Cerpen

title

Mandau Itu Menancap di Tembok Tahanan


Penulis: Kony Farhan | Posting: 24 Juli 2021

Mandau tanpa sarung bergetar. Menimbulkan suara berdesis. Lantas terbang mengitari ruangan. Mandau melesat ke luar rumah. Besi bergagang itu seolah ada yang mengendalikan, melesat melintasi pucuk-pucuk pohonan seakan mencari sasaran amarah membawa tulah. Ujungnya yang runcing menancap di tembok tahanan. Mata mandau bertumbukkan dengan mata lelaki pewaris mandau yang ada dalam ruang tahanan.

Lelaki itu terperanjat. Sesaat. Ia seperti berhenti bernapas.

Sang lelaki, anggota DPR, Ruslan SH, 38 tahun, membunuh orang?

Gara-gara pembagian duit di lembaganya yang tidak merata? Bukan. Ruslan di tepi Mahakam termasuk orang berada. Kekayaan dan warisan perkebunan sawit dan rotan puluhan hektare dan senantiasa berproduksi sepanjang tahun menghasilkan uang ratusan juta tiap bulan. Itu sangat tidak mungkin menjadikan pemiliknya nekat membunuh hanya lantaran uang.

Apa yang mendorong lelaki itu membunuh?

Sebilah mandau tua menancap di tembok tahanan berterali besi. Mandau milik Ruslan anggota DPR. Konon usia mandau lebih seabad. Pada besinya terlihat urat-urat bersusun menandakan besi mandau itu sudah tua.

Mandau merupakan peninggalan kakek buyut. Konon pernah digunakan melawan penjajah Belanda dan Jepang di Borneo. Telah beberapa puluh nyawa penjajah berakhir akibat tebasan mandau. Lima kepala penjajah Belanda terpisah bersamaan setelah menembak si pemegang mandau.

Menurut cerita juriatnya, mandau itu diberi nama Panglima Petir Taguh. Konon pula besinya terbuat dari bagian batang besi petir yang ditemukan saat gerhana matahari. Bila diperintahkan terbang oleh pemiliknya, mandau itu meluncur di udara mencari sasaran kemudian kembali ke tuannya.

Tadinya mandau dipelihara dengan baik oleh ayah Ruslan yang mewarisi mandau dari kakek Ruslan. Yang paling tidak ia lupa, ayahnya selalu memberi wewangian pada mandau tiap malam tertentu. Ayah meyakini mandau warisan yang dipelihara bisa mendatangkan tulah apabila diabaikan.

Ada rangsangan lain yang dirasakan ayah Ruslan tiap kali mewangikan mandau. Rangsangan itu melebihi rangsangan birahi. Seakan kenikmatan itu mengalir masuk ke tiap pembuluh darah. Ayahnya merasa terpuaskan. Ayahnya merasa cukup berteman hidup dengan mandau sepeninggal ibu Ruslan yang wafat 10 tahun lalu. Ayah Ruslan merasa telah melepas libido kelelakiannya tiap seminggu sekali mencumbui mandau dengan cara memberi wewangian.

Wewangian yang dilakukan ayahnya terhadap mandau, bisa melalui pengasapan dengan bakaran dupa dan kemenyan. Bisa pula dengan menelanjangkan besi tajam itu dari sarungnya. Mandau telanjang dicelup-celupkan ke rendaman air tujuh rupa bunga. Bisa pula dengan cara memijat-mijat besi mandau dalam waktu tertentu dengan minyak wangi pilihan. Berlama-lama ayah Ruslan memijati mandau sehingga aroma wangi menyebar.

Yang terasa ganjil menurut Ruslan adalah perbuatan ayahnya yang membawa berenang mandau lengkap dengan sarung menyeberangi Sungai Mahakam. Perbuatan itu dilakukan ayahnya tiap hari ketiga setelah Lebaran. Keganjilan itu pernah ditanyakan Ruslan.

“Untuk kau ketahui, Panglima Petir Taguh memiliki jiwa sebagaimana kita. Karena itu perlu dihibur melalui berenang di Mahakam di hari ketiga Idul Fitri,” jawab ayah Ruslan.

