Cerpen

title

Dongeng Singo Edan


Penulis: Nanang Rijono | Posting: 06 November 2021

Lelaki berbaju-bercelana merah-berselempang kain kuning itu tiba-tiba saja muncul di depan rumah megah pejabat tinggi. Berdiri di atas pagar tembok berlapis marmer. Dengan megafonnya, ia berteriak lantang sambil mengepalkan tangan kirinya - seperti mahasiswa yang berorasi ketika unjuk rasa dalam suatu reformasi. Sewindu yang lalu.

“Setelah sewindu reformasi apa yang terjadi? Tidak ada! Kecuali pemimpin yang silih berganti menduduki kursi. Kecuali demonstrasi setiap hari. Kecuali kekerasan yang makin tinggi. Kecuali korupsi yang merata di seluruh pelosok negeri. Setelah sewindu reformasi yang nampak hanya payung hitam dan bendera setengah tiang. Berhala-berhala disanjung dipuja di mana-mana sebagai hasil pembangunan dan kemajuan. Modernisasi adalah sesembahan baru. Globalisasi adalah kiblat baru. Anarkisme adalah alat perlawanan baru. Amuk masa adalah cara baru untuk memaksakan kehendak. Ha ha ha ha!

Selama sewindu reformasi, apa yang terjadi? Hati nurani mati suri. Tak ada kesucian kecuali kebusukan. Tak kebenaran kecuali kebohongan. Tak ada kejujuran kecuali penjungkirbalikan. Tak ada keberanian kecuali kengerian. Selama sewindu reformasi, semua sudah kembali. Kembali kepada situasi lama yang sama brengseknya. Ha ha ha ha!

Padahal hidup di zaman edan, harus memegang semangat singo edan. Harus berani menjadi singo edan. Harus dan—dan--dan—dan...!”

Belum selesai lelaki aneh itu berorasi, datang dua petugas dengan pentungan di tangan. Mereka bertindak cepat karena takut dianggap lalai saat melaksanakan tugas. Mereka takut orasi lelaki berbaju-bercelana merah berselempang kain kuning itu tidak berkenan di hati pemimpin negeri, yang saat ini sedang memimpin rapat percepatan pembangunan proyek-proyek penting negeri ini. Belum sempat mereka bergerak, lelaki aneh itu sudah meloncat dari atas pagar, lalu berloncatan ke atas mobil-mobil yang berjajar rapi di halaman parkir gedung megah pemimpin negeri. Dengan gesitnya la berlompatan dan mobil yang satu mobil lain lalu menghilang di balik rerimbunan bunga di taman. Kedua satpam kehilangan jejak lelaki aneh yang baru saja berorasi.

Mobil-mobil berjalan selambat siput di depan gedung mewah petinggi negeri. Kemacetan dimana-mana. Deretan panjang sepeda motor dan mobil antre bensin atau solar sudah menjadi pemandangan setiap hari. Orang-orang tidak peduli pemerintah tidak pernah menambah panjang jalan, tetapi pabrik-pabrik kendaraan setiap hari menambah ribuan motor dan ratus mobil setiap bulan. Dealer kendaraan tidak peduli darimana orang-orang mendapatkan uang untuk membeli mata dagangannya.

***

“Mak, reformasi itu apa, sih?”

“Kata koran, itu artinya perombakan.”

“Kalau dirombak, berarti ada yang tidak baik ya, Mak?

“Kata koran, memang begitu.”

“Apanya yang dirombak, Mak?

“Kata koran, banyak. Semua hal perlu dirombak.”

“Hasilnya, Mak?

“Kata koran, belum banyak. Emak belum tahu sambungannya”

Kok, belum tahu sambungannya, sih Mak?”

“Iya. Emak hanya membaca dan koran-koran bekas sebelum kita pakai alas tidur setiap malam. Sambungannya belum Emak temukan.”

“Kira-kira hasilnya seperti apa, Mak?

“Entahlah. Kita tunggu kata koranlah, Nak.”

“Kok kata koran-kata koran terus sih, Mak?”

“Lha iya, lah. Koran adalah tempat orang-orang pintar bersuara. Tempat orang-orang bertukar pendapat. Tempat orang-orang berdebat.”

“Berdebat tentang apa, Mak?”

“Tentang apa saja!”

“Tentang apa saja, Mak!”

“Ya, tentang apa saja yang perlu diperdebatkan!”

“Apakah itu penting, Mak?”

“Ya, pasti penting. Koran tidak akan memuat hal yang tidak penting, Nak.”

“Apakah itu penting untuk perbaikan negeri ini, Mak?”

“Ya, pasti penting, Nak.”

“Mak… “

“Ya...”

“Nanti malam, cerita lagi, ya Mak?”

“Ya…”

“Cerita tentang Singo Edan, ya Mak?

“Ya…”

“….”

