Dulu, sambil menunggu matahari tenggelam di balik rerimbunan pohon angsana di ujung jalan, aku merebahkan kepala di paha ibu dan mendengarkannya bercerita. Kadang ibu bercerita tentang seorang teman sepermainannya yang memiliki pitak selebar ibu jari, atau kambingnya yang melahirkan dua ekor anak kambing rakus, atau tentang maling yang dihajar warga karena mencuri ayam.
Dari semua cerita, aku lebih suka kisah tentang hantu-hantu yang pernah dilihat kakek di pohon nangka atau bersembunyi di antara daun-daun pisang yang kering. Ibu bilang, seorang tetangga kakek sering kerasukkan jin penunggu pohon nangka. Jika sedang kesurupan, orang itu berbicara sendiri dan marah-marah. Dia memaki orang - entah siapa - yang ditudingnya menebang pohon sembarangan. Ibu dan kawan mainnya senang menonton orang kesurupan. Dan ketika mata tetangga yang kerasukkan jin itu membelalak, ibu nyaris cepirit.
Namun, dari sekian banyak cerita seram, tidak pernah sekali pun ibu menceritakan hantu-hantu yang mendiami pohon randu. Padahal, kata Bude Mirah - yang lahir lebih tua enam tahun daripada ibu - hantu paling sering nemplok di pohon randu. Mereka beranak-pinak dan senang beruncang-uncang kaki di dahannya dan tertawa menjelang subuh, membuat seekor anjing liar melolong seperti serigala.
Ketika Kang No – suamiku - memilih merawat ketimbang menebang pohon randu yang tumbuh sendiri di pelataran rumah, Bude Mirah pun tak henti mengomel. Setiap kali mengomel dia selalu mengatakan akan menjual rumahnya, lalu membeli rumah baru yang bebas dari pohon-pohon angker.
“Tidak ada manfaatnya menanam pohon kapuk, No. Kapuk-kapuk yang pecah justru beterbangan sampai ke dalam rumah. Jatuh di kuah sayurku. Apa kamu mau melihatku makan sayur kapuk melulu?” Begitu katanya. Namun, sampai pokok randu sebesar dua pesumo, Bude Mirah masih bertahan tinggal di rumah itu.
Beberapa pekan lalu, aku melihat perempuan tua itu duduk di ambang pintu dapur. Dia tampak khusyuk memerhatikan pohon randu. Pikirku, Bude Mirah ingin mengambil pucuk-pucuk daun randu, yang karena letaknya terlalu tinggi, dia pun memikirkan cara untuk memetiknya. Mungkin saja akan dijadikan obat. Orang bilang, pucuk daun randu bisa dijadikan obat batuk. Tetapi, selama beberapa hari belakangan tak pernah kudengar Bude Mirah batuk-batuk.
Dia pun bertanya, kapan aku akan menebang pohon itu? Tetapi aku justru balik bertanya, “Kenapa harus ditebang? Pohon itu sudah ada sejak Kang No masih hidup.”
“Tapi, kan, No sudah mati. Pohon randumu terlalu besar, bisa rebah kalau sewaktu-waktu ditiup angin kencang. Kalau rebah di atas genting rumah kita bagaimana?”
Aku bergeming.
“Lagi pula sudah sering kukatakan, pohon randu itu tempat singgahnya para demit, Wi.”
Untuk pertama kalinya - setelah lebih tujuh belas tahun - aku mulai memikirkan cerita takhayul dari mulut Bude Mirah. Tentang demit atau hantu-hantu yang sewaktu kecil dulu sering kudengar dari mulut Ibu . Siang malam aku merenungi. Tidak ada yang bisa kumintai pendapat, karena Kang No satu-satunya tempatku bercerita sudah lama wafat.
Sebab itu, tampaknya cerita ini akan lebih baik jika kubagi kepadamu. Bukan tentang Bude Mirah yang tua, melainkan tentang pohon randu dan Hasanah, putriku satu-satunya. Kamu boleh mendengarkan cerita ini sambil memakan sesuatu. Misalnya, sepotong roti. Atau sebungkus kerupuk. Tetapi jangan makan kerupuk Johari. Aku akan menertawakanmu sampai mukamu memerah.