Rangsangan yang terasa nikmat tiap kali mewangikan mandau itulah yang membuat ayah Ruslan terus telaten. Mandau selain memiliki sarung yang tetap, oleh ayah Ruslan juga diberi pembungkus kain berwarna kuning. Tempatnya meletakkan mandau juga khusus, yaitu diletakkan di kelambu mini yang juga menggunakan kain tipis berwarna kuning. Di dalam kelambu diberi alas menyerupai kasur kecil. Pada bagian kepala mandau diberi bantal kecil dan selalu ditaburi bunga melati dan kenanga segar. Juga diberi penerangan lampu 5 watt kuning. Siang malam lampu itu dinyalakan, kecuali bila aliran listrik padam.

Selama telaten memelihara mandau, setahu Ruslan, ayahnya tenteram menjalani hidupnya. Tak pernah mendapat gangguan secara mental maupun fisik dari pihak luar.

Rumah Ruslan yang merupakan rumah warisan, tergolong paling mewah di lingkungannya. Hampir seluruh rumah terbuat dari kayu ulin. Kokoh. Di lingkungan tepi sungai Mahakam itu, rumah ulin itu yang paling besar.

Secara lahir, Ruslan seorang muslim, tetapi tetangganya jarang sekali melihat Ruslan pada hari Jumat menuju masjid. Hari-hari biasa pun dia tak pernah salat berjamaah di surau yang dekat rumahnya. Ia hanya pernah sekali mengundang warga syukuran secara Islam di rumahnya setelah ia terpilih menjadi anggota DPR setahun lalu.

Di ruang tamu rumahnya tidak terlihat penghuninya seorang muslim. Dinding di ruang tamu bersofa mahal itu hanya terdapat kalender bergambar wanita dan jam dinding. Selebihnya hanya dinding kosong tanpa ada simbol-simbol keislaman.

Ketika masih SMP, Ruslan dikenal lelaki yang penuh nyali. Teman-teman pria sebayanya tak ada yang berani mengusiknya. Pernah seorang pria yang tubuhnya lebih besar dibanding Ruslan menyinggung perasaannya, langsung tanpa basa basi Ruslan menghajar laki-laki itu hingga pingsan.

Demikian juga ketika SMA, berkali-kali Ruslan berkelahi dengan teman satu sekolah maupun dengan murid sekolah lain. Gara-garanya macam-macam. Ada yang hanya karena pertandingan bola antar murid sekolah. Ruslan menilai lawannya bermain curang, maka tangan dan kakinya yang bicara pada lawannya. Dan selalu saja Ruslan yang menjadi pemenang.

Ketika mahasiswa tahun pertama, ayahnya wafat. Namun itu tak mengurangi perangai Ruslan yang gampang terpancing emosi. Begitu hampir meraih sarjana, perangai itu sedikit bisa ia kendalikan. Lebih-lebih setelah ikut berpolitik. Ia mampu membawa sikap yang sedikit lebih santun pada orang lain dengan harapan mendapat simpatik. Pemilu lalu, ia masuk sebagai caleg. Atas kemampuan keuangannya, ia terpilih. Sikap santun itu terus ia perbaiki.

Awal yang membuat darah Ruslan mendidih hingga emosinya bangkit ketika rival politiknya membuat pernyataan terbuka di sebuah media lokal. Pernyataan itu menyebutkan Ruslan terpilih menjadi anggota dewan melalui cara merampas hak suara rekan satu partai dengan cara politik uang.

Dua hari setelah pernyataan dimuat media massa, selama itu pula Ruslan tidak terlihat hadir di gedung dewan. Selama dua hari itu, ia sering memandangi mandau warisan di rumahnya. Ia ingat mandau itu senantiasa diasah berlama-lama oleh ayahnya. Diberi wewangian dan disakralkan ayah.

“Ruslan, kau pewaris tunggal ayah. Mandau warisan juriat kita mesti dipelihara sebagaimana ayah memelihara. Sangat pamali diabaikan,” pesan ayahnya sebelum menghembuskan napas terakhir 7 tahun silam.

