Cerpen

title

Cinta Sebilah Belati


Penulis: Habolhasan Asyari | Posting: 01 Agustus 2021

Pusaran ulak itu terus menggasing. Lebih ganas dan lesong udang Sungai Mahakam yang membelah sisi timur Pulau Kalimantan sepanjang ratusan kilometer. Deras dan bergulung-gulung. Ratu terbenam dalam kedalaman yang tiada terukur. Meluluhlantakkan seluruh raga. Kepalanya pun serasa lepas dari batang leher, menggelinding entah ke mana.

“Apakah Anda menyaksikan saat-saat mendiang meregang nyawa?”

Pertanyaan itu tak ada yang singgah di telinganya. Kata-kata yang barusan diucapkan petugas polisi, akhirnya terserak dan bercerai berai, terpuruk dalam pusaran yang menggila.

Lalu bau amis darah pun mendadak menyerbu penciumannya. Membuat dada sesak dan kepalanya semakin pusing. Berputar-putar dan kembali menggelinding tanpa arah. Matanya dengan nyata melihat darah yang memuncrat dan lima belas mata luka. Di punggung, perut, pergelangan tangan kiri, tangan kanan, paha, betis, kepala, tapak tangan kanan, jail telunjuk, jan kelingking, jempol kaki, bokong, pinggang, leher, dan dada. Dan pada mata luka di dada tertancap sebilah belati. Menembus selasela rusuk. Merobek rongga dada. Ujungnya yang runcing membenam membelah jantung.

Kematian sulit dielakkan. Malaikat maut sudah waktunya menjemput Qaesar. Maut datang menunaikan tugasnya yang mulia. Memisahkan raga yang selama ini mengurung ruh Qaesar. Tak ada kata terlambat atau penundaan. Perpisahan dengan dunia fana harus terjadi sesuai waktu yang telah ditentukan. Hanya penyebabnya saja yang berbeda. Dan kali ini, caranya sungguh tragis.

“Nona mendengar pertanyaan saya?”

Setelah tiga kali petugas polisi mengulang kalimat tersebut, Ratu mengangkat wajahnya. Sekilas memandang ke arah petugas yang melontarkan pertanyaan.

“Eee... iya, Pak!”

‘Anda menyaksikan saat-saat mendiang meregang nyawa?” ulang petugas polisi yang meminta keterangan Ratu. Dua jam setelah tubuh Qaesar ditemukan terbujur kaku. Menjelang subuh, di salah satu Kantor Polsek di pinggiran Kota Samarinda.

Ratu mendadak terjengah. Dia memang melihat Qaesar bersimbah darah. Pemuda bertubuh atletis yang berhasil menebar pesona dan membuat dirinya jatuh cinta, sempoyongan setelah menderita luka hampir di sekujur tubuh. Terhuyung-huyung. Pandangannya kemudian sayu. Kakinya yang kokoh, kini tak mampu menopang tubuh. Darah yang terkuras menjadikan seluruh sendi tak lagi berdaya. Pandangan Qaesar berkunang-kunang. Kemudian pemuda itu roboh di atas tempat tidur. Genangan darah membasahi permukaan seprei berwarna pink. Dia menggelepar. Bekelonjotan. Kemudian diam. Diam. Tak ada lagi denyut pada nadi. Tak ada hembusan angin pada hidung.

“Anda menyaksikannnya?”

“Ya, Pak. Aku menyaksikannya....”

“Semuanya?” 

Semua peristiwa menjelang detik-detik kematian Qaesar, tak ada yang terlewatkan oleh Ratu. Saat-saat kekasihnya itu meregang nyawa, semuanya ia rekam lewat pandangan. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan pemuda yang sangat ia cintai itu. Pemuda yang telah mampu mencuri segenap perasaannya hingga hubungan mereka berlangsung selama hampir tiga tahun. Bahkan mampu mengalahkan rasa cinta Ratu terhadap kedua orangtuanya serta sanak keluarga.

“Mengapa Anda tak berusaha menolongnya?”

“Aku tak tahu harus berbuat apa....”

“Mengapa Anda tidal keluar kamar, memberi tahu petugas hotel, misalnya?”

