sedikit yang iri lalu melempar fitnah padanya.

Dari mulut kakeknya, Roben tahu dirinya yang sebenarnya. Karena setiap dia bertanya pada Inay, tak ada jawaban yang keluar dari mulut sang ibu. Inay Nan Kayang nama emaknya. Wajahnya cantik dengan tubuh tinggi semampai. Sesuai dengan namanya.

Emak Roben dulu adalah kembang kampung. Setiap menari, baik acara adat di kampung atau di kecamatan, lelaki normal yang memandangnya, terkesima kagum. Terlebih tatkala melihat betis jenjang yang tersikap di balik ta’ah saat melangkah. Jakun mereka hanya bisa naik turun menahan gejolak hati.

Sungguh para lelaki merasa bersyukur pada orang-orang terdahulu karena telah mendesain ta’ah sedemikian rupa. Kain ta’ah yang dikenakan perempuan kampung tidak terlalu lebar, dipasang melingkat dan diikat ujung-ujungnya hanya bersentuhan tak lebih sejengkal belaka, hingga saat kaki melangkah maka betis indah perempuan-perempuan itu menampak sampai kebayangan paha. Mereka semua menunggu langkah kaki emaknya menari membelakangi mereka.

Gadis cantik dambaan setiap pria. Pada suatu malam petaka, setelah pesta pelas kampung usai, ketika semua orang masih mabuk oleh tuak, bir dan jevener yang membakar tubuh. Malam telah larut. Seperti biasanya Inay berjalan kaki menuju rumahnya di hulu kampung seorang diri. Tiba-tiba tubuhnya disergap lelaki tinggi besar. Inay Nan Kayang tak berdaya melawan kekuatan iblis yang sudah merasuk ke tubuh pekerja asing yang memang sudah tak lagi waras akibat alkohol. Lalu hanya dalam hitungan detik, nafsunya durjana itu menyiram bumi subur Inay Nan Kayang.

Seminggu kemudian dalam rapat adat ditentukan denda yang harus dibayar, dan semua urusan selesai. Segantang beras, seekor babi, mandau dan ringgit yang tak akan sebanding dengan derita yang di tanggung oleh gadis cantik yang tak berdaya melawan kejamnya dunia. Luka yang menyayat itu hanya dibawanya dalam diam dan tangis dan akan ditanggungnya. Alam kehilangan langkah kaki lembut kala menari mengiringi petikan sampe. Hilang sudah Inay Nan Kayang primadona kampung.

Orang-orang kampung tak perduli. Mereka lebih perduli pada gerak roda bulldozer yang meratakan hutan, memindahkan gunung, menggeser sungai. Merek kini terpesona pada gemerlapnya ribuan watt lampu mencuri yang mampu mengganti malam. Kunang-kunang tak lagi berarti. Kunang-kunang bukan lagi mengisi khayal anak-anak di malam hari. Kini, mimpi telah berganti lajunya truk-truk pengangkut bongkahan emas. Petikan sampe kini berganti dengan hingar-bingar radio tape yang diputar di warung-warung menjajakan minuman keras juga wanita penghibur.

Kekecewaan demi kekecewaan dirasakan oleh Roben. Hampir sepanjang langkah perjalanan hidupnya. Selalu ada satu sisi yang datang dengan menoreh luka. Limpahan nafsu lelaki bangsat itulah kini yang ditanggung oleh Roben. Semua melekat sempurna di tubuh Roben. Lelaki bule yang sedetik pun tak dikenal oleh Roben namun sepanjang hidupnya dirasakan kehadirannya, melalui pandangan, ejekan maupun penghinaan.

Demikian pula ketika ayah Retno yang memang kental betul keningratannya, dengan gaya aristoktratnya, dengan bahasa halus menolak kehadirannya. “Memilih menantu itu harus tahu bibit, bebet dan bobotnya. Tak sembarangan. Bukan hanya cinta, harta dan tahta, terlebih rupa. Maaf, kalau kami menolak lamaran Roben. Bukan karena Roben orang...,” demikianlah kalimat yang meluncur dari ayah Retno.

Lagi-lagi lelaki bejat itu menyeret deritanya. Ia manusia yang tumbuh dari bibit yang tidak jelas. Bibit dari lelaki bangsat. Retno yang cantik. Retno yang ideal, dengan pikiran maju ternyata tak mampu melawan kehendak orang tuanya. Roben yang mendambakan seorang wanita tegar yang memahami keberadaannya harus kecewa. Pada situasi ini ia tidak menyalahkan Retno. Roben lunglai tak berdaya pada jalannya nasib.

