Cerpen

title

Cara Terbaik Menghentikan Angin Menertawaiku


Penulis: Ayna Indiera | Posting: 30 Oktober 2021

Sebelum memutuskan pergi menemui Pak Yusril, aku telah menghafal beberapa kalimat puitis. Aku mengarangnya semalaman dan menyebutnya sebagai puisi. Entah apakah yang kubuat itu benar-benar bisa disebut puisi atau tidak, aku tak peduli. Aku hanya mengikuti apa yang disarankan teman-teman, bahwa mengirim puisi adalah hal paling romantis yang dilakukan seseorang untuk mengungkapkan cinta.

 

Sejak dulu

Aku tidak pernah tahu rupanya cinta

Mungkin ia seperti monyet

Lalu orang memanggilnya cinta monyet

Mungkin juga ia seperti buaya

Lalu aku ketakutan diterkamnya

 

Tetapi, O, Pak Yusril

Sekarang Aku merasa

Cinta itu seharum kembang kemuning

Atau mungkin seharum namamu

 

Aku menghidunya siang malam

Di otakku namamu kusulam

 

O, Pak Yusril

Selama ini aku tidak pernah tahu

Kalau ternyata cinta itu

Bukan terdiri dari huruf C.I.N.T.A

Tetapi Y.U.S.R.I.L

 

Di bawah pohon ketapang di halaman belakang sekolah, aku menghafal kembali puisi itu. Rasanya ini sedikit memalukan. Aku seperti mendengar angin tertawa, lalu daun-daun ketapang tua berjatuhan, dan yang masih tampak kehijauan juga ikut berjatuhan. Mungkin ia sedih atau jijik mendengar lirik puisiku yang murahan.

Teman-teman yang tidak pernah memerhatikan kehidupanku pun tiba-tiba melirik, lalu berbisik satu sama lain. Mungkin karena beberapa kali kusebut nama Pak Yusril. Dan sekali lagi kubilang, "aku tak peduli!“

Bel sekolah berbunyi, teman-temanku berjalan memasuki kelas masing-masing. Mereka yang masih mengunyah bakso, meninggalkan mangkuk baksonya. Begitu pun yang masih bermain basket, melempar bolanya ke sembarang tempat. Sedangkan aku terus melatih otot lidah sambil menaiki anak tangga. Kemudian aku duduk di tangga, di lantai dua, di depan kelas komputer.

Sampah-sampah berserakan di bawah kakiku. Bukan bekas jajanku, tetapi bekas mereka yang tidak pernah dididik membuang sampah pada tempatnya. Mungkin ibunya lupa mengajarkan karena sibuk melayani ayahnya, atau karena asyik memainkan ponselnya, atau sibuk bergosip dengan tetangga, mengomentari anak gadis orang yang badannya gendut, juga suami orang yang punya istri simpanan. Mungkin ibu mereka lupa jika masalah sampah sudah banyak menyusahkan orang.

Hampir satu jam aku di sini dan Pak Yusril tidak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Seorang rekan kerjanya membuatnya melupakan janji denganku. Terpaksa aku mengendap-endap mengintip mereka dari jendela. Seorang perempuan mengenakan kemeja berwarna merah mawar mengalungkan tangannya ke leher Pak Yusril. Dua kancing bajunya telah terlepas dan rambutnya tampak berantakan. Wajahnya terlihat lebih murahan daripada puisi buatanku, sebab ia tersenyum saat berhasil memindahkah lipstik dari bibirnya ke bibir Pak Yusril.

Tiba-tiba aku merasa seluruh tulangku telah dilumat hantu. Kedua kakiku pun seakan tak sanggup lagi menopang badan. Yang bisa kulakukan hanya mengata-ngatainya brengsek. Setelah berhasil meraup semua perhiasan ibuku untuk membayar sewa indekos dan utang-utangnya kepada rentenir, sekarang ia diam saja saat perempuan yang tampangnya murahan itu mengadu bibir mereka.

Aku mencubit pipi sendiri dan berharap sedang bermimpi. Mimpi aneh yang dihadirkan setan karena aku lupa membaca doa sebelum tidur, mungkin. Tetapi pipiku benar-benar terasa sakit dan aku benci telah meyakini kejadian itu bukanlah mimpi. Kemudian kejadian-kejadian sebelum hari ini serta merta datang dan tumpah dalam ingatanku seperti hujan lebat.


Tentang perhiasan itu, seharusnya aku tidak melihatnya ketika Ibu meletakkan seluruh perhiasannya ke dalam kotak hitam, lalu kotak tersebut ia masukkan ke dalam laci lemari. Kemudian ia menyimpan kunci lemari itu di bawah vas bunga di meja televisi.

Ketika Ibu terlelap, aku mengendap-endap masuk ke kamarnya. Dengan hati-hati aku mengangkat vas bunga di meja televisi dan mengambil kunci lemari. Ukurannya tidak lebih besar daripada jari kelingking. Saat itu, entah apa yang telah dibisikkan setan di telingaku, sehingga dengan mudahnya melupakan sebuah cerita yang sering Ibu dendangkan. Tentang pekerjaannya yang sulit, juga tentang masa depanku yang terpaksa besar tanpa mengenal ayah.

