Dahsyat. Beringas. Gelora purba yang maha liar. Gelora purba yang sulit dikendalikan. Lebih beringas dibanding seribu kuda semberani. Menguasai seluruh raga, dari ubun-ubun hingga ke ujung kaki. Merasuk di segenap aliran darah. Mencengkeram seluruh rasa. Sungguh aku tak kuasa menahan gelora yang tiada bertepi ini. Menyesakkan. Sangat menyiksa.
Tujuh bulan berada di tengah belantara, bukan waktu yang singkat. Sedangkan wajah-wajah yang nampak di sekitarku, adalah wajah-wajah menjemukan. Wajah para lelaki yang setiap hari mengayun beliung dan menyingkai mandau. Merobohkan pohon-pohon raksasa berusia ratusan tahun yang tumbuh menjulang di hulu anak sungai.
Bekerja menebang pohon, awalnya memang mengasyikkan karena mampu meraup rupiah dalam jumlah banyak. Jumlah yang tak pernah terbayangkan sewaktu kami masih menekuni profesi sebagai petani. Kini, kami pun bisa menjemput mimpi yang selama ini sulit dijangkau.
Penghasilan kami, warga yang bermukim di sepanjang aliran sungai Mahakam, berubah sangat drastis. Hasil penjualan batang pohon yang ditebang di tengah himba ohah, telah mengubah hidup dan nasib kami. Uang yang diperoleh menjadikan kami bisa membeli apa saja yang diinginkan, tanpa harus berpikir dua kali. Termasuk barang-barang selama ini hanya dimiliki orang-orang kota, bisa kami dapatkan dengan mudah. Kami juga bisa berpergian ke kota dan menginap di hotel-hotel mewah. Kami pun mencoba tampil seperti orang-orang berduit yang selama ini hanya kami kagumi dalam desah perih.
Kalau sekarang kami berbuat demikian, yakni bisa membelanjakan rupiah tanpa terlalu banyak menghitung untung rugi, sungguh rasanya hal itu bukan satu kesalahan. Karena kesempatan memang telah terbuka. Anugerah kekayaan alam yang membentang di seantero aliran Sungai Mahakam, telah mengubah hidup kami. Cukup dengan menebang beberapa pokok kayu, kami bisa mengantongi jutaan rupiah. Meski harus masuk belantara garang dan menunggu selama beberapa bulan sebelum kayu gelondongan itu berubah menjadi rupiah.
Namun, belakangan pekerjaan sebagai pembatang di masa banjirkap ini tak urung berubah menjadi sangat membosankan. Menjemukan dan bahkan juga menyiksa. Maklumlah, sepanjang hari yang kami lewati hanyalah rutinitas menyibak hutan dan menebang pohon meranti, kapur, dan keruing. Pohon-pohon yang menjulang hingga 50 meter lebih itu, perlu konsentrasi dan penuh perhitungan untuk merobohkannya. Jika salah perhitungan, bukan mustahil berubah menjadi petaka. Cukup banyak para pembatang yang mati sia-sia karena kecerobohan tersebut. Lantas, di kala kondisi dan situasi pikiran yang rada ruwet serta jenuh datang mendera, sungguh sulit melakukan konsentrasi sebagaimana diharapkan. Hal itu yang pada akhirnya berubah sangat menjemukan.
Kayu yang ditebang di hutan belantara itu selanjutnya kami jual kepada anemar, pemilik modal yang memberikan persekot atau pinjaman. Biasanya anemar dengan senang hati memberikan berapapun yang kami perlukan. Uang pinjaman itu baru akan dibayar setelah kayu hasil tebangan kami telah bisa dibawa ke muara anak sungai. Dihargai dengan hitungan per meter kubik. Selanjutnya anemar menjual kayu gelondongan itu kepada pengusaha yang punya hubungan dengan pembeli di luar negeri.