Patah hati. Tak ada kekalahan yang sangat menyakitkan yang dapat disangga oleh hidup ketika patah hati. Hidup jadi tak berguna, tak berdaya. Seperti enggang yang patah sayapnya. Terseok-seok pulang ke sarang. Menyerah kalah. Akhirnya pulang dengan membawa amarah. Di kampung, mengais kehidupan yang tersisa. Hutan lebat yang dulu berdiri gagah di sepanjang Kelian kini musnah. Jangankan hutan, sungai yang dulu ia sering berenang sudah lenyap. Semua hanya menyisakan lubang-lubang menganga penuh air mata. Gadis-gadisnya pun kini berbeda penampilannya, dengan rambut keriting melempar senyum penuh birahi di bibir-bibir yang kini tersapu gincu merah menunggu di beranda depan kalau-kalau ada lelaki yang datang melamar.

Para pemudanya menunggu putus asa bila dijadikan karyawan pabrik yang hampir kolap. Emas berbentuk pasir yang biasanya larut di Sungai Kelian yang tampak jelas menakah air surut musim kemarau tinggal cerita. Kebanggaan akan kekayaan perut bumi yang mengandung bongkohan emas hanya menyisakan kisah sedih.

Dulu, para pendulang masih bisa terseyum penuh khayal berkubang seharian di antara ceruk-ceruk Kelian, sementara di tebing sungai pepohonan lebat berbaris rapi dengan pucuk-pucuk melenggang mengikuti reffrain siulan burung kelinjau. Orangutan bergelayutan malas karena perutnya kekenyangan menyantap daun ulin muda. Sesekali terdengar kaok burung enggang penuh birahi memanggil-manggil betinanya sambil mengangguk-anggukan paruhnya yang besar. Roben tak begitu perduli, pedihnya hati tak dapat merasakan ajal di hutan besi sisa-sisa peradaban keserakahan.

Inay ,menyambutnya di pintu rumah tanpa kata sedikitpun. Hanya tatapan kerinduan dan rasa keibuannya yang dapat merasakan kepedihan putranya. Untunglah huma Kek Abing tak tersentuh oleh rakusnya tambang emas. Jadi tempat pelariannya, kesudahannya. Dan untungnya lagi ia hanya mengangguk kali Inay menawarkan Buring untuk menjadi istrinya.

Buring. Oh, ya, Buring. Gadis kampung yang sedikitpun tak pernah dipandang lekat oleh Roben. Kehadiran Buring tak lebih seorang perempuan yang datang melayaninya waktu makan di siang hari atau menyelimutinya di malam hari. Tidur saling beradu punggung dengan mimpi tak pernah menyambung. Hasrat datang dan pergi tanpa makna. Buring semakin tenggelam dalam kebisuannya karena kalimat sapa tak pernah terlontar dari suami yang membawa beban kekecewaannya di setiap langkahnya. Buring hanya berkeyakinan bahwa tunas rotan yang ditanamnya lambat laun akan juga berbunga mana kala putiknya telah mencapai puncak bengkirai dan tersenyum menyambut ramahnya sinar mentari. Biarkanlah suaminya mengigau menyebut-nyebut nama kekasihnya yang kerap hadir dalam mimpi.

Di ladang milik Kek Abing itulah dilampiaskan kemarahannya, kekecewaannya. Jengkal demi jengkal tanah dicabik-cabiknya dengan cangkul. Sengatan matahari tak di rasakannya. Kulitnya merah saga. Rambut panjang dengan bulu penuh menutupi wajah. Sorot mata semakin tajam seiring dengan bibir tekatuk rapat. Tak sekalipun ia bercermin. Di cermin bukan saja gambar diri terpampang di permukaan, tetapi di permukaan kaca buram itu tergambar suramnya kehidupan. Tak da senyum sedikitpun tergambar di wajahnya.

Senyumnya baru mengembang tatkala Buring, istrinya melahirnya Kayang. Ketakutan yang selama ini menghantui kegelisahannya sirna. Bayi montok itu terlahir mirip ibunya. Hidungnya mancung, hanya rambutnya saja yang sedikit pirang. Tidak apa, yang penting tidak bule seperti dirinya. Diberi olehnya nama Kayang karena bayi kecil itu sememangnya cantik dan mirip benar dengan emaknya. Kehadiran Kayang membawa perubahan yang cukup berarti pada diri Roben. Dunia kini di rasakannya penuh makna. Dengan Kayang-lah kebenciannya pada dunia sirna. Seperti embun yang menguap tatkala mentari terbit. Kayang mentari.