Matahari masih di atas kepala. Dengan tertatih menahan letih, anak dan emak melanjutkan berkeliling kota. Mengais-ngais menjemput rejeki yang tersembunyi di antara panasnya aspal jalanan dan dinginnya dinding pertokoan. Kesejukan pohon pelindung kadang tak mampu meredam. Tetapi untung, malam segera datang.

***

Lelaki berbaju-bercelana merah-berselempang kain kuning itu tiba-tiba saja muncul di depan mal besar di kota. Berdiri di atas pagar jembatan penyeberangan. Dengan megafonnya, ia berteriak lantang sambil mengepalkan tangan kirinya - seperti mahasiswa yang berorasi ketika unjuk rasa sewindu lalu.

“Sewindu reformasi banyak melahirkan orang-orang yang tegak berdiri sembari mengacungkan kepalan tangan, meneriakkan kata-kata hampa yang esok menjadi basi. Berlomba-lomba orang berdiri di atas mimbar sambil menginjak kaki dan kepala temannya. Tak banyak orang yang mau mendengar suara orang. Anehnya suaranya sendiri ingin didengar oleh khalayak. Uniknya suaranya sendiri tak pernah didengarkan sendiri. Kebisingan ada dimana-mana. Suara nyaring memenuhi dunia, tapi tak tertangkap apa maksudnya.

Sewindu pasca reformasi, tak banyak orang yang mau membungkuk dan mencium burni. Suara ulama hanya menggema dan memantul-mantul tanpa makna. Suara ilmuwan meloncat dari mimbar lalu ngumpet di tempat sampah. Suara hati sudah sekarat. Idealisme tidak bisa dimakan atau untuk mencari makan. Yang paling laris adalah suara rakyat menjelang pilkada. Yang paling mahal adalah suara partai yang bisa menjadi perahu menuju seberang. Suara! Suara! Ayo, siapa yang mau membeli suara...? Saya punya banyak stok suara! Saya bisa merekrut suara! Asal cocok harganya... ha ha ha!’

Pejalan kaki di bawah jembatan penyeberang hanya bisa tertawa. Pemakai jembatan penyeberang takut-takut lewat di muka lelaki itu. Anak-anak kecil bersorak-sorai setiap kali melihat lelaki itu meloncat-loncat dengan cekatan di atas pagar jembatan penyeberang. Ibu-ibu miris, takut, jangan-jangan lelaki itu terpeleset lalu terjatuh.

“Hidup di zaman edan, harus memegang semangat singo edan. Harus berani menjadi singo edan. Harus dan-dan-dan-dan...! Kalian tahu, apa itu singo edan?

Bukan! Bukan singo edan yang dipakai oleh perkumpulan sepak bola dan Kota Malang. Itu hanya simbol untuk gagah-gagahan yang belum diisi dengan makna luhur sehingga pendukungnya sering bondo nekat lalu menebar kekerasan di mana-mana.

Di zaman dulu, singo edan adalah sebuah prinsip hidup masyarakat di daerah Malang. Prinsip hidup untuk senantiasa melakukan perbaikan. Reformasi. Setiap kali ada yang jelek dalam masyarakat, mereka melakukan perbaikan. Setiap kali ada yang kurang benar, mereka dandani. Singo edan. Sing ono elek, dandanono. Jika yang ada itu jelek, perbaikilah! Itulah semangat singo edan yang digunakan untuk bertahan hidup di zaman edan. Itulah prinsip singo edan untuk menghadapi zaman edan. Singo edan. Harus dandan-dandan!”

Sebelum petugas satpol pamong praja datang, lelaki itu meloncat ke atas truk yang melintas pelan di bawah jembatan penyeberangan. Lalu menghilang bersamaan dengan menghilangnya truk di tikungan. Tanpa ada yang memerintah, orang-orang di bawah jembatan membubarkan diri. Suasana depan mal kembali sepi.

***

“Mak, kenapa lelaki tadi hanya berorasi, Mak?”

“Entahlah. Mungkin berorasi lebih baik daripada diam, Nak.”

“Mak, kata Emak dulu diam itu emas.”

“Benar, Nak. Daripada banyak omong, tetapi isinya hanya menimbulkan keresahan orang banyak”.

“Mak, kata Emak dulu, diam itu selemah-lemahnya iman, Mak!”

“Ya, itu kata ustadz. Bukan kata Emak. Kalau kita melihat kemungkaran, lalu kita tidak kuasa melawannya, tidak berani menegur pelaku kemungkaran, dan hanya diam dan mengutuk kemungkaran dalam hati”.

“Mengapa orang takut ngomong, kalau ia benar Mak?”

“Sstt! Hati-hati kalau ngomong, nanti bisa didengar dinding toko ini.”

“Memangnya dinding punya telinga, Mak?”

“Sekarang benda-benda punya telinga. Punya mulut. Punya channel. Punya koneksi. Jadi harus hati-hati.”

“Kenapa, Mak?”

“Itulah pengaruh modernisasi. Hasil globalisasi.”