Tentang putriku, entah apa yang terjadi padanya. Belakangan, dia kerap bersikap seolah-olah kekurangan kasih sayang. Padahal selepas kematian Kang No, tidak pernah sekalipun aku mengabaikannya. Jika Hasanah merindukan bapaknya, akan kukatakan bapaknya sudah bahagia di surga. Surga itu indah, semua orang bahagia di sana. Tetapi suatu hari, saat umurnya belum genap sepuluh, jawabanku justru membuatnya menangis tersedu-sedu. Katanya, “Kenapa Bapak pergi ke surga tidak mengajak kita, Bu? Kok, Bapak mau berbahagia di sana sendirian?”
Terbata-bata aku menjawab pertanyaannya, lalu kualihkan pembicaraan kami ke permen kapas kesukaannya. Hasanah kecil paling senang mendengar cerita tentang permen kapas, bagaimana gula pasir berubah menjadi serat seperti jaring laba-laba. Tetapi kali itu Hasanah tetap bersedih. Setelahnya, dia tidak pernah lagi mengadu merindukan bapaknya.
Kini, putriku telah berumur enam belas. Dia lebih sering mengurung diri di kamar. Terkadang sampai mengunci pintu. Ketika gadis-gadis seumurannya memenuhi Taman Kincir di Sabtu sore serta memoles wajah dengan bedak dan menyemprotkan parfum, Hasanah justru meringkuk di kasur.
***
Pertanyaan Bude Mirah tentang kapan akan kutebang pohon randu itu belum juga kujawab. Meskipun sebenarnya aku telah memikirkan pertanyaan itu siang-malam. Ketika itu, kupikir satu-satunya orang yang bisa kumintai pendapat hanya Kang Saif, kawan Kang No. Dia punya senso yang biasa dipinjam pak RT untuk kerja bakti. Aku membutuhkan senso serta pendapatnya, sekalipun aku tidak yakin bakal setuju dengan pendapatnya. Yang pertama, karena Kang Saif terkenal menyukai bau duit, sehingga aku meyakini setiap solusi darinya pasti berbau duit. Mungkin dia juga akan menarik biaya sewa senso padaku.
Yang kedua, dia kenal salah seorang dokter di klinik dan kerap kali mencuri istilah-istilah kedokteran untuk disampaikan kembali kepada orang kampung. Kepada mereka yang anaknya deman terkena sawan, Kang Saif memberi tahu sebuah istilah, yang jika kusebut namanya, lidahku seolah-olah tidak mau dibuat lurus lagi. Kemudian dia menyarankan orang tersebut berobat ke klinik. Tetapi orang-orang kere seperti kami tentu lebih senang menukar uang dengan seliter beras atau beberapa butir telur ayam, ketimbang menukarnya dengan obat-obatan dari klinik.
Dan ketika baru sepuluh menit duduk di bale-bale teras rumahku, Kang Saif menyampaikan kalau Hasanah membutuhkan obat dokter. Brengsek! Tidak cukupkah hanya dengan menebang pohon randu saja?
Dia berkilah, “Menurutku ini bukan tentang pohon randu, Wi. Hasanah perlu diobati. Dokter di klinik bisa memberi solusi untuk segala jenis penyakit, bukan hanya sawan, bahkan penyakit gila.”
Sontak aku menyergahnya, “Hasanah tidak gila, Kang Saif! Orang gila mana bisa diajak bicara.”
“Lah, tapi dia suka ngamuk-ngamuk dan menangis sendiri. Lagi pula gangguan mental itu ada banyak macamnya, Wi.”
Mataku mulai terasa panas. Aku membuang muka, menjatuhkan pandangan entah ke mana. Sementara Kang Saif mengusap-usap wajahnya sendiri. Teras itu menjadi hening sehingga bisa kudengar dengung lalat yang sibuk menyanyikan kidung-kidung kematian di kandang ayam Bude Mirah.