Hasil menjual kayu di masa banjirkap ini ribuan kali lebih besar dibanding saat kami menggeluti pekerjaan sebagai petani tradisional. Namun demikian, ternyata hal itu bukan lagi hal yang menyenangkan. Bagaimana tidak, berbulan-bulan berada di tengah rimba belantara, hanya bisa menatap wajah-wajah yang sangar. Wajah para lelaki. Wajah yang menjemukan. Bahkan terkadang sangat memuakkan.
Pada bulan pertama, memang tak begitu terasa. Memasuki bulan kedua dan seterusnya, gelinjang yang sukar dikendalikan datang menyeruak memporak-poranda dada. Waktu pun rasanya sangat lawas beringsut menandai pergantian hari. Sementara itu, gelora purba semakin bergerak liar tiada terkendali. Sebagai lelaki sejati dalam usia 35 tahun, sangat sulit membendung hasrat yang tak tersalurkan. Gelora purba itu terus mengusik. Bahkan berubah menjadi beban perasaan berkepanjangan. Dan gelora liar itu hanya bisa diredam oleh seorang istri, saat dalam kebersamaan menuntaskan cinta.
Dalam kondisi jauh dari sisi sang istri, seringkali teman-teman sekerja menghadirkan cerita memuakkan. Cerita tentang pelayanan wanita jalang yang mereka gauli sewaktu berada di Kampung Muara. Mereka tak sungkan bicara tentang payudara, puting, bokong, pipi berpupur tebal, dan bibir bergincu menyala. Selanjutnya dibumbui cerita tentang goyangan pinggul, pagutan mesra, dan hal-hal lain yang mengundang sensasi liar. Sungguh cerita memuakkan. Meski pada akhirnya berubah menjadi gelinjang goda yang tiada tertahankan.
Tiap hari, kami para pembatang harus bekerja mengerahkan tenaga menumbangkan pohon-pohon raksasa. Selanjutnya pohon-pohon yang sudah tumbang itu dipotong menggunakan gergaji panjang yang dilakukan secara manual. Hanya digerakkan dengan menggunakan tangan. Tak jarang pekerjaan memotong batang pohon itu harus diselesaikan hampir setengah hari, terutama bila pohon yang ditebang mencapai diameter 150 centi lebih.
Selanjutnya batang pohon yang sudah dipotong dengan ukuran empat. meter, ditarik menggunakan kuda-kuda menuju tepi anak sungai. Kuda-kuda itu dibuat dari belahan batang nibung, tumbuhan sejenis rumbia yang banyak ditemukan di hutan. Batang nibung memiliki serat yang kuat dan tidak mudah pecah. Untuk menggerakkannya kuda-kuda itu ditarik dengan kawat seling yang dibelitkan pada putar giling. Alat sederhana dari batang kayu ulin yang sebagian ditanam di dalam tanah. Pada pertengahan kayu yang ditanam itu dipasang melintang potongan kayu lebih kecil, tempat mengikatkan kawat seling. Kayu melintang pada putar giling itu selanjutnya diputar beramai-ramai untuk menggerakkan kuda-kuda tempat kayu gelondongan ditaruh.
Menurunkan kayu dengan cara ini sebetulnya sangat berbahaya. Lengah sedikit, bisa berakibat fatal, tertindih gelondongan yang beratnya puluhan ton atau dihempas kawat seling yang putus. Dan itu berarti tubuh yang apes bakal remuk dan meregang nyawa seketika.
Mestinya batang-batang kayu yang kami tebang sudah bisa dihanyutkan ke muara anak sungai, sekitar dua bulan lalu. Ternyata, perhitungan kami keliru, karena tak ada hujan besar yang turun. Hingga tujuh bulan sampai sekarang, anak sungai ini masih juga dangkal. Bulan September dan Oktober yang kami perkirakan bakal turun hujan berlalu tanpa membuahkan harapan. Kenyataan itu kemudian menambah beban pikiran yang kurasakan. Menjadikan kami para pembatang merasa cernas. Bagaimana tidak, kalau sebulan lagi kayu gelondongan itu tak bisa dibawa ke muara, maka bakal banyak yang jabok dan itu menjadikan harga jualnya pun jeblok.