Aku tidak tahu ke mana dan di mana Ayah. Ibu bilang Ayah mati di ranjang perempuan lain. Terkadang ia menyampaikan kabar itu sembari menyetrika baju, atau mengepel rumah, atau saat-saat ia mengeluarkan banyak keringat. Kemudian setelah Ibu diterima bekerja, ia akan mengatakan hal tadi sepulang kerja, saat sedang lapar tetapi tak ada makanan di meja dapur.

Seharusnya aku mengingat semua itu ketika hendak mencuri perhiasan milik Ibu, tetapi yang ada di kepalaku justru senyum Pak Yusril, mata Pak Yusril yang selalu dingin menatap, serta cara Pak Yusril mengacak-acak rambutku dengan jemarinya yang panjang-panjang.

Suatu hari, saat jam pelajaran komputer, aku berkata, “Saya pikir bapak punya sebuah penyakit.”

Ia bergeming.

“Sejenis penyakit yang merusak syaraf bibir,” imbuhku. “Makanya Bapak sangat sulit tersenyum, bukan?! Tetapi penyakit itu telah melahirkan penyakit baru dan menjangkiti perempuan.”

Sudut bibirnya sedikit tertarik. Kecut.

“Pelajaran komputer terlalu sulit buat saya, Pak. Bagaimana kalau saya datang ke ruangan ini setiap hari? Maukah Bapak mengajari.”

Bibirnya telah digembok. Lelaki itu justru mengacak rambutku. Ternyata hal itu---saat seorang lelaki dewasa mengacak rambutmu---sangatlah menyenangkan. Ia lelaki pertama yang melakukan hal demikian padaku. Kemudian aku berharap esok hari ia akan melakukan hal yang sama. Esoknya lagi, lagi, lagi, dan lagi.

Namun, suatu hari ia mendatangiku dengan langkah kaki seberat godam. Bahunya jatuh dan raut wajahnya adalah awan kelabu. Aku sedang membaca buku Kukila, karya M Aan Mansyur. Pak Yusril duduk di sampingku, lalu meneguk segelas air mineral yang sejak datang berada di genggamannya.

“Aku rasa Tuhan benar-benar kejam. Mungkin sebentar lagi ia akan mengutus malaikat maut menjemputku,” katanya tiba-tiba. “Mungkin saja malaikat maut itu telah merasuki tubuh rentenir yang sebentar lagi datang menagih utang-utangku.”

Kututup buku Kukila.

“Ah, andai saja aku punya uang, pasti ini tidak akan menyulitkan.”

“Apa sudah segawat itu?” tanyaku.

“Iya. Bahkan pemilik kos juga ikut-ikutan meradang, karena aku sudah tiga bulan menunggak bayar. Ia mengancam akan mengusirku.”

Pak Yusril menghela napas, lalu menekuk wajahnya menjadi berlipat-lipat. Seandainya tahu bahwa hal ini akan berujung menyakitkan, aku pasti menutup mata dan telinga sejak saat itu, dan membiarkan para rentenir menghajar wajahnya sampai giginya tanggal, atau sampai kakinya patah, atau sampai malaikat pencabut nyawa menghampiri.


Namun, sayangnya, aku tidak punya kelebihan menerawang masa depan. Maksudku, aku dilahirkan sebagai gadis biasa yang ibunya dikecewakan laki-laki, lalu aku sendiri mengikuti jejaknya pada usia yang belum mencapai delapan belas. Kemudian sekarang seluruh tulangku dilumat hantu, di bawah jendela ruang komputer sekolah.

Sengaja menutup jendela dengan kasar, aku berharap Pak Yusril akan terkejut dan melihatku. Dan benar saja, ia gelagapan. Tetapi lelaki brengsek itu tidak melepaskan pelukan pada perempuan yang menempelkan lipstik di bibirnya.

Aku berlari dengan memanggul kecewa. Aku menaiki anak tangga ke lantai tiga, lalu berlari lagi menaiki anak tangga hingga ke atap gedung sekolah.

Angin menampar-nampar wajahku, tetapi tidak terasa sejuk sedikit pun. Mungkin karena bayang-bayang wajah Ibu terus berkelebat dan membakar dadaku dengan perasaan bersalah. Lalu aku menatap langit, tetapi sinar matahari telah membuat sekujur tubuhku bertambah panas. Saat menatap ke bawah, aku melihat wajah ayah tergambar di tanah dan dicemari bopeng. Itu sungguh aneh, sebab ibuku tidak pernah mengatakan jika lelaki itu berwajah bopeng.

Kakiku bergerak maju dan angin masih saja menampar wajahku. Rasanya aku baru saja mendengarnya berbisik, entah tentang apa. Mungkin ia menertawakan air mataku yang hanya menyembul beberapa tetes, sama seperti ia menertawakan puisi murahan yang kubuat semalaman. Dan sepertinya, cara terbaik menghentikannya menertawakanku adalah dengan melompat dari gedung ini. Semoga ia puas! (***)


Balikpapan, September 2021


-----------------------------------------------------

AYNA INDIERA. Nama pena penulis. Sejak April 2021, ia dan kawan-kawan membentuk sebuah komunitas bernama Grup Penulis Balikpapan, yang konsen pada pengembangan literasi di Balikpapan. Beberapa karyanya pernah terbit di media cetak maupun online.


Share:
Cerpen Lainnya