Cerpen

title

Langit Tidak Hitam


Penulis: Djumri Obeng | Posting: 10 Agustus 2021

Pondoknya dikelilingi gunung, hutan, dan bukit-bukit, dan disitulah dia lahir pada empat puluh tahun yang lalu untuk kemudian di situ pula barangkali dia menyerahkan napasnya yang penghabisan kepada Tuhan.

Pagi ini, ketika umurnya masih tetap empat puluh tahun, lewat seorang perempuan yang berkampung di sebelah gunung di bahagian hilir, yang di sana bukan saja dikenal sebagai janda yang baik karena dapat menguasai nafsu kejandaannya, tapi dikenal pula sebagai perempuan cekatan kerja yang bangun pagi-pagi ke hutan penebangan rotan, wadah separo penduduk desa hilir menggantungkan hidup mereka di samping mendulang di anak kali yang dialiri air dari gunung-gunung.

Dengan janda baik ini dia sudah lama kenal baik dan keduanya sama-sama pula menyimpan hati yang baik.

“Lucina!” dari atas tangga dipanggilnya perempuan itu dan yang dipanggil berhenti tidak begitu jauh di depan kaki tangan pondoknya.

“Tahukah engkau Lucina, malam kemarin aku didatangi dua ekor beruang. Itu tandanya panen padiku akan menyenangkan.”

Bagi penduduk desa di tanah Daya, kata beruang lebih kecil nilainya dari gigitan seekor ular dan di sana binatang itu lebih mudah diusir dengan obor menyala daripada memburu langau-langau yang menghisap padi. Karena itu Lucina tidak menunjukkan takut yang berlebih-lebihan pada wajahnya yang bujur telur itu dan dengan mata sipit diliriknya lelaki di atas tangga, lalu menjawab.

“Umpamanya aku mati dirobek-robek beruang, apa yang kau buat terhadap binatang itu?”

Sambil duduk dan menjuntaikan kaki ke anak tangga, membalas, “Tidak kuapa-apakan, Lucina.”

Diam sejurus. Dipandangnya wajah perempuan itu, kemudian, “Kalau kumati apa yang kaubuat?”

“Kalau binatang itu hidup dan kau mati, aku mau diterkamnya.”

“Lucina!”

“Hmm?”

Naik kau sebentar!”

Perempuan itu memijak anak tangga satu-satu dan setelah keduanya duduk di pelataran buluh, melepaskan tantaran kail ke atas atap ilalang, si lelaki melanjutkan.

“Sebulan lagi rotan-rotan di hutan sebelah sudah tak bisa lagi ditebang. Harus diadakan peremajaan dalam waktu yang lama.”

“Apa yang kaupikir sesudah itu, Lucina?”

Mata sipit Lucina menekuri ilalang kering di bawah pondok yang akan dijadikan atap oleh si lelaki.

 “Apa, Lucina? Apa yang kaupikir bila rotan-rotan di hutan sebelah sudah tak bisa ditebang?”

Lucina tersentak seperti dibangunkan tiba-tiba dari kenangan indah yang ingatnya lewat gunung dan bukit-bukit.

“Aku ingat Samuel,” jawabnya.

“Samuel?”

“Tempat ini mengingatkan aku pada Bukit Golgota tempat Yesus disalibkan.”

“Kenapa?”

“Samuel selalu menceritakan nabi-nabi padaku saat kami menjelang tidur.”

“Aku tidak tahu cerita nabi-nabi seperti Samuel suamimu, bukan?”

Si perempuan belum menjawab, lelaki itu mendahului, “Apa agama bagimu, Lucina?”

“Kau?”

“Orang tuaku tak pernah sembahyang seperti engkau.”

“Kau?”

“Aku mau katakan asal kau mau mengatakan apa agama bagimu.”

“Setelah aku mati diterkam beruang… “

Memutus, “Jangan begitu Lucina! Harapkanlah kematian tidak sengeri yang kau bayangkan. Beruang tidak membunuh manusia.”

“Lalu?”

“Karena setelah kumati aku mengharap dunia yang lebih indah dari hutan-hutan di sini.”