Kini, anak sungai yang menjadi satu-satunya sarana jalan menuju muara hanya bisa dilintasi perahu kecil yang dapat memuat antara 5 hingga 6 orang. Perahu kecil itulah yang menjadi alat transportasi kami menuju ke Kampung Muara. Untuk itu, kami harus menempuh perjalanan tak kurang dari 5 jam.
Di perkampungan muara tersebut tempat kantor Pak Joh, pemilik modal yang menjadi anemar kami. Tapi, biasanya Pak Joh hanya dua minggu sekali berada di Kampung Muara. Itu pun paling lama tiga hari. Dia lebih banyak berada di Samarinda selaku ibukota provinsi. Berikut di Desa Tanjung Haur yang merupakan kampung halaman kami.
Kalau kekurangan bahan makanan serta uang belanja, kami langsung meminta tambahan persekot pada Pak Joh. Bahkan anak-istri kami yang berada di kampung, bisa minta pinjaman langsung padanya. Pak Joh tak pernah khawatir utang-utang tersebut tidak dibayar. Maklumlah kayu gelondongan yang kami hasilkan jika keluar dari anak sungai, harganya bisa ratusan kali lipat disbanding pinjaman tersebut. Kayu-kayu itu selanjutnya dirakit sebelum ditarik menyusuri Sungai Mahakam menuju Samarinda. Di kota ini telah menunggu puluhan kapal besar yang siap memuat dan selanjutnya membawa berlayar ke luar negeri.
Sang anemar yang membiayai kami, memiliki keuntungan berlipat ganda karena kayu yang dijual kepada pengusaha asing harganya sangat tinggi. Karena itulah tak heran Pak Joh berani mengeluarkan biaya besar selama berbulan-bulan untuk kami. Bahkan Pak Joh tak segan-segan menjadi tukang pos bagi kami. Dia dengan senang hati membawakan dan menyerahkan surat yang dititipkan istri istri kami, maupun sebaliknya. Komunikasi melalui surat rnenyurat itu lumayan untuk meredam rasa rindu pada istri. Tentu saja tak mungkin tuntas.
Selama tujuh bulan ini ada empat pucuk surat dari Imas untukku. Semua surat itu dititipkannya melalui Pak Joh. Pemilik modal itu memang cukup baik, mampu memberikan perhatian terhadap keluarga kami yang ditinggalkan. Karena perhatiannya yang demikian besar terhadap kami sekeluarga, alu menaruh hormat pada Pak Joh.
Menunggu hujan tiba dan jauh dari pelukan istri adalah siksaan maha berat. Bagi beberapa teman, perasaan liar itu mampu dituntaskan pada saat turun ke perkampungan. Di Kampung Muara telah menunggu wanita-wanita yang siap menjajakan cinta sesaat. Sebagian besar mereka bekerja di warung makanan dan minuman yang banyak terdapat di perkampungan tersebut. Pertahananku sempat rapuh sewaktu berada di tengah mereka. Selain gelinjang hasrat yang menggelora, bujukan teman-teman membuatku hampir bertekuk.
“Tak usah munafik, Han. Kita kan perlu wanita. Sekaranglah waktunya. Pilihlah salah seorang dari mereka. Cantik-cantik semua,” ujar Undat, teman sekampungku.
“Berbulan-bulan di hutan, mana mungkin kamu tidak punya keinginan menuntaskan hasrat. Kalau cuma sekali dua, itu wajar bagi seorang lelaki,” timpal Imban.
“Iya, Parhan. Lagi pula kita kan punya uang. Buat apa menyiksa diri. Eee.. kalau tak mau mengeluarkan uangmu biar kami yang bayarkan,” sambung Ijab.