Selama sang pacar meregang nyawa, Ratu hanya terhenyak tanpa daya. Bersandar di tembok kamar. Pandangannya nanar, namun tanpa tangís. Ratu tak mampu menangis. Hatinya galau. Perasaannya campur aduk. Dia benar-benar tak tahu, apa yang harus dilakukan.

“Benar Anda menyaksikan saat-saat mendiang meregang nyawa?” kembali petugas polisi itu bertanya.

“Iya, aku menyaksikannya....”

“Semuanya? Sejak awal kejadian?”

“Iya!”

“Mengapa Anda tak berusaha menolong?”

“Aku bingung. Aku pusing.”

“Sekarang bagaimana perasaan Anda?”

“Aku pusing. Aku letih!”

Ratu memang sudah terlalu letih. Terlalu lelah memperjuangkan cintanya. Sungguh dia tak bisa memahami jalan pikiran Papa dan Mama. Hubungannya dengan Qaesar sejak awal ditentang. Tidal direstui lantaran pemuda itu tak punya pekerjaan tetap.

“Bagaimana mungkin masa depanmu terjamin kalau menikah dengan pengangguran,” tandas Papa.

“Tapi, Ratu mencintai dia, Pa. Kami saling mencintai,” ujarnya mencoba meyakinkan orangtuanya.

“Mungkin cinta bisa saja menjadi modal untuk membina rumah tangga. Tapi, papa melihat Qaesar bukan pemuda yang bertanggung jawab.”

“Papa menilainya hanya sepintas. Belum mengenal Qaesar lebih jauh.”

Ratu masih berusaha membela diri. Sekaligus ingin meluluhkan hati Papa. Namun, semua itu sia-sia. Lelaki yang sejak puluhan tahun aktif di organisasi politik dan pernah menjadi anggota parlemen itu tetap bersikukuh. Menolak kehadiran Qaesar dalam kehidupan putri tunggalnya.

Ratu tak berkutik. Satu-satunya harapan adalah Mama. Dia berharap, Mama bisa melunakkan hati Papa untuk selanjutnya merestui hubungan mereka.

“Mama tahu perasaanmu. Cinta adalah masalah hati. Namun, Mama tak bisa berbuat banyak. Tak bisa membantu. Kamu kan tahu bagaimana Papa. Kalau sudah memutuskan sesuatu, tak mungkin menarik kembali keputusan itu. Makanya, sebagai politikus dia sangat disegani,” ujar Mama.

“Tapi, ini tak ada hubungannya dengan politik, Ma!”

“Memang tak ada. Tapi, ada hubungannya dengan sikap Papa yang puluhan tahun hidup bergelut di dunia politik.”

Harapan Ratu pupus. Mama sebagai orang yang mungkin bisa meluluhkan hati Papa, tak punya solusi untuknya. Bahkan sangat kentara kalau Mama berada di pihak Papa. Lantas pada siapa lagi dia mesti mengadu? Pada bulan, pada matahari, pada laut, pada gunung, pada angin, pada langit? Sedangkan pengaduannya pada Tuhan belum juga terjawab. Ratu pun lemas. Dia tak berdaya ketika ribuan kumbang hitam datang menyerbu. Mengerubuti tubuhnya. Menikamkan jarum-jarum tajam ke ulu hati. Meluluhlantak seluruh rasa. Segenap asa. Ratu terkulai tanpa daya.

Qaesar adalah kakak tingkat Ratu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebuah perguruan tinggi ternama di kotanya. Usia mereka terpaut 5 tahun. Mereka berkenalan pada sebuah acara yang berlangsung di kampus. Malam perpisahan dengan salah seorang dosen. Ratu menjadi salah seorang anggota panitia. Qaesar adalah personel band kampus yang saat itu mengisi acara hiburan.

Perkenalan itu malam itu menjadikan mereka kian akrab. Bunga-bunga bermekaran dengan indahnya, seolah tak pernah layu. Wanginya yang semerbak meronai seluruh langkah. Menghiasai ngarai dan puncak gunung. Menerangi angkasa raya. Hubungan Ratu dan Qaesar kian mesra. Seperti laut dengan pantai, tak mungkin bisa dipisahkan lagi. Namun, sayang Qaesar yang terlalu asyik dengan kegiatan seni dan sangat berhasrat menjadi musisi ternama sering meninggalkan kuliah. Sampai akhirnya Qaesar dinyatakan DO.

