Cerpen

title

Dulak


Penulis: Herman A. Salam | Posting: 23 Juli 2021

Alam memang tidak bisa dibaca. Baru saja matahari dengan garangnya menyengat bumi, tanpa ada halangan sedikit pun dari awan. Eh, sekarang hujan dengan derasnya turun mengguyur, membuat jalan tanah jadi becek melengket. Jalan logging yang tadinya penuh debu kini licin membuat ban mobil sering selip. Bahkan, tidak sedikit jalanan yang menurun pada lembahnya kini penuh oleh air menjadi sungai-sungai kecil yang airnya mengalir cukup deras. 

Jalan yang dibuat oleh perusahaan kayu ini dipakai untuk logging-logging pengangkut kayu, dan bukan jalan untuk umum. Hanya, memang akhir-akhir ini perusahaan mengizinkan masyarakat untuk melaluinya karena memang hanya jalan milik perusahaan ini saja menjadi akses yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman, selain  transportasi sungai, tentunya. 

Menghadapi medan yang sulit seperti ini memerlukan keterampilan dan pengalaman, dan itu harus dimiliki para sopir dalam mengahadapi alam yang cukup ganas ini. Tanah merah yang lengket membuat ban berputar berat. Kalau mobil dengan gardan tunggal, bisa dipastikan akan mogok tak berdaya. Di jalan berat seperti ini diperlukan mobil-mobil jip bergardan ganda. Tapi, kalau sudah terjebak pada kubangan penuh lumpur, kalau mobil tidak dilengkapi dengan kren, yah, mau tidak mau menunggu pertolongan.

Untungnya, di hutan budaya tolong-menolong masih hidup. Tidak seperti di kota yang orang begitu cueknya jika melihat mobil terperosok ke parit atau mogok di pinggir jalan. Di jalan-jalan blok seperti ini, jika ada mobil yang terjebak lumpur, semua orang tidak peduli dengan hujan maupun lumpur. Semua bahu-membahu menarik mobil-mobil yang terjebak. Ada yang memasang balok di roda belakang sebagai landasan, ada yang memasang kawat baja, ada yang dengan sekop menggali tanah yang menjepit ban. Lalu, terdengar aba-aba agar mobil yang menarik mulai menekan gasnya. Biasanya peristiwa seperti ini tidak berlangsung lama. Yang lama adalah menunggu mobil bantuan yang datang dari arah depan maupun belakang. Menunggu mobil lewat inilah yang tidak bisa ditentukan. Kalau lagi apes, bisa-bisa semalaman menunggu di tengah hutan.

Kesialan itu rupanya dialami oleh Burhan. Walau keringat telah membasahi sekujur tubuh sopirnya, tetap saja mobilnya tidak ke luar dari kubangan lumpur. Bau kanvas kopling memenuhi kabin mobil. Semakin gas ditekan, semakin dalam ban masuk ke lumpur. Dan, sepertinya mobil semakin terbenam dalam.

“Sudahlah, Ton! Kita tunggu saja mobil yang lewat. Lagian, kalau dipaksa nanti kampasnya bisa habis, di tanjakan Gunung Kombeng nanti malah enggak bisa naik. “

“Mudah-mudahan ada yang lewat, Pak.”

“Yah, aku kira pasti ada mobil yang lewat sini tak berapa lama lagi,” harap Burhan meyakinkan sopirnya. Pengalaman terjebak di tengah hutan seperti ini bukan sekali dialaminya. Jadi, ia tidak merasa begitu khawatir. Burhan melihat arloji di pergelangan kirinya. Jarum pendek telah menunjukan angka lima. Itu berarti hampir satu jam mereka terjebak di kubangan lumpur.

“Kalau saja tadi Bapak mau menerima ajakan Mister Lim lewat sungai, jam enam nanti pasti Bapak sudah sampai di Muara Bengkal.”

“Speedboat-nya kecil Ton. Aku takut karam. Kau khan tahu aku enggak bisa berenang. Lagian, tadi kau lihat sendiri, cuacanya khan bagus? Eh…, enggak tahunya hujan. Dasar sial!”  