“Percayalah, tak mungkin istrimu tahu. Ini semua akan jadi rahasia kita bersama,” bujuk Undat lagi.
Lopat! Pertahananku hampir bobol. Tapi, ketika Undat menyebut kata “istrimu”, mendadak aku terjengah. Aku ingat Imas, istri yang kutinggalkan di rumah bersama putri kami, Jurai. Anak semata wayang. Karena itulah, sewaktu masuk ke kamar Sumi, wanita yang menjadi pilihanku, aku pun akhirnya hanya mengajak berbincang-bincang. Sejak dinihari kami berdua bercengkerama, sampai letih. Aku pun melewatkan separuh malam dan tidur hingga pagi di kamar Sumi.
“Kenapa, Bang? Apakah karena Sumi tidak menarik?” tanya wanita berusia 30-an itu.
“Bukan begitu, Sum. Aku... ee, maksudku aku lebih suka jika kau hanya menemani berbincang-bincang. Tapi, aku akan tetap membayar, berapa saja,” jawabku.
Ternyata Sumi tak menampik hal itu. Bahkan dia mengaku sangat senang, untuk mengusir gundah yang mendera batinnya. Setelah itu, setiap kali aku turun ke Kampung Muara dia pasti hanya melayani aku. Maksudnya mengajak masuk kamar, berbincang panjang hingga kami tertelap dan bangun esok paginya. Banyak hal yang dia curahkan. Di antaranya mengapa Sumi rela meninggalkan dua orang anaknya di sebuah kampung kecil di Jawa Timur.
Aku tak mau mengkhianati cinta Imas. Dia begitu setia menunggu kedatanganku. Bahkan aku pun tahu, betapa istriku juga memendam gelora yang sama. Hasrat purba yang hanya bisa dituntaskan pada saat kami sedang berdua. Rasanya sungguh teramat biadab kalau sampai kesetiaan Imas tersebut aku khianati, apabila aku menuntaskan hasrat pada wanita penjaja cinta sesaat.
Dalam usianya yang baru 25 tahun, Imas tentunya teramat sangat mendambakan belaian kehangatan. Belaian dari seorang suami. Namun, itu tak bisa ia dapatkan, sejak aku masuk hutan menjadi pembatang. Aku dan Imas terpaut usia 10 tahun. Kami menikah saat dia 19 tahun, enam tahun yang lalu. Pernikahan kami telah menghadirkan seorang buah hati. Jurai, putri kami tersebut kini berusia 5 tahun.
Imas adalah wanita desa sederhana. Kami berdua masih ada hubungan keluarga. Karena usiaku 10 tahun lebih tua, Imas semula sempat menolak sewaktu kami dijodohkan. Namun, berkat bujukan yang dilakukan almarhumah nenek, akhirnya dia mau menikah denganku.
Meskipun sehari-hari Imas nampak gemulai dan lugu sebagaimana gadis-gadis desa umumnya, pada saat berada di ranjang dia bisa berubah menjadi kuda betina yang binal. Bandel dan menggemaskan. Kenyataan itu berlangsung sepanjang usia pernikahan kami. Tapi jujur saja, aku sangat menyukai keberingasannya. Makanya aku yakin jika sekarang Imas juga memendam hasrat yang menggelora karena telah lama tak mendapat belai kehangatan. Tujuh bulan kami berpisah bukan waktu yang singkat untuk meredam gelora purba yang liar.
“Sebenarnya aku merasa berat meninggalkan awak dan Jurai. Tapi demi masa depan etam, aku harus bekerja menjadi pembatang,” kataku pada malam sebelum berangkat.
Imas pun menyatakan keberatannya jika kami harus berpisah. Namun, karena berharap agar hidup kami bisa lebih baik, dia merelakan aku pergi menjadi pembatang seperti warga desa lain yang memutuskan meninggalkan pekerjaan sebagai petani.