Kenyataan itulah yang menjadi pemicu ketidaksenangan Papa terhadap Qaesar. Papa menilai pemuda yang dicintai oleh putri semata wayangnya tak punya masa depan yang menjanjikan. Selain itu, ada di antara teman-teman Ratu yang menyebarkan kabar burung. Menyebutkan Qaesar termasuk pemuda yang tak setia. Selalu gonta-ganti pacar. Sehingga Papa semakin murka. Namun, Ratu menanggapi hal itu dengan sikap dingin. Dia menilai, kabar itu sengaja disebarkan oleh mereka yang in melihat keharmonisannya bersama Qaesar.

 “Sekarang juga putuskan hubunganmu dengan Qaesar!”

Papa akhirnya memberikan ultimatum. Itu terjadi seminggu lalu. Tepatnya, setelah papa mengetahui Ratu tetap menjalin hubungan secara diam-diam dengan Qaesar. Sejak setahun lalu, Qaesar tak pernah lagi datang bertamu ke rumah setelah sempat didamprat Papa. Namun begitu, mereka berdua sepakat bertemu diam-diam. Seraya berharap suatu saat Papa akan berubah.

Namun, dengan adanya ultimatum Papa tak mungkin lagi ada musyawarah. Tak mungkin ada tawar-menawar. Keputusan papa bersifat mutlak. Menjadikan seluruh jagat berubah kelabu, buram, hitam. Tak ada lagi bintang. Tak ada lagi bulan. Tak ada lagi angin yang sepoi. Tak ada kicau burung yang merdu. Tubuh Ratu kini terhimpit dua gunung berapi yang siap memuntahkan lahar ganas.

“Kalau memang Papa tak setuju, sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini. Aku ikhlas kita berpisah,” ucap Qaesar.

“Kenapa Bang Qaesar bicara begitu?”

“Ya, bagaimana lagi? Kupikir, itu pilihan yang terbaik”.

“Berarti Abang tidak sepenuhnya mencintai Ratu.”

“Cintaku padamu tak ada batasnya. Mungkin hanya kematian yang bisa menghapusnya. Selama jantung ini masih berdetak, selama itu pula cinta ini bergelora untukmu.”

“Lantas, mengapa Abang menginginkan kjta berpisah?”

“Kita harus realistis. Cinta tak selamanya harus berlanjut ke pelaminan. Walaupun kita harus berpisah, namun aku akan tetap menjaga perasaan cinta itu di lubuk hati yang paling dalam. Itu adalah pilihan yang terbaik, demi masa depanmu.”

“Ratu pikir masih ada jalan lain yang bisa kita tempuh.”

“Tidak ada.”

“Ada!”

“Apa?”

“Kita kawin lari!”

Entah dan mana datangnya, tiba-tiba pikiran gila itu berkelebat di benak Ratu. Menggelinding secara spontan. Seperti meteor yang lepas dan galaksi, meluncur tanpa kendali menikam bumi. Seperti laut yang membuncah mengirimkan tsunami ke tengah daratan.

Ide nekad itu akhirnya mereka matangkan. Mereka pun mencari saat yang tepat meninggalkan kota kelahiran. Kota yang telah membesarkan dan mempertautkan dua hati dalam sebuah ruang yang bernama cinta. Kini, keduanya ingin mengisi ruang tersebut dengan kebersamaan hakiki. Diikat dengan sebuah tali pernikahan. Meskipun akan dilakukan dengan cara yang tanpa restu orang tua. Kawin tari!

Papa dan Mama,

Ratu bukan anak yang bisa berbakti pada orang tua.

Karena Ratu tak bisa menuruti keinginan Papa, berpisah

dengan Qaesar. Ratu sangat mencintainya. Kini Ratu harus

membela kemurnian cinta tersebut.

Maafkan anakmu,

Ratu.


Itulah selarik kalimat yang dituliskan Ratu pada sehelai kertas. Ditinggalkan di atas tempat tidur sebelum meninggalkan rumah. Menjadi kata terakhir untuk kedua orangtuanya. Sebagai salam perpisahan.