Toni dapat merasakan kekesalan bosnya itu, karena amblesnya ban membuat bisnis bosnya tertunda. Tapi, dalam hati Toni meniwaskan bosnya sendiri. Dalam hal ini bukan alam yang salah. Manusia sendiri yang telah merusak alam. Keserakahan manusia dengan membabat hutan seenaknya membuat hukum alam jadi berubah. Kalau dulu, musim berlaku dengan tertibnya. Musim kemarau jatuh di awal bulan Februari sampai akhir September. Lalu, hujan mulai turun di bulan Oktober sampai bulan Januari. Pergantian musim yang tetap itu dijadikan patokan dalam menanam padi. Kini, semua jadi tak menentu. Musim kemarau bisa sepanjang tahun. Sebaliknya, hujan bisa turun kapan saja. Ya, seperti hari ini. Dari pagi hingga siang matahari begitu teriknya, eh, dalam hitungan menit berubah menjadi hujan deras. Aneh.

Burhan kembali menyandarkan tubuhnya. Kaca mobil memburam oleh kabut. Di luar hujan masih deras. Ada perasaan sesal karena tidak mengikuti ajakan Mister Lim. Kalau saja dia ikut lewat jalan sungai…. Ah, desah panjang ke luar dari mulutnya. Padahal, di Muara Bengkal sudah menunggu beberapa rekanan bisnisnya. 

Burhan menyapu kaca mobil dengan kertas tisu. Di depan tampak jalan becek membujur panjang sepi . Di kiri kanan jalan tanah hangus dengan batang-batang pohon kehitaman berdiri mati. Sisa kebakaran hutan masih tampak jelas. Dilihatnya Toni sedang melepas sepatu yang penuh lumpur. Lalu, dilemparnya begitu saja ke luar mobil. Lalu, sambil duduk  dibersihkannya lumpur yang mengotori kakinya dengan curahan air hujan. 

Burhan menaikkan resleting jaketnya menahan dingin akibat hembusan angin dari pintu mobil yang terbuka. Burhan kembali menatap kaca mobil yang kembali buram. Dilihatnya kembali arlojinya. Sambil mendesah dihapusnya kaca, menerawang ke jalan yang sepi berharap yang dinanti muncul di hadapan.

“Sebentar lagi malam, Pak?” kata Toni memecahkan diam.

“Mudah-mudahan ada mobil yang datang, Ton. Habis, mau berbuat apa lagi selain menunggu? Mana enggak ada sinyal lagi,” ujar Burhan yang memperhatikan HP-nya.

“Kalau sampai bermalam, waduh, celaka, Pak. Apalagi kita enggak bawa bekal makanan.”

“Berapa kilometer kampung yang terdekat, Ton?”

“Perkampungan yang terdekat… rasa-rasanya setengah jam perjalanan dari sini. Itu artinya hampir tiga puluh kilometer, Pak.”

“Lumayan juga. Kalau rumah penduduk? Apa ada, Ton?”

“Rasa-rasanya enggak ada, Pak. Sepengetahuan saya enggak ada rumah penduduk di sepanjang jalan blok ini. Paling-paling, di dekat camp di hilir Muara Bengkal.”

Burhan menarik napas panjang. Disandarkannya tubuhnya sambil merendahkan sandaran kursi. Dipejamkannya matanya. Pikirannya melayang ke losmen tempat Mister Lim dan rekan bisnisnya menununggu kedatangannya. Tentu kini mereka asyik bercerita bisnis atau menceritakan gadis-gadis malam yang semakin menggoda dan menggemaskan sambil minum bir.  

Burhan kadang heran juga melihat banyaknya gadis-gadis muda yang terjun dalam dunia malam. Rupanya kehidupan ini semakin berat. Tapi, ia tak pernah peduli. Bukankah dengan mengencani mereka artinya ia telah membantu gadis-gadis itu? Berapa juta saja uangnya habis untuk mereka? Dari mana mereka beroleh penghasilan kalau tidak dari lelaki seperti dia? Pernah terpikir di benaknya, jika bisnis perkayuannya nanti macet ia akan membuka bisnis kafé saja. Bisa menyelam sambil minum air. 