“Berangkatlah, Kak. Saya ikhlas dan akan setia menunggu. Empat atau 5 bulan, saya kira mandik terlalu lawas. Demi masa depan etam, saya akan menunggu kepulangan kakak dengan segenap kesetiaan,” ujar Imas.
Akhirnya aku pun berangkat menuju ke daerah pembatangan. Tiga bulan berada di hutan, kelompok kerja kami berhasil menurunkan ratusan potong kayu gelondongan. Hasil penjualan kayu itu dibagi rata setelah dipotong utang masing-masing pada anemar. Aku dan teman-teman sempat pulang ke kampung membawa rupiah yang sangat banyak menurut ukuran kami. Dengan uang itu, aku sempat membeli radio transistor keluaran terbaru, puluhan pasang pakaian, kasur kapuk yang tebal dan sejumlah peralatan rumah tangga lain.
Sekarang adalah keberangkatan yang ketiga kalinya masuk hutan. Agak berbeda dari yang pertama dan kedua, kali ini istriku malah menyarankan agar aku segera kembali mengumpulkan rupiah.
“Selagi masih mampu bekerja, Kakak perlu mengumpulkan uang yang banyak. Sehingga hidup etam di masa depan jadi terjamin. Lihat saja warga desa kita yang lain, semua kembali menjadi pembatang. Tak ada salahnya bersakit-sakit dahulu, Kak Parhan?” katanya.
Aku sempat kaget dengan ucapan Imas itu.
Rupanya pikirannya sekarang telah berubah dibanding pertama kali aku memutuskan masuk hutan bekerja menjadi penebang kayu tempo hari. Apakah karena dia sudah merasakan nikmatnya memiliki uang banyak? Menjadikan semua yang diinginkan, bisa didapatkan.
Mungkin saja hal itu ada benarnya. Buktinya Imas yang selama ini kupercaya mengelola keuangan keluarga, telah membeli lagi sebuah ranjang besi lengkap dengan kelambu merah muda. Berikut satu set kursi tamu, lemari pakaian dan juga radio tip keluaran terbaru yang masih terbatas beredar di pasaran. Bahkan di kota pun hanya kalangan tertentu yang bisa memilikinya.
“Radio tip ini aku pesan melalui Pak Joh. Di kampung ini, baru etam yang punya,” jelas Imas waktu aku tanya.
“Hati-hati, jangan terlalu boros membeli barang-barang yang kurang diperlukan. Nanti uang etam habis,” kataku mengingatkan.
“Jangan khawatir, Kak. Saya bisa mengaturnya. Uang simpanan etam masih ada puluhan juta,” jawab Imas.
Puluhan juta?
Aku sempat terjengah mendengar penjelasan Imas. Menurut perkiraanku, uang simpanan kami tak mungkin masih sebesar itu. Karena sudah banyak dia gunakan untuk membeli barang-barang seperti yang kusebutkan tadi.
Tapi, sudahlah, aku harus percaya bahwa Imas mampu mengatur keuangan kami. Aku berusaha menepis praduga kurang baik yang mendadak muncul di benak. Seperti juga aku berusaha tak mempersoalkan cara berdandan maupun bersolek Imas yang terkesan seronok. Jika dulu hanya menggunakan bedak dari bahan beras yang disebut pupur basah, sekarang tidak lagi. Dia sudah memakai kosmetik kemasan yang dijual di toko-toko dengan harga lumayan mahal. Rona bibirnya juga tak lagi merah alami, lantaran sudah dipoles lipstik buatan pabrik dengan warna mencolok.
Terus terang, sewaktu pulang terakhir kali, aku sempat merasa kaget. Menurut pandanganku cara berpakaian dan merias diri yang dilakukan Imas, terlalu berlebihan. Terlalu menor. Bahkan sepintas mengingatkan pada penampilan Sumi dan kawan-kawannya. Namun demikian, aku tak tega mengingatkan Imas. Tak mau membuatnya tersinggung. Aku tak ingin merusak suasana pertemuan kami yang kurang dari tiga minggu sebelum aku kembali masuk hutan. Lagi pula, sungguh terlalu naif membandingkan istri sendiri dengan wanita-wanita nakal yang kujumpai di Kampung Muara.