Ratu dan Qaesar meninggalkan Banjarmasin. Kota Samarinda di provinsi tetangga menjadi pilihan tujuan mereka. Menurut Qaesar, di daerah ini ada seorang pamannya yang siap mengurus pernikahan mereka. Pemuda itu berusaha meyakinkan Ratu, bahwa semuanya akan berjalan mulus.

Bus yang mereka tumpangi tiba di Kota Samarinda sekitar pukul 10.00 pagi. Perjalanan malam selama 12 jam lebih bersama Qaesar dirasakan Ratu sangat berkesan. Sebuah perjalanan paling indah. Apalagi mereka akan memulai sebuah hidup baru. Membina mahligai rumah tangga bahagia. Tak secuil sesal ada di hatinya. Meski telah tega menyayat hati Papa dan Mama kemudian menyiramnya dengan cuka pembangkangan yang paling asam. Ratu merasa telah melakukan hal terbaik. Membela kemurnian cinta.

Papa telah menjatuhkan vonis yang sangat keliru. Alasan bahwa Qaesar tak punya masa depan terlalu mengada-ada. Jika Papa memang ingin membahagiakan Ratu, dia bisa melakukan hal yang terbaik. Papa punya relasi luas di lingkungan pemerintahan maupun swasta. Kalau Papa meminta pada salah satu relasinya agar mau menerima Qaesar sebagai karyawan, tak mungkin bakal ditolak. Tapi, rupanya kebencian sudah terlanjur melekat di hati. Papa benar-benar tidak menyukai Qaesar. Makanya tak ada tawaran pilihan atau mufakat, Tak ada sama sekali. Titik.

Mengingat kenyataan itulah, Ratu merasa langkahnya sebuah pilihan paling tepat. Karena cinta tidak harus ditangisi apabila perpisahan yang dipaksakan. Sebaliknya cinta harus dibela. Cinta harus diperjuangkan guna mewujudkan kebahagiaan jiwa. Apa yang dilakukannya kini adalah upaya membela dan memperjuangkan cinta sejati.

“Kita menginap di Samarinda malam ini. Kampung pamanku masih jauh, di pedalaman Mahakam. Perlu delapan jam perjalanan naik kapal Sungai. Besok kita berangkat ke sana,” jelas Qaesar.

Ratu pun tak bisa menampik. Kini, semuanya ia serahkan pada Qaesar. Dia percaya sepenuhnya pada sang pujaan hati. Dia percaya sepenuhnya pada pemuda itu. Ratu telah memberikan pengorbanan yang teramat besar. Menentang keputusan Papa dan Mama adalah bukti betapa cintanya pada Qaesar lebih luas dan Samudera Hindia.

Mereka pun menginap di sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Dengan alasan mengirit biaya, Qaesar hanya memesan satu kamar untuk mereka. Menjelang senja, Qaesar mengajak Ratu berjalan-jalan ke tepian Mahakam. Sepanjang alur sungai yang membelah Kota Samarinda ini sengaja ditata pemerintah kota sebagai kawasan hijau. Namun, selepas dhuhur hingga malam hari tempat tersebut berubah menjadi kawasan wisata kuliiler. Ratusan warung tenda bermunculan. Menjajakan aneka makanan dan minuman. Bahkan juga keperluan lain, bisa ditemukan di sini.

Menyusuri tepian Mahakam berduaan dengan Qaesar sungguh membuat perasaan Ratu melambung. Bungah dan sumringah. Ratu merasa tak salah mengambil keputusan kawin lari dengan pemuda tersebut. Dia sangat yakin mereka berdua akan bahagia sampai maut menjemput.

Namun, ternyata maut terlalu dini datangnya. Malam hari, hanya beberapa jam setelah mereka menyusuri tepian Mahakam, maut itu datang menjemput sang kekasih. Qaesar pergi untuk selama-lamanya. Dia menghembuskan nafas terakhir akibat kehabisan darah. Sebilah belati menancap di jantungnya.