“Ya sudah, Wi. Terserah kamu. Kabari aku jika kamu sudah mantap menebang pohon itu. Tidak usah pikirkan biayanya,” katanya kemudian, sembari mengamati daun-daun randu yang tampak masyuk bercumbu dengan angin.
Aku masih bergeming di bale-bale. Punggungku bersandar pada dinding kayu yang bergetar bersama kaca-kaca jendela, lantaran Hasanah membanting pintu kamarnya. Akhir-akhir ini dia memang hobi membanting pintu, terutama jika mendengar pohon randu akan ditebang.
Aku mengalami migrain berhari-hari akibat memikirkan penyebabnya. Lalu di suatu hari aku mengingat beberapa kejadian dan, entah apakah kejadian itu bisa dikaitkan dengan perubahan perilaku Hasanah ataukah tidak. Maka luangkanlah waktumu lebih lama dan dengarkan ceritaku baik-baik.
Tiga bulan lalu - sepulang sekolah - Hasanah demam tinggi. Kupikir demam itu membuatnya sulit tidur dan tidak nafsu makan selama beberapa hari. Aku hanya mengompresnya dengan air hangat serta membaluri tubuhnya dengan minyak kelapa yang kuberi potongan bawang merah. Kamu tahu berobat ke dokter membutuhkan uang tidak sedikit. Bude Mirah pun menyarankanku pergi ke tukang urut. Katanya, mungkin demam yang dialami putriku dikarenakan sakit badan. Tetapi aku mengabaikan, karena aku tahu tukang urut yang dimaksud Bude Mirah juga menyukai bau duit.
Pada hari keempat, Hasanah menghampiriku di ruang tamu. Suhu tubuhnya telah normal. Dia berkelakar, “Angin baru saja menyampaikan sebuah kabar, Bu. Ia berbisik di telingaku dan mengatakan telah menerbangkan demamku ke Kutub Utara.”
Maka, ketika itu kurasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Putriku hanya kelelahan. Namun, beberapa pekan setelahnya, Bude Mirah mengaku melihat putriku duduk bersandar di kaki pohon randu sembari berbicara sendiri dengan raut wajah gelisah. Bude Mirah mengira aku telah memarahi Hasanah, sehingga dia bersedih di sana.
Perempuan tua itu pun menasihatiku. “Anak yang sudah remaja jangan terlalu sering dimarahi, Wi. Dia akan memberontak lalu kabur.” Tetapi terang-terangan aku mengelak tuduhan tersebut.
Belakangan aku mengetahui perubahan perilaku Hasanah karena lelaki bernama Johari. Dia penjual kerupuk. Aku tidak menyukai kerupuk buatannya. Aku yakin kamu pun demikian. Sungguh konyol jika suatu saat putriku menyodorkan kerupuk Johari kepadamu, lalu kamu mengatakan, “Oh, terima kasih, Sanah. Kerupuk ini sangat lezat, renyah, dan bla bla bla.”
Omong kosong!
Aku memang suka makan kerupuk, tetapi tentu saja bukan kerupuk Johari. Aku tidak sanggup memakannya, walau sekadar membuat perasaan Hasanah senang. Sementara, putriku selalu berkata kerupuk Johari memberi pengaruh baik padanya, seperti obat penenang. Karenanya Hasanah mengaku tidak lagi merasa waswas, termasuk terhadap decak cecak di dinding.
Aku menduga, pertemuan pertama mereka terjadi di kaki pohon randu. Entah siapa yang memulai lebih dulu: Hasanah yang memanggil atau Johari yang menghampiri. Setiap kali kelopak mata Hasanah terlihat menghitam, dia akan berteduh di sana selama bermenit-menit, dan kembali ke kamar dengan perasaan lebih tenang. Entah bagaimana kebiasaan itu terjadi. Yang pasti, Johari telah menjadi tempat ternyaman bagi putriku, dan merebus darahku dengan api cemburu.