Ruslan tidak mengindahkan pesan ayahnya. Pada awalnya lelaki itu cukup telaten meniru kebiasaan ayah. Ketelatenan itu hanya bertahan sekitar 4 bulan. Ia kemudian sibuk dengan urusan organisasi dan studi. Lebih-lebih setelah menjadi anggota DPR. Mandau itu terabaikan. Dibiarkan di tempatnya tanpa pernah disentuh lagi.

Lelaki itu kini memandangi mandau. Berlama-lama. Pikirannya berkecamuk. Ada galau di dirinya. Ada rasa cemas menghinggapi pikiran.

Hari ketiga, amarahnya meraja. Amarah menggelegak yang sejak tiga hari lalu. Ia bergegas pergi ke pasar. Membeli sebilah belati. Belati diselipkan di balik baju, lalu ia pergi ke sekretariat partai. Di kantor itu, darah Ruslan tambah mendidih. Kemurkaan tak terbendung itu jebol ketika ia bertemu rivalnya.

Di ruang utama sekretariat yang cukup luas itu, Ruslan berdiri di ambang pintu, menatap tajam ke lelaki rival politiknya dan lima pria lain yang juga berada di ruangan itu. Ruslan membuka suara, “Bermain politik, baiknya terang-terangan!”

Tak ada yang bersuara. Tapi wajah pria rivai politiknya berubah seketika, menjadi pucat dan kaget. Pria itu beranjak dari tempatnya. Lantas beringsut, melangkah ke arah pintu keluar yang lain untuk menghindar Ruslan.

Ruslan langsung bereaksi memanggil nama pria itu. “Muhdi!”

Pria yang dipanggil membalikkan badan, menghadap ke arah yang memanggil. Ruslan dengan tajam memandang Muhdi yang usianya tak jauh beda dengan dirinya.

“Ikam nang kalajuan maulah pernyataan di media massa!” Suara Ruslan bercampur serak. Mata Ruslan kian berapi-api.

“Apa gerang maksud ikam? Kada usah sambarangan pandir!” Muhdi membalas dengan menggunakan bahasa daerah yang sama. Wajahnya ditekuk.

“Ikam kan yang membuat semua fitnah ini?” suara Ruslan bergetar. Di dalam dadanya ada gemuruh menghentak-hentak hendak menjebol pertahanan kesabarannya.

“Ikam kada usah bertanya lagi!” irama suara Muhdi turut meninggi. Emosinya ikut terpancing. “Kalau kau keberatan berarti apa yang ada dalam pernyataanku benar adanya!” tambah Muhdi.

Muhdi mengenal Ruslan yang gampang terangsang emosi. Namun ia tampak tidak takut. Dari ukuran tubuh, Muhdi jauh lebih kekar dibanding Ruslan. Selain itu Muhdi juga memiliki ilmu bela diri. Saat mahasiswa, ia pernah juara nasional bela diri.

Mendengar suara Muhdi, gelegak di dada Ruslan betul-betul muntah. Ia meloloskan belati. Dengan senjata terhunus di tangan kanannya, ia menyerang Muhdi.

Yang diserang sudah siap menerima serangan. Muhdi tentu tak akan mempunyai nyali kalau ia tidak memiliki modal yang cukup untuk sewaktu-waktu menghadapi amarah Ruslan. Dengan gerakan silat kuntau yang bertahun-tahun ia pelajari di pedalaman hulu Sungai Mahakam, Muhdi mampu menghindari tusukan belati yang mengarah ke lehernya.

Seluruh orang yang ada di sekretariat partai geger. Ruslan yang sudah menyatu dengan aroma hawa membunuh kembali menyerang Muhdi. Ruslan menerjang sambil menusukkan belati kea rah Muhdi. Muhdi kembali mencelat. Tusukan itu lewat di samping kiri pinggangnya.