Tapi, sepertinya usahanya semakin lancar saja. Ilegal atau tidak yang jelas dia telah mengantongi izin. Dengan berdalih membuka perkebunan kelapa sawit, kongkalikong dengan para cukong, suwat-suwit dengan beberapa pejabat terkait, izin pengusahaan hutan keluar. Landclearing dilakukan. Ribuan kubik kayu hasil bawaan dikeluarkan tanpa harus membayar pajak, tanpa HPH, IHH atau RPH. Pokoknya semua mudah diatur. 

Setelah hutan dibuka dan kayu habis dibabat, urusan kredit diurus. Begitu kredit untuk penanaman mengucur dari bank, langkah berikutnya tinggal memanggil LSM-LSM yang bisa dibayar dengan sedikit rupiah. Mereka akan berteriak-teriak agar perkebunan sawit dibatalkan karena melanggar hak ulayat atau tanahnya tidak cocok untuk perkebunan karena bisa merusak struktur tanah. Yah, apa boleh buat, karena pertimbangan ini itu, terutama atas desakan LSM dan instansi lingkungan lainnya, maka perkebunan sawit dibatalkan. Cerdas, khan? Uang sudah didapat, baik dari hasil kayu dan kucuran kredit dari bank. Tinggal lapor bahwa usaha gagal. Kredit dianggap macet. Kayu habis? Usaha macet? 

Oh, tidak. Peluang usaha tetap terbuka. Kini batu bara, bongkahan emas hitam jadi primadona baru. Dengan dalih koperasi atau usaha kerakyatan lain, dengan mudah batu bara digali. Caranya hampir sama dengan bisnis kayu. Dengan dalih membuka perkebunan rakyat, izin penguasaan lahan diajukan. Beberapa amplop dibagikan. Keluar sudah. Bukan sawit yang ditanam, tapi batu bara yang dipanen. Yah, memang enak mencari uang di republik ini. Dan itulah yang dikerjakannya saat ini. Kalau saja ia tidak terjebak dalam kubangan jalan becek ini, tentu ia sudah mengadakan transaksi bisnis dengan Mister Lim yang akan menyelesaikan pengiriman flooring.

Suara ketukan di kaca pintu membuyarkan lamunan Burhan. Seraut wajah lelaki di balik sarung tampak seiring dengan kaca yang perlahan turun.

“Ambles, Pak, mobilnya?”

“Eh,…ya,” jawab Burhan sambil mengamati lelaki tua yang memikul lanjung di pundaknya. Burhan menyapu wajahnya yang terimbas hujan.

“Sayang sekali saya tidak bisa membantu. Sepertinya harus ditarik mobil baru bisa lepas…,” kata lelaki tua itu sambil mengamati ban yang terbenam dalam.

“Rumah Bapak di mana?” 

“Pondok saya tidak jauh dari sini, masuk ke jalan setapak di tikungan sana,” tunjuk lelaki itu ke arah belakang mobil.

“Apa ada yang lain tinggal di pondok Bapak?” tanya Burhan berharap bisa menggunakan tenaga mereka untuk melepaskan mobilnya yang amblas

“Saya sendiri saja di pondok. Apa Bapak mau menginap di pondok saya?” tanya lelaki tua yang menggigil menahan dinginnya hujan.

“Terima kasih, Pak. Saya menunggu di mobil saja. Siapa tahu ada mobil yang lewat dan bisa menarik mobil saya.”

“Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau perlu bantuan lainnya bisa datang ke pondok saya.” 

“Terima kasih, Pak. Nanti kalau ada yang saya perlukan saya akan ke pondok Bapak.”

“Permisi,” kata lelaki tua itu sambil berlalu.

Burhan dan Toni memalingkan tubuhnya memperhatikan lelaki tua yang berjalan menjauhi mereka. Tepat di tikungan jalan lelaki tua itu masuk ke jalan kecil dan hilang di balik bukit. Burhan kembali melihat arlojinya. Jarum jam kini menunjukkan pukul enam sore. Gelap mulai sempurna menyelimuti hari. Dengung nyamuk hutan sedari tadi berseliweran di telinga Burhan. Beberapa kali ia menepuk pipinya saat nyamuk itu hinggap. Memang serba salah jadinya. Kalau kaca mobil ditutup, udara jadi panas dan pengap, kalau dibuka, nyamuk merajalela. Untuk beberapa saat keduanya saling diam. Asyik dengan pikirannya masing-masing. 