Pernah sekali waktu aku mencoba nimbrung duduk di bawah pohon randu agar Hasanah tidak terus jadi bahan gunjingan orang. Namun, aku seperti melihat burung hantu di matanya.
***
Waktu itu, pukul lima sore aku bersandar pada dinding kayu di ruang tamu, memerhatikan Hasannah yang berjalan mendekatiku. Rambutnya menyemak.
“Ibu suka warna merah, bukan? Kerupuk Johari ada yang warnanya merah. Aku mengambil satu untuk Ibu.”
Hasannah merebah di tikar, menindih pahaku dengan kepalanya lalu memerhatikan satu-dua cecak yang kerap menempel di dekat jam dinding. Dia bilang, cecak-cecak itu lebih bawel daripada Bude Mirah.
“Mereka sering mengancamku, Bu. Kurasa karena aku tidak pernah mau membagi kerupuk Johari kepada mereka. Menyebalkan!”
Aku bergeming.
“Kadang mereka meludahi kerupuk Johari, lalu mengatakan kepadaku agar memakan yang ada ludahnya. Cih! Aku tahu ada racun di dalam ludah itu.”
Pipiku mendadak basah.
Dia bertanya, kenapa aku menangis, tetapi aku masih bergeming. Dia juga menyuruhku segera memakan kerupuk yang dibawanya, sebelum direbut cecak. Tetapi dengan suara parau aku menjawab, perutku sudah kenyang.
Untuk beberapa detik dia tidak bersuara, hanya bangkit duduk memandangiku. “Sepertinya Ibu mulai pandai berdusta. Apakah Ibu pernah tahu rasanya kerupuk Johari?”
Lama aku terdiam memikirkan jawabannya. Pertanyaan ini sangat susah. Lebih susah daripada menghitung jumlah bintang di langit. Namun, aku khawatir gadis itu akan marah jika tidak segera dijawab. Maka aku menjawab, kerupuk itu rasa bawang.
Hasanah membanting gelas di sampingnya hingga pecah berserakan. Dia berkata setengah membentak, “Hari ini aku sedang tidak ingin mencium bau bawang. Membuatku ingin muntah. Kerupuk Johari itu rasa ikan, Bu. Aku tahu, sebenarnya Ibu tidak pernah benar-benar menyukai Johari, ‘kan?!”
Sejujurnya aku ingin bersabar lebih lama lagi, tetapi aku mendengar cecak berdecak seolah-olah mereka mengamini perkataan putriku. Dengan jantung yang nyaris melompat, aku memberanikan diri mencengkeram tangannya, meski gagal. Dia memberontak dan bersiap mengamuk lagi. Aku pikir, mungkin yang dikatakan orang ada benarnya. Putriku telah gila atau mungkin juga penunggu pohon randu telah menguasainya. Karena itu, aku pikir sudah saatnya bersikap tegas.
“Johari tidak nyata, Sanah! Dia tidak pernah ada.”
Hasannah pun menjerit dan menjambaki rambut semaknya. Terhuyung dia berjalan memepet sudut dinding, lalu menjatuhkan bokongnya di lantai. Dia duduk sambil memeluk lutut. Pandangannya kosong. Namun, perlahan dia bangkit meski masih terhuyung.
Aku bilang kepadanya, “Persetan dengan Johari dan kerupuknya itu! Rasa bawang, udang, atau ikan asin, Ibu tidak sudi lagi berpura-pura memakannya.”
Maka sore itu, kubuka pintu dapur lalu berteriak kepada Bude Mirah. “Temani aku ke rumah Kang Saif, Bude!” (***)
Balikpapan, 28 Desember 2020
------------------------------------------------
AYNA INDIERA. Ibu empat anak berdarah betawi. Cerpennya pernah dimuat di Koran Tempo, Blog Lokerkata, dan buku antologi Musim Terbaik. Penulis dapat dijumpai di akun Facebook @Ayna Indiera, Instagram @AynaIndier atau email Emakketjeh86@gmail.com.
Ilustrasi: Bizman