“Mak, kenapa modernisasi tidak dihentikan saja, Mak?”

Hussh...! Hati-hati kalau ngomong. Bahaya. Nanti didengar penganjur modernisasi. Bisa celaka kita”.

“Kalau begitu, kita laporkan saja penganjur modernisasi ke polisi, Mak.”

“Polisi sudah banyak pekerjaannya. Mereka sudah habis tenaga dan waktunya menangani berbagai tindak pidana yang terjadi di hampir semua wilayah negeri kita. Jangan ditambah pekerjaannya dengan menangani persoalan yang belum jelas.”

“Mengapa tidak dipikirkan oleh pemimpin-pemimpin kita, Mak?”

“Pemimpin kita sudah banyak pekerjaannya. Mereka sudah habis tenaga dan waktunya memikirkan berbagai hal yang sudah jelas. Jangan ditambah pekerjaannya dengan memikirkan persoalan yang belum jelas.”

“Lalu, sebaiknya kita apakan Mak?”

“Ya diamkan saja!”

“Biar itu selemah-lemahnya iman?”

“Ya. Selemah-lemahnya iman! Karena hanya itu yang kita bisa lakukan.”

“Mak ....”

“Hari sudah mulai larut malam, Nak. Tidurlah. Besok pagi-pagi sekali kita harus meninggalkan emperan toko ini, sebelum petugas keamanan kota beroperasi.”

“Mak, besok malam ceritakan dongeng yang baru, ya Mak!”

“Ya. Ayo lekas tidur! Lihat matahari sudah lama tidur. Burung-burung sudah lama tidur. Pemilik toko ini sudah lama mendengkur,” selalu begitu kata-kata emak manakala menyuruh anaknya pergi tidur.

***

Ketika lonceng jam berdentang dua kali, si anak bermimpi menjadi lelaki yang tiba-tiba berdiri di atas pagar jembatan penyeberangan. Diulangnya lagi perkataan lelaki berbaju-bercelana merah berselempang kuning itu dalam mimpinya dengan gagahnya. Sepotong senyum mengembang di bibirnya.

“Sewindu reformasi banyak melahirkan orang-orang yang tegak berdiri sembari mengacungkan kepalan tangan, meneriakkan kata-kata hampa yang esok menjadi basi. Berlomba-lomba orang berdiri di atas mimbar sambil menginjak kaki dan kepala temannya. Tak banyak orang yang mau mendengar suara orang. Anehnya suaranya sendiri ingin didengar oleh khalayak. Uniknya suaranya sendiri tak pernah didengarkan sendiri. Kebisingan ada dimana-mana. Suara nyaring memenuhi dunia, Tapi tak tertangkap apa maksudnya.

Hidup di zaman edan, harus memegang semangat singo edan. Harus berani menjadi singo edan. Singo edan. Sing ono elek, dandanono. Jika yang ada itu jelek, perbaikilah! Itulah semangat singo edan yang digunakan untuk bertahan hidup di zaman edan. Itulah prinsip singo edan untuk menghadapi zaman edan. Singo edan. Harus dandan-dandan!”

Dingin kian menusuk tulang. Kain dan sarung tua tak mampu membendungnya. Setengah melingkar emak dan anaknya tidur berpelukan. Penduduk kota sudah lama terlelap dalam buaian malam. Kota masih kokoh berdiri. Akankah reformasi mengguncang negeri kembali? (***)


Samarinda, 22 Mei 2006


-----------------------------------------------------

NANANG RIJONO. Lahir di Malang 19 Februari 1958. Ia sempat bergabung dengan kelompok teater di kampus IKIP Malang, di Kampung Tanjung, dan Teater Putih di Kota Malang.  Setelah merantau ke Kaltim tahun 1982, dan menikah tahun 1983, kecintaan kepada sastra dan teater tetap bernyala walaupun tidak membara. Di sela-sela kesibukannya menjadi dosen FKIP Universitas Mulawarman, ia masih menyempatkan diri menulis puisi atau cerpen. Terkadang opini atau kolom. Sejak tahun 1988 kerap menulis artikel tentang pendidikan atau sastra di harian Manuntung (sekarang Kaltim Post) dan Suara Kaltim. 

Sebagian puisinya dimuat dalam antologi puisi penyair Samarinda Secuil Bulan di Atas Mahakam (2004) dan satu cerpennya dimuat dalam antologi cerpen penulis Kaltim berjudul Bingkisan Petir (2005). Beberapa cerpen lainnya dimuat di harian Tribun Kaltim dan KaItim Post. Selama bermukim di Samarìnda, ia ikut bergabung di BKKNI Kaltim (1989—1993), lalu di Dewan Kesenian Daerah Kaltim, sebagai anggota Komite Sastra (1995—2005) dan sebagai anggota pembina (2006 -2011). Di kampus sebagai penasihat teater Yupa Universitas Mulawarman sejak awal berdirinya teater kampus tersebut.

Share:
Cerpen Lainnya