Kali ketiga masuk hutan, perhitungan kami meleset. Setelah tiga bulan berlalu tak ada hujan besar turun. Bahkan kini memasuki bulan ketujuh, juga belum ada tanda-tanda sungai kecil tempat kami bekerja bakal banjir. Berarti kami tidak bisa menurunkan kayu gelondongan hasil tebangan selama ini. Waktu yang berjalan terasa sangat lamban dan menyiksa. Sangat menyebalkan.
Sepekan lalu sewaktu turun ke Kampung Muara, aku sempat bertemu dengan Pak Joh.
“Han, ada titipan surat dari Imas. Pasti dia sudah sangat kangen padamu,” kata pria berusia hampir lima puluhan itu seraya menyerahkan sepucuk surat bersampul putih.
Tentu saja aku menerima surat tersebut dengan sukacita. Buru-buru kubuka amplopnya dan membaca kata demi kata yang ditulis Imas.
Tanjung Haur, 8 Desember 1969
Kak Parhan, keadaan saya dan Jurai baik-baik saja. Mudah-
mudahan kakak begitu pula. Jurai sering bertanya kenapa
Kakak lawas mandik pulang. Tapi saya jelaskan, Kakak sedang
cari uang untuk Jurai.
Seperti yang dirasakan Jurai, saya juga rindu pada Kakak.
Aku juga yakin, Kak Parhan pasti rindu sama Imas. Tapi
demi masa depan dan bisa hidup lebih baik, biarlah untuk
sementara rasa rindu ini etam pendam saja.Bukankah nanti
ada waktunya etam berkumpul lagi.
Begitu antara lain bunyi surat Imas.
Surat tersebut berkali-kali aku baca untuk meluapkan rasa kangen pada Imas dan putri kami. Hal serupa, memang selalu kulakukan setiap kali menerima surat dari istriku tersayang. Seorang istri yang rela kutinggalkan berkelana di tengah rimba belantara. Mengadu nasib demi masa depan. Meskipun kami berpisah cukup lama, Imas tetap menanti dengan segenap kesetiaan. Oleh karena itulah, mana mungkin aku tega mengkhianati dia dengan menuntaskan hasrat sesaat bersama Sumi maupun wanita lain yang kerap berusaha mengundang gairah. Meski godaan yang mendera begitu berat, aku berusaha menekan gelora purba yang menyiksa tersebut.
Malam itu, hingga larut malam aku masih belum terlelap. Tergolek dengan mata nyalang di dalam kelambu bocok. Gelisah makin terasa mendera. Menikam dalam, menorehkan perih yang lara. Rindu pada rumah, pada istri, dan putri kami. Dan kejadian serupa ini telah hampir sebulan aku alami. Membuat kondisi tubuhku makin ringkih lantaran kurang tidur. Namun, aku berusaha bertahan sambil terus berharap hujan segera turun. Agar batang-batang kayu tebangan kami, bisa segera dibawa ke muara untuk ditukarkan dengan rupiah.
Muncul pertimbangan dalam benakku, jika kayu-kayu ini nanti berhasil dijual dan mampu mendapatkan uang yang cukup besar, sebaiknya aku berhenti bekerja sebagai pembatang. Jauh dan istri, hidup di tengah hutan bukan hal yang menyenangkan. Uang yang kudapatkan kelak bakal digunakan membuka usaha yang mampu menjamin hidup dan masa depan kami. Meski hasilnya kecil, asalkan selalu berada di tengah keluarga tentu lebih menyenangkan. Semoga Imas setuju rencana itu.