Di luar semakin gelap. Hujan berganti dengan rinai gerimis. Suara jengkerik mulai mengantar harmoni malam. Sesekali kilat gemerlap menerangi bumi. Gelap, gelap. Di mana-mana gelap, langit pun gelap. Alam sembunyi dalam selimut gelap. Sunyi mencekam. Hanya detak jantung saling memalu dari kedua insan yang duduk tak bergerak di dalam mobil. Kini, yang mampu menembus pekatnya galap hanya pikiran yang melintas dalam bayang. 

Beda sekali apa yang mereka pikirkan saat ini. Burhan, di benaknya penuh dengan angka-angka rupiah yang akan ia terima yang lalu beralih pada kesenangan yang akan direngkuhnya. Karena, setelah dari Muara Bengkal ini rencananya ia langsung ke Balikpapan. Bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk istirahat. Yah, sekalian happy-happy mengendorkan otot-otot yang kaku atau bisa juga meluruskan urat. Membayangkan hal ini segurat senyum tergambar di wajahnya. Memang sudah direncanakannya. Karena, kalau langsung pulang ke rumah, susah lagi ia mencari alasan pada istrinya untuk ke luar. Mendingan sekalian saja. Terlebih lagi ia tahu betul penyakit istrinya. Dengan berlian dan pakaian mahal tentu istrinya tak lagi merengut manakala ia terlambat pulang. Dasar istrinya mata duitan. Uang saja yang ia pikirkan.

Tidak demikian dengan Toni yang pusing memikirkan masalah yang dihadapinya. Ia sedikit gelisah jika mengingat istrinya yang kini hamil sembilan bulan tinggal menunggu hari saja. Yang membuatnya cemas, anak keduanya ini saat di-USG tampak sungsang. Kalau sampai dioperasi caesar, berapa juta yang harus disiapkannya? Meminjam pada Pak Burhan? Huh,…jangan harap. Ia heran dengan bosnya ini, kalau dimintai utang untuk keperluan anak istrinya jawabannya pasti tidak ada. Tapi, kalau untuk utang main judi atau minum-minum, gampang saja uangnya ke luar dari sakunya. 

Lamunan Toni buyar manakala melihat sekelebat sinar di kaca spion. Toni memperhatikan di kaca spionnya dengan seksama. Tampak di kejauhan cahaya senter yang dibawa seseorang berjalan mendekat ke mobil. Jantung Toni seketika berdebar kencang. Digamitnya tangan Pak Burhan sambil menunjuk ke kaca spion. Setelah sama-sama memperhatikan kaca spion, keduanya saling pandang. 

Pak Burhan kemudian menengok ke belakang memperhatikan datangnya lampu yang kian dekat. Tangannya tanpa sadar menekan tombol kunci pintu, lalu memandang Toni yang sedang meraba sesuatu di bawah jok. Lampu senter yang menyala di tangan Toni menerangi kabin. Di tangan kanan Toni tergenggam sebilah mandau. 

Melihat mandau di tangan Toni jantung Pak Burhan semakin berdebar kencang. Dicengkeramnya lengan Toni dengan keras. 

“Hati-hati, Ton! Jangan gegabah.”

Suasana mencekam. Toni mematikan lampu senter di tangannya. Hening seketika, hanya debar jantung yang berpacu kencang. Rasa khawatir melintas di benak mereka. Terperangkap di tengah hutan. Tak ada yang bisa diharapkan. Bisa jadi yang datang adalah para perampok yang akhir-akhir ini santer menyatroni rumah-rumah penduduk. Perampok-perampok sadis yang bukan saja mengambil harta, tapi tak segan-segan melukai bahkan membunuh korbannya. Dan, memang akhir-akhir ini berita inilah yang selau menghiasi koran-koran kota.

Tok…tok! Pintu kaca samping diketuk. Dari kaca buram tampak wajah kurus lelaki tua yang menyorotkan senter ke wajahnya agar bisa dikenali orang-orang di dalam mobil. seketika ketegangan mencair. Sambil menghembuskan napas lega Pak Burhan menurunkan kaca jendelanya.

“Aduh…, saya kira siapa tadi….”