“Aku lain lagi. Bagiku hutan, gunung, dan lereng-lereng bukit di sini adalah dunia paling indah yang belum pernah kulihat dan kurasakan.”

“Tapi, engkau mau sembahyang, bukan?”

“Apa gunanya sembahyang, Lucina?”

“Dengan sembahyang orang mengharapkan dunia yang lebih indah.”

“Cuma itukah yang dikatakan suamimu, Samuel? Lalu kalau tidak sembahyang kita tak dapat dunia yang indah? Itu salah besar, Lucina! Sebab masih banyak cara lain yang lebih baik dan terpuji untuk mendapatkan dunia yang indah.”

“Tapi. ..,“ sanggah perempuan itu sambil menyandarkan belakangnya ke tiang bambu, “tapi sembahyang adalah keharusan yang lebih besar dari segala perbuatan baik dan terpuji.”

Lelaki itu diam. Si perempuan diam dan unggas beterbangan di atas padi membunting.

“Timborna.. . !“ lelaki yang dipanggil namanya memalingkan wajahnya sebentar ke arah Lucina, kemudian melemparkan matanya ke puncak gunung-gunung berbaris wadah matahari setiap pagi di sana.

“Aku mau kita pergi Timborna, aku mau kau pindah dari sini. Nanti kita sama-sama ke gereja tiap minggu. Tempat ini begitu sepi untuk engkau sendiri.”

“Aku sudah bilang Lucina, aku sudah bilang bahwa aku tak mau meninggalkan tempat ini. Kau tahu Lucina?” Dan sambil menunjuk ke lereng bukit di barat, meneruskan dengan berat, “kau tahu Lucina, orang tuaku terkubur di sini. Aku lahir di sini, besar di sini dan bumi di sini adalah dagingku. Hendak kau pindah ke mana dagingku, Lucina?”

Dia duduk. Melanjutkan penuh perasaan, “Hutan, gunung, dan bukit-bukit di sini adalah dunia paling indah yang belum pernah kulihat dan kurasakan. Hendak kau bakar duniaku yang indah ini, Lucina?”

“Aku cinta engkau, Timborna!”

“Kau mau di sini demi cinta yang kaukatakan itu?”

“Kau mau sembahyang, Timborna?”

“Sembahyang?”

Dia menunjuk lagi ke lereng bukit, kemudian melanjutkan seperti bercerita, “Dua manusia yang terkubur di sana tak bisa dilepaskan warisan kepercayaan mereka kepada manusia yang kauhadapi sekarang. Orang tuaku menyembah pohon dan mengajarkan padaku untuk membunuh binatang. Karena dalam pohon dan binatang terdapat roh-roh suci yang memelihara kehidupan kami. Kami percaya pada kekuatan alam dan itulah sebabnya aku tak mau pindah dari sini, menjauhi alam yang memberi hidup padaku, walaupun di tempat seluas ini tinggal aku seorang.”

Dia menunjuk ke arah sepetak sawah.

“Lihat, Lucina. Padi-padi membunting dan itulah kemurahan hati roh-roh yang kami sembah.”

Perempuan itu tak menjawab dan setelah lama tak menjawab katanya, “Aku tak bermaksud meruntuhkan kepercayaanmu, Timborna.”

“Aku mengerti. Tapi, aku sudah yakin bahwa roh suci hanya ada pada pohon dan binatang. Itulah sebabnya aku tak mau membunuh dua ekor beruang yang datang ke pondokku ini.”

“Seandainya binatang itu membunuhmu?”

“Aku sudah bilang bahwa itu tidak akan terjadi.”

Lucina diam, dan dalam diam terdengar suara Timborna berkata lemah, “Tapi, Lucina,” didekatinya perempuan itu dan sambil memegang pundak Lucina, “tapi, Lucina, meskipun kita berlainan kepercayaan, aku tetap cinta padamu dan kuperistrikan engkau seandainya kita punya keyakinan yang sama.”

***

Sepeninggal Lucina, lelaki itu duduk di atas tangga, mempermainkan asap rokoknya ke atas kepala dan awan hitam di timur menutup matahari yang tadi menyala. Sedangkan ungags-unggas tidak banyak yang beterbangan di atas padi membunting. Semua ke hutan, ke gunung, atau ke lereng-lereng bukit.