“Coba ceritakan kejadian yang nona ingat dalam peristiwa yang menewaskan kekasih Anda,” kata petugas polisi setelah Ratu diberi kesempatan beristirahat beberapa jenak.

Sebelum menjawab pertanyaan petugas itu, Ratu melihat ribuan warna turun dan langit. Warna-warna itu dalam seketika menyatu berubah menjadi merah. Merah dan kental. Berujud menjadi darah. Lantas seketika memagut tubuh Ratu. Bau amis pun menyebar. Menyeruak di rongga hidung. Nafas Ratu terasa sesak. Pandangannya mendadak buram. Sekelilingnya berubah gelap. Tubuhnya limbung. Untung saja seorang petugas segera merengkuh bahu dan menopangnya. Petugas yang lain buru-buru menyodorkan segelas air putih.

Namun, dalam cahaya temaram Ratu bisa melihat dengan jelas bagaimana Qaesar berubah menjadi beringas. Pemuda yang dia kagumi dan dia cintai secara paksa ingin merenggut kegadisannya. Memaksa Ratu melakukan hubungan terlarang. Tak ada sikap yang manis. Tak belaian. Santunnya yang selama ini dikagumi Ratu terbang entah ke mana.

“Ingat, kita belum menikah. Belum boleh melakukan itu!”

“Bukankah kita akan segera menikah?”

“Tapi, tidak boleh sekarang.”

“Sekarang atau nanti sama saja.”

Ratu tak berdaya menghadapi Qaesar yang bagaikan Gunung Merapi siap memuntahkan laharnya. Bergelora. Mendidih. Menggelinjang. Beringas tak terkendali. Ratapan Ratu memohon agar pemuda itu sadar sama sekali tidak digubris. Tak bisa meredakan buncah durjana yang meletup-letup. Tapi, dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, Ratu mencoba bertahan. Mencoba melawan sekaligus berupaya menyadarkan kekasihnya.

“Maaf, Nona. Nona bisa menyimak pertanyaan kami?”

“Eee... iya, Pak.”

“Nona jangan berbelit-belit, jangan menyulitkan petugas untuk mengetahui pembunuh pacar Anda.”

“Siap, Pak.”

“Sekali lagi saya tanya, apakah Nona melihat saat pelaku membunuh pacar Anda?”

“Aku melihatnya.”

“Melihat semuanya?”

“Semuanya.”

“Ceritakan, bagaimana kejadiannya?”

“Aku melihat pelaku menjangkau belati yang terletak di meja rias. Belati itu tadinya aku gunakan bersama Qaesar untuk mengupas apel yang kami beli di tepian Mahakam. Pelaku menggenggam belati itu erat-erat. Menikamkan berkali kali, sekuat tenaga. Dia berusaha membela diri. Membela kehormatan. Belati itu akhirnya menancap di sela rusuk, menembus jantung.”

“Nona kenal pelakunya?”

“Sangat kenal,”

“Katakan, siapa yang membunuh pacar Anda?”

“Aku yang membunuhnya!” (***)


Kota Tepian, 25 Agustus 2010



HABOLHASAN ASYARI. Lahir di Kota Bangun, 1 Mel 1961. Mulai menekuni sastra dan teater sejak tahun 1980 ketika bergabung dengan kelompok Teater Suluh Indonesia. Kemudian menjadi pembina sejumlah kelompok teater di Samarinda dan Tenggarong. Sudah menulis sekitar 30 cerpen, 30 naskah panggung, dan 100 puisi. Naskah fragmen/sinetron di TVRI Kaltim, di antaranya “Riak-Riak Mahakam (12 episode), “Jejak Dalam Air”, “Godai”. Naskah panggungnya antara lain “Darah dan Darah”, “Gilalagi”, “Tunggul”, “Lopat”, “Monumen”, “Perapah”, ‘Wadag Leh”, “Petaka”, “Parang Maya”. Skenario fiImnya “Boyon Dengsanak Etam” dan “Menggapai Hari Esok” garapan Parfi Kutai Kartanegara. Beberapa naskah cerpennya pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang, Ringan, Pesona, Dewi, harian Kaltim Post, Suara Kaltim, mingguan Sampe, dan Menara. 


Ilustrasi: Bizman

Share:
Cerpen Lainnya