“Maaf kalau kedatangan saya menakutkan Bapak. Saya hanya membawakan singkong rebus, kalau-kalau Bapak tidak membawa bekal. Jadi, walau hanya singkong rebus, cukuplah untuk menganjal perut malam ini. Itu pun kalau Bapak-bapak berkenan.”

***

Singkong rebus? Yah, singkong rebus. Tapi, mengapa sampai detik ini begitu melekat dalam ingatannya, bagaimana enak dan gurihnya singkong rebus itu dicecap lidahnya? Kalau tidak salah, sudah hampir dua bulan peristiwa itu berlalu. Tapi, mengapa setiap ia ingin menikmati makanan yang dikunyahnya, ia tidak merasakan kenikmatan seperti ketika ia makan singkong rebus kala terjebak di tengah hutan tempo hari? Burhan kini kehilangan rasa.  

Jika ia makan ayam goreng, tiba-tiba ia teringat masa kecilnya dulu ketika makan ayam goreng. Delapan saudaranya ditambah abah dan emak menghadapi seekor ayam kampung. Ayam kampung seekor dimakan sepuluh orang, bukan sekali makan, tetapi untuk makan siang dan malam. Seorang dapat sepotong kecil, kuahnya boleh banyak. Walau beras jatah, namun ia bisa dua kali tambah. Dan, daging ayam itu lamat-lamat dikunyahnya dan sungguh nikmat. 

Dulu, emaknya jika membuat dadar telur dari satu telur ayam kampung dicampur dengan tepung terigu lalu didadar lebar-lebar walau tipis jadinya. Dipotong-potong jadi sepuluh untuk sarapan. Sambalnya kecap manis diberi rajangan bawang merah dan lombok rawit. Uih, nasinya saja yang kurang.

Nasi hangat diaduk dengan minyak jelantah sisa menggoreng ikan asin. Wuih! Terasa nikmat sekali. Atau, nasi dicampur dengan parutan kelapa yang diberi garam sedikit. Nikmat sekali dimakan hangat sambil menunggu hujan reda. Ada kebiasaan Emak yang melekat di memorinya, yaitu nasi kuning yang disajikan Emak kala sarapan. Sisa parutan kelapa bukannya dibuang, tetapi dijadikan serundeng. Juga enak. Biasanya Emak buat jika tanggalan di almanak pada bulan-bulan tua. 

Kini, setelah berkeluarga dan rezekinya seperti hujan saja dari langit, semua makanan enak bisa tersaji dan bisa dibeli, baik di warung maupun di restoran mahal.  Setiap hari istrinya selalu menyediakan menu makanan yang berbeda dan boleh dikata selalu menyajikan makanan yang enak-enak. Dimakan atau tidak oleh anak-anak dan suaminya, selalu saja ia perintahkan pada bibi rumah untuk masak. 

Katanya, untuk membangkitkan selera makan perlu ditambah dengan suplemen yang mengandung multivitamin. Sudah juga dilakukan. Tetap saja selera makannya hilang. Tubuhnya menjadi lemas dan tak bergairah. Burhan kehilangan selera. Setiap makanan yang dicecapnya tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Bukan kurang garam, terlalu manis, atau kurang asam, tetapi ada sesuatu yang kurang. 

Dokter ahli gizi yang dirujuknya menyarankan untuk mengurangi makanan tertentu, bahkan memberikan daftar menu dengan jumlah kalori yang harus dikonsumsi. Tidak puas pada advis dokter, Burhan lalu ke klinik sinshe. Aneka dedaunan serta akar-akaran diramu. Ada yang diseduh ada juga yang ditelan berupa butiran-butiran hitam. Setelah ditunggu beberapa hari nyatanya tak membawa perubahan yang berarti. Tetap saja selera makannya menurun. Untung saja tekanan darah, jantung, dan lain-lainnya tak mengalami perubahan, tetap stabil. Tapi….

Alat cecap dan otaknya seakan bertolak belakang. Bersamaan makanan itu masuk ke mulut, bersamaan itu pula memorinya bekerja pada kutub-kutub masa lampau. Burhan bisa mengingat kembali rasa dengan sempurna tekstur ayam goreng dan kegurihannya, lezatnya sate kambing, opor itik, buah apel, kueni, jagung bakar, dan semua panganan lainnya. Lalu, makanan yang dikunyahnya di mulut rasanya tidak pas dengan ingatannya tentang rasa.