Pada saat mataku hamper terlelap, kami yang berada dalam kelampak dikejutkan teriakan histeris. Aku segera keluar dan kelambu bocok yang selama ini setia menemani dari serangan nyamuk hutan yang ganas. Ternyata Undat yang selama dua han mengalami demam, kini menceracau. Sampai pagi, kami tak bisa tidur untuk menenangkan Undat. Kami menduga bahwa Undat telah kepuhunan. Mungkin saja dia telah melanggar tuhing yang tidak boleh dilakukan saat berada di dalam hutan. Penunggu hutan yang tidak kenal rasa iba, tentu menjadi murka kalau ada yang melanggar hal yang ditabukan. Karena itulah, Undat kini harus menebus kesalahan tersebut.
Lantas pagi-pagi sekali kami naik perahu membawa Undat ke Kampung Muara. Setelah dua hari mendapatkan perawatan Pak Mong, kondisi Undat agak membaik. Badannya tak lagi panas dan ia mulai bisa mengingat berbagai hal. Pak Mong adalah orang pintar dari Kota Tenggarong yang konon masih memiliki darah biru dan Kesultanan Kutai Kartanegara. Beliau terkenal mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Selama ini, warga Kampung Muara maupun para pembatang lebih percaya pada Pak Mong dibanding mantri desa yang bertugas di kampung itu.
Berdasarkan kesepakatan teman-teman, aku diminta mengantar Undat pulang ke kampung. Aku merasa gembira dan langsung menerima permintaan itu. Aku ingin segera bertemu dengan Imas, istriku tersayang. Ingin menuntaskan hasrat yang selama ini tak tersalurkan. Menuntaskan gelora purba yang selama berbulan-bulan kuredam dalam getir yang menyiksa lara.
Setelah menempuh perjalanan hampir 20 jam naik kapal kayu, kami tiba sekitar pukul 10 malam di Tanjung Haur. Kampung halamanku, tempat anak dan istriku menunggu dengan segenap kesetiaan Aku segera mengantar Undat ke rumahnya, mempertemukan dengan keluarganya. Setelah menjelaskan kondisi Undat, aku pamit menuju rumah kami yang berjarak sekitar 700 meter.
Rumah panggung itu dari luar nampak tertutup rapat. Aku yakin Imas bersama Jurai sudah pulas dalam tidurnya. Hati-hati aku mengetuk pintu, tak ingin membuat Imas dan anak kami kaget. Tak ingin menjadikan mimpi indah mereka menjadi lenyap, akibat kedatanganku yang mendadak. Meski sebetulnya aku ingin cepat-cepat berada di dalam rumah, memeluk istriku dan mencumbunya. Menuntaskan gelora purba terpendam.
Kembali aku mengetuk pintu dengan hati-hati. Beberapa jurus kemudian, terdengar suara langkah kaki menuju pintu. Sesaat pintu pun terkuak. Wajah Imas yang kurindukan, menyembul dari balik pintu kayu yang terbuka pelan. Sesaat Imas terpana.
“Kakak... Kak Parhan sudah pulang? Ken..., kenapa tak memberi kabar?”
Sekilas ada getar kegugupan dan suara Imas. Namun, aku pikir itu hanyalah lantaran rasa kaget karena dia tak menduga kami akan bisa bertemu lebih cepat.
“Aku memang pulang mendadak. Mengantar Undat, dia sakit. Bagaimana keadaan Jurai?” ujarku seraya meraih pundaknya dan mencium kening dan kedua belah pipinya.
Namun, selintas aku sempat kaget karena kurasakan tubuh Imas begitu kaku. Apakah mungkin karena kami lama tak bertemu menjadikan dia bersikap dingin. Ditambah pula kedatanganku yang tiba-tiba.
“Di mana Jurai? Aku kangen sekali padanya,” ujarku seraya melangkah masuk. Aku menuju ke arah kamar tidur. Ingin melihat wajah putri kami yang sedang terbuai mimpi. Herannya, Imas seakan ingin menghalangi langkahku.