“Timborna,” panggil Lucina suatu hari lagi.

“Apa yang akan kau lakukan, Lucina?”

Si perempuan tunduk menekuri lantai pelataran bambu.

“Kau menangis, Lucina?” Timborna bertanya ketika dilihatnya mata perempuan itu mulai mengaca.

Serak suara Lucina, menjawab.

“Perasaanku tak enak sejak kemarin. Entah apa akan terjadi aku tak tahu.”

“Jangan percaya pada perasaan, Lucina! Menurutkan perasaan sama dengan menafsirkan hal yang bukan-bukan.”

Lucina menatap awan tebal di timur dan si lelaki membujuk.

“Pulanglah engkau, Lucina. Langit mulai hitam. Sebentar lagi. hujan turun.

Lucina tetap diam.

“Lucina! Meskipun pohon-pohon sudah tak bisa ditebang, sering-seringlah kau kemari. Dan besok aku mencari hutan rotan untukmu, sewaktu-waktu bisa aku menolongmu menebang rotan.”

“Timborna! Alangkah baiknya hatimu. Baik Timborna, aku pun pulang dan esok aku kemari membawa ikan yang ditangkap Ayah dari danau.”

Lewat tengah hanri hujan pun turun mendera, menyirami hutan dan lereng-lereng bukit.

***

Dan esoknya ketika Lucina datang lagi ke pondok itu membawakan ikan tangkapan ayahnya dari danau, dilihatnya di sana begitu sepi. Hutan, gunung-gunung, dan bukit begitu mati dan unggas-unggas tidak kelihatan beterbangan di atas padi membunting. Melihat itu Lucina cepat-cepat lari ke pondok.

“Timborna!” dia menjerit dan terus jatuh di atas tubuh Timborna yang tergeletak di dalam pondoknya. Seekor beruang tergeletak di sampingnya. “Timborna! Timborna! Kenapa engkau Timborna? Oh! Aku percaya padamu meski kita tidak punya keyakinan yang sama, Timborna.”

Dipegangnya pipi Timborna yang dingin mengembun dan seperti berbicara dia meneruskan, “Aku berdoa untukmu Timborna. Ya, Timborna? Ya?”

Langit di timur begitu bersih tiba-tiba dan di sana matahari memancarkan sinarnya, memandi padi-padi milik lelaki bernama Timborna.

“Wahai Bapa dalam surga! Peliharalah oleh-Mu akan lelaki bernama Timborna ini seperti Engkau memelihara anak-anak-Mu yang Kau kasihi.” (***)


Jakarta, Tahun Baru, 1964

Sumber: Sastra No. 3 Th. IV, 1964



DJUMRI OBENG. Lahir di Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur 21 Juni 1945, dan meninggal di Jakarta, 3 JuIi 1997. Tahun 1962 lulus dari Akademi Teater di Solo. Pernah menjadi redaktur Penerbit Wijaya, Jakarta (1962-1963), Balai Pustaka (1964), harian Suara Merdeka (1973-1980), majalah Citra Film (1981-1982), dan Iain-lain. la juga pernah aktif di Dewan Kesenian Kalimantan Timur. Karyanya tersebar di berbagai media massa, baik pusat maupun daerah, di antaranya di majalah Sastra, Sarinah, Selecta, Album Cerita, dan sebagainya. Sejumlah novel, novelet, cerita pendek, puisi, drama, ensiklopedi, dan karya jurnalistiknya banyak yang belum sempat diterbitkan. Di antara karyanya yang sudah dibukukan adalah Dunia Belum Kiamat (1964), Lembah dan Kasíh (1964), Dayak (1992), Merah Putih di Langit Sanga-Sanga (1995). Sejumlah karyanya telah disalin ke dalam bahasa Malaysia. Cerpennya “Langit Tidak Hitam” diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan diterbitkan dalam sebuah antologi karya sastra terpilih dan para pengarang terkemuka Indonesia.


Ilustrasi: Bizman

Share:
Cerpen Lainnya