Oleh beberapa kenalannya, Burhan disarankan tidak makan sebelum lapar atau berpuasa sekalian. Siapa tahu pada saat lapar ia bisa menumbuhkan selera dan rasa makanan bisa dirasakannya. Namun, setelah seminggu dilakukan tetap saja lidahnya tidak merasakan nikmatnya makanan seperti yang dibayangkannya saat itu.

Dari hasil general check-up dan juga analisis dokter spesialis tidak ditemukan penyakit yang menghawatirkan. Hasil laboratorium menunjukkan tekanan darah, kolesterol, gula darah, dan asam urat normal. Artinya, semua di bawah ambang batas toleransi. Demikian juga diagnosis psikiater tidak menunjukkan gejala penyakit kejiwaan tertentu. Dengan demikian kesimpulannya dirinya tidak sedang dalam sakit, baik secara fisik maupun kejiwaan.

Lalu apa? Ada apa dengan dirinya? Mengapa makanan yang dicecapnya selalu saja berbenturan dengan ingatan yang tiba-tiba muncul pada setiap makanan yang dimakannya?

“Apakah aku banyak dosa? Rasanya memang ya. Tetapi, mengapa Darsono, Mualimin, Hengky, atau Mister Lim tidak mengalami seperti yang dirasakannya? Bukankah mereka itu berbuat sama seperti apa yang kulakukan? Mereka tetap happy-happy saja setiap hari. Memangnya, ada hubungan yang erat antara dosa dan rasa? Ataukah aku kepuhunan? Kepuhunan oleh apa? Rasanya, selama ini aku enggak melanggar pantangan. Orang pintar sudah kutemui, katanya juga enggak apa-apa, lalu apa?”

Burhannuddin, pengusaha sukses yang hokinya setiap tahun semakin berkibar di usianya hampir menginjak setengah abad, yang rajin ke salon untuk creambath dan menyemir rambutnya, yang masih enerjik dan selalu menjaga kebugaran tubuhnya, yang tak pernah berhenti menerima SMS dari gadis-gadis muda simpanannya, yang juga selalu dibicarakan masyarakat sekitar rumahnya karena kedermawanannya, kini di ujung keputusasaannya mencoba berkontemplasi akan kehidupan yang telah dilaluinya. Perenungan itu membawa pada satu titik nadir.

“Ternyata, hanya singkong rebus. Yah, hanya singkong rebus….”

***

“Bapak ini, hanya karena singkong rebus Bapak hampir-hampir bunuh diri?” tanya Toni tidak percaya pada jawaban dari masalah yang dihadapi oleh tuannya. 

Burhan hanya diam. Rasanya percuma ia menjawab pertanyaan Toni. Toh, penjelasannya tidak bisa diterima oleh Toni, bahkan orang lain. Karena memang hanya dia seorang yang tahu puncak penyelesaiaan dari persoalan yang dihadapinya. Dan, perjalanan kali ini pun dalam rangka mengkonklusikan semua jawaban.

Cuaca cerah, matahari tegak berdiri. Burung kelinjau berceloteh riang. Terbang lincah di antara ranting akasia. Pondok sederhana yang dindingnya dari kulit kayu, beratap daun nipah, tampak teduh di samping pohon manggis yang rimbun. Sambil bersandar Burhan melonjorkan betisnya. Udara sejuk menyegarkan tubuhnya. Di usianya sekarang ini memang tidak mudah melakukan perjalanan berat. Tubuhnya selama empat jam lebih terguncang-guncang mengikuti jalan logging. Dari dalam pondok muncul lelaki tua sambil membawa singkong rebus di piring seng. Singkong rebus masih mengepulkan uap karena memang baru diangkat dari kendil.

“Silakan, Pak Burhan, singkongnya dicicipi. Hanya singkong rebus….” 

“Yah…, hanya singkong rebus,” guman Burhan sambil mendesah panjang. Matanya menerawang jauh. Mulutnya melumat potongan singkong hangat. Dirasakannya dengan seksama dengan penuh perasaan, seakan tidak akan melepas rasa yang dicecap seluruh indera jiwanya.