“Jurai... Jurai tak ada. Dia menginap di... di rumah neneknya... dia....”
Aku tetap melangkah masuk ke kamar. Tak begitu memperhatikan kata-kata yang diucapkan Imas.
Hups! Aku kaget. Di tempat tidur, di atas ranjang besi nampak seorang laki-laki bertelanjang dada. Meski reman-remang, namun aku bisa mengenali laki-laki itu. Dia adalah Pak Joh, anemar kami. Pak Joh segera bangun dan ingin menghindar. Tapi tak mungkin keluar karena terhadang tubuhku yang berdiri di ambang pintu.
Tanpa harus mengutak-atik tanya, aku segera memahami apa yang terjadi. Begitu juga sewaktu mataku singgah pandang pada mandau tampilan yang tergantung di dinding dekat kamar, aku juga maklum apa yang harus dilakukan. Mandau warisan kakek yang pernah digunakan membunuh serdadu Jepang pada zaman penjajahan, selama ini memang hanya menjadi hiasan dinding. Menjadi pajangan. Ketajaman mandau tampilan itu melebihi mandau yang biasa digunakan bekerja di hutan.
Tanpa membuang waktu aku meloncat dan menyambar mandau tersebut, disertai teriakan histeris Imas yang berusaha mencegah langkahku. Mandau warisan itu kuhunus dan sarungnya. Kuayunkan dengan segenap tenaga seorang pembatang. Dalam hitungan detik, cairan merah menyembur membasahi kamar tidur dan ruang tengah. Dua tubuh terkapar. Pak Joh dan Imas roboh menggelepar. Selanjutnya diam. Diam. Berkubang darah. (***)
Samarinda, 10 Mei 2010
-----------------------------------------------------
Catatan Kata-Kata Bahasa Kutai:
- Pembatang = pekerja kayu gelondongan
- Anemar = pemilik modal
- Banjirkap = saat masyarakat bebas menebang kayu di hutan, sebelum ada perusahan pemilik HPH
- Beliung = sejenis kampak yang besinya diikatkan dengan rotan pada gagang kayu
- Himba ohah= hutan belantara
- Awak = kamu
- Etam = kita
- Mandik = tidak
- Lawas = lama
- Persekot = pinjaman awal/sementara
- Mandau = senjata khas Kalimantan, mirip pedang
- Menyingkai = menghunus
- Tampilan = pajangan
- Jabok = lapuk
- Kepuhunan: kesambet makhluk halus
- Tuhing: pantangan
- Kelampak: barak, pondok darurat
- Kelambu bocok: kelambu kecil hanya untuk 1 orang
- Radio tip: tape recorder
HABOLHASAN ASYARI. Lahir di Kota Bangun, 1 Mel 1961. Mulai menekuni sastra dan teater sejak tahun 1980 ketika bergabung dengan kelompok Teater Suluh Indonesia. Kemudian menjadi pembina sejumlah kelompok teater di Samarinda dan Tenggarong. Sudah menulis sekitar 30 cerpen, 30 naskah panggung, dan 100 puisi. Naskah fragmen/sinetron di TVRI Kaltim, di antaranya “Riak-Riak Mahakam (12 episode), “Jejak Dalam Air”, “Godai”. Naskah panggungnya antara lain “Darah dan Darah”, “Gilalagi”, “Tunggul”, “Lopat”, “Monumen”, “Perapah”, ‘Wadag Leh”, “Petaka”, “Parang Maya”. Skenario fiImnya “Boyon Dengsanak Etam” dan “Menggapai Hari Esok” garapan Parfi Kutai Kartanegara. Beberapa naskah cerpennya pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang, Ringan, Pesona, Dewi, harian Kaltim Post, Suara Kaltim, mingguan Sampe, dan Menara.
Ilustrasi: Bizman