“Heaaaa..., heyaaa!”

Teriakan Kayang membuyarkan lamunan Roben. Diciumnya ubun-ubun mentari. Roben merasakan kelegaan. Ditatapnya burung-burung pipit yang kembali hinggap di pucuk padi. Di ujung sana, ketempat lain bukit gosong yang semakin kering, pandangan Roben tertuju. Tak ada kehidupan. Perlu waktu dan tangan-tangan kokoh untuk mengembalikan firdaus yang hilang. Seperti dirinya yang berjuang keras memadamkan kemarahannya. Dendamnya pada laki-laki yang mempunyai utang pada kehidupannya. Lelaki yang telah mengukir tubuhnya, lelaki yang tidak di kenalnya, lelaki itu jugalah yang mempunyai andil pada kerusakan alam ini. Lelaki yang tidak ingin ditemuinya, sekalipun ia adalah ayahnya. Ia akan coba melupakannya. Juga Rento. Jika ia muncul dalam mimpinya cukuplah nanti jadi kenangan manisnya.

Dari atas pondoknya Roben melihat dua wanita berjalan membawa lanjung di punggungnya . Istri dan emaknya berjalan beriringan meniti batang pohon. Wanita-wanita perkasa. Perempuan-perempuan yang mencintainya. Roben memeluk pundak Kayang yang asyik dengan topi orang-orang sawah. Diedarkannya pandangan ke hamparan padi menguning yang dalam beberapa hari lagi siap untuk di ketam. Ia sudah berencana dengan emak dan Buring jika mengetam kelak akan memanggil orang-orang kampung. Karena ia memperkirakan hasil panen tahun ini melimpah.

Ia pun merencanakan mengadakan Upacara Pelas Tahun segala kesialan dan petaka akan menjauhi kampungnya. Namun esensi dari semua itu ia ingin membangunkan kesadaran orang-orang kampung untuk kembali mengolah bumi. Menanam ulin, meranti, juga rotan. Itu tidak mudah. Mudah-mudahan dengan melihat jerih payah Roben selama ini kembali mata mereka terbuka, bahwa mereka kini miskin. Tak ada lagi yang dapat mereka kais dari alam yang merengas.

“Dulu aku pulang karena kalah. Kini aku mengerti. Aku pulang untuk merajut hidup. Karena aku pergi pun karena untuk mencari kehidupan. Dulu aku pergi hanya melarikan diri. Saban hari aku akan bercermin. Mematut diri untuk meyakinkan, akankah aku siap untuk menyongsong hari. Arus deras ke hulu walau berat tetap bidukku akan kukayuh,karena aku tahu ada alur balik di sela jeram.”

Burung pipit kembali hinggap di bulir padi. Ada yang berbulu hitam legam dengan paruh hitam pula, ada yang keabu-abuan dengan paruh putih, ada pula yang berbulu merah kecoklatan. Semua dengan riangnya hinggap di bulir-bulir matang. Serempak terbang ketika orang-orang sawah meradang. Pipit-pipit kehidupan. Roben mengkhayalkan dirinya adalah pipit merah yang bergaul akrab dengan pipit hitam dan keabu-abuan. Tanpa prasangka dan kebencian. (***)


Samarinda, 17 Maret 2005


Keterangan:

Gubang = sampan/perahu(Kutai); aluur (Tonyooi); alur (benuaq)

Inay = ibu; neeq (Benuaq); meeq (Tonyooi); meq (Kutai)

Erau=pesta khusus yang lamanya puluhan hari

Ta’ah (Kenyah/Bahau) = pakaian bawah wanita, mirip rok mini, berbelah di bagian belakang; ulap (Benuaq) ; ketew (Tanyooi)

Sampe =alat musik petik (mirip gitar) tradisional besenar tiga

Diketam= di tuai= mengetam= menuai


-----------------------------------------------------

HERMAN A. SALAM. Pada awal proses kreatif tahun 1987, menulis naskah sandiwara radio yang disiarkan di RRI Samarinda dan Radio Don Bosco Samarinda. Kemudian menulis naskah televisi untuk TVRI Kaltim. Ia juga menulis sejumlah naskah sandiwara panggung. Pernah memenangi lomba penulisan skenario prosesi budaya Islam di Surabaya tahun 1998 dan Lomba Penulisan Buku Tahun 2000 lewat novel Senopati Awang Long.


Ilustrasi: Bisman Nainggolan

Share:
Cerpen Lainnya