Pak tua duduk bersila di sudut pondok sambil melinting rokok daun. Dipandanginya wajah tamunya yang asyik benar mengunyah singkong rebus. Walaupun sebelumnya ia sempat heran mendengar penjelasan dari Burhan akan maksud kedatangannya kali ini, namun akhirnya ia memafhumi apa yang dialami oleh tamunya ini.

“Alam menyatu dalam kehidupan manusia. Begitu yang diperbuat oleh manusia, begitu pula yang diberikan oleh alam pada kehidupan. Alam berkembang jadi guru, begitu kata orang bijak. Hukum alam terjadi untuk menjaga keseimbangan. Keselarasan. Bukan alam tidak bisa dibaca, tetapi memang untuk membaca alam manusia harus arif. Sekarang alam tidak bisa dibaca karena manusia telah naif. Singkong rebus yang Bapak makan ketika perut sedang lapar akan terasa nikmat. Singkong rebus hanya menawarkan bungkahan yang berasa jika pas garamnya, pas matangnya, dan pas waktunya. Manusia tidak pernah lapar, manusia hanya tidak pernah puas.”

Lelaki itu diam sesaat. Dijentiknya abu rokok di tangannya, sementara Burhan  dengan sungguh-sungguh menyimak butiran kalimat yang ke luar dari mulut lelaki tua yang kembali menyedot rokok daunnya dalam-dalam kemudian menghembuskan asap panjang. 

 “Apalah pengalaman orang tua macam aku ini? Yang kutahu hanyalah memperlakukan alam seperti alam memperlakukan diriku, dengan demikian aku bisa meniti  alam. Alam tidak hanya ada di luar tubuh kita, tetapi tubuh kita ini adalah alam. Bagian dari alam. Jika satu rantai terputus, maka putus pula garis kehidupan itu. Mengapa lidah Pak Burhan tidak begitu tepat mengecap makanan yang masuk ke dalam mulut sesuai dengan rasa yang melekat erat dalam ingatan Pak Burhan? Mengapa nilai rasa bisa berubah? Hal itu Pak Burhan sendiri yang bisa menjawabnya. Mungkin ada satu hal yang bisa aku pesankan, dan pesan inilah yang harus Bapak amalkan nanti.” 

Sesaat lelaki itu menghentikan kalimatnya. Ditatapnya Burhan lamat-lamat. Setelah menyalakan rokoknya yang mati dengan geretan, dilanjutkannya kembali kalimatnya. 

“Tidak makan sebelum lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang.”

Burhan menyandarkan tubuhnya ke dinding pondok seiring dengan hembusan napas kelegaan. Tatapan matanya menerawang ke pucuk bengkirai yang daunnya keperakan ditimpa matahari. Yang melintas di pikirannya kini bukan lagi makanan, tetapi bisingnya mesin cainsaw yang dengan pongahnya merebahkan pepohonan, juga deru bulldozer meratakan bukit mengeruk batubara yang sedang tertidur lelap, juga nyaringnya teriakan mesin pompa air yang menyedot butiran pasir di palung Mahakam, lalu tangan-tangan kokoh eskavator mengeruk tanah pasir yang kemilau keemasan. Semua masuk ke dalam mulutnya, lidahnya kelu mencecap semua yang dikunyah yang kemudian teronggok berat di dalam perutnya yang terus membesar hingga kakinya tak lagi mampu menopang.  (***)

Samarinda, 5 April 2005

Catatan:

  • Dulak: (Bahasa Banjar) = bosan kepada makanan karena terlalu sering dikonsumsi atau terlalu kebanyakan.



HERMAN A. SALAM. Pada awal proses kreatif tahun 1987, menulis naskah sandiwara radio yang disiarkan di RRI Samarinda dan Radio Don Bosco Samarinda. Kemudian menulis naskah televisi untuk TVRI Kaltim. Ia juga menulis sejumlah naskah sandiwara panggung. Pernah memenangi lomba penulisan skenario prosesi budaya Islam di Surabaya tahun 1998 dan Lomba Penulisan Buku Tahun 2000 lewat novel Senopati Awang Long.

Share:
Cerpen Lainnya