Karena tidak menjaga keseimbangan, tusukan senjata di tangan Ruslan itu malah meluncur deras ke depan, dimana saat itu Rasid, pemuda putus sekolah yang dipekerjakan sebagai pembantu di sekretariat partai, berdiri membawa nampan berisi gelas kopi. Belati tepat menembus dada Rasid yang kerempeng. Anak 17 tahun itu roboh.

Melihat itu, bukannya menghentikan amukan, Ruslan terus menyerang Muhdi yang selalu siaga. Ruangan berukuran 6 x 8 meter itu betul-betul dipenuhi hawa membunuh yang dipancarkan oleh mata Ruslan. Orang-orang yang tadinya berada di dalam ruangan, semua bergegas keluar. Sedangkan Rasid yang terluka terus mengerang di lantai sambil memegangi dadanya yang tertembus belati. Pemuda itu meregang nyawa beberapa saat kemudian. Darah membasahi pakaiannya juga lantai di tempatnya terkapar.

Meski berkali-kali Ruslan menyerang, namun tak satu serangan pun dapat menyentuh kulit Muhdi. Tiap serangan yang dilancarkan Ruslan, secara ajaib mandau warisan yang tersimpan di rumah bergetar-getar seolah hendak bangkit. Padahal jarak antara rumah Ruslan ke sekretariat partai lebih 6 kilometer.

Selain bergetar, mandau itu juga mengirim aroma tak sedap ke dalam penciuman Ruslan. Lelaki itu tak menyadari. Nafsu membunuhnya yang kian meninggi mengalahkan penciuman. Ia terus mengamuk. Tapi tak satu serangan pun melukai Muhdi yang mahir memainkan kuntau Mahakam.

Nafas Ruslan terengah-engah. Ia tidak memiliki tenaga lagi setelah hampir lima belas menit mengamuk membabi buta. Pada kesempatan itulah, Muhdi dengan gerakan cepat memukul tengkuk dan ulu hati Ruslan secara telak, hingga pria itu tersungkur. Belatinya direbut dan dibuang ke luar ruangan.

Besoknya, semua media massa lokal menghias halaman utama dengan judul Amuk Anggota DPR, Satu Tewas. Lengkap dengan foto korban dan pelaku.

Dini hari. Ruslan dalam tahanan tak bisa tidur. Sejak siang ketika ia dimasukkan ke tahanan, lelaki itu bagaikan kehilangan kewarasan. Tatapannya kosong. Kadang menggeleng-geleng. Meremas-remas rambut. Menjelang malam ia sesunggukan. Sesudahnya terkekeh. Meracau. Hingga dini hari lelaki itu tidak juga memicingkan mata.

Sedang mandau warisan di rumahnya bergetar melebihi getaran ketika Ruslan mengamuk. Besi tua itu berdiri. Tegak. Berputar sejenak. Putarannya bagai gasing. Lantas mencelat ke luar dari sarungnya dan menembus kain kelambu. Mandau meliuk-liuk. Seperti menari di udara. Kemudian terbang menembus lubang udara rumah. Mandau meluncur melewati puncak pepohonan dan rumah penduduk.

Mandau terus meluncur. Berputar menuju ke ruang tahanan. Di dalam tahanan, Ruslan menggigil. Ia duduk bersandar ke tembok. Mata lelaki itu bertumbukkan dengan mata mandau. Pandangan Ruslan mengabur. Ada rintih. Gelap.

Paginya beberapa polisi menyaksikan mandau yang panjangnya sekitar setengah meter itu menancap di tembok tahanan. Tembok di sekitar mandau tertancap tidak mengalami retak. Tapi aroma tak sedap tercium. Aroma anyir. Polisi bergidik.

Mata mandau seperti mencari sasaran amarah tulah. (***)


Samarinda, Mei 2008


------------------------------------------------

Catatan:

Ikam nang kalajuan maulah = kamu yang terlalu cepat membuat.

Apa gerang = kenapa

Ikam = kamu

Kada usah sambarang pandir = tidak perlu sembarangan bicara

Ikam kada usah = kamu tidak perlu

Kuntau = pencak silat tradisional Kalimantan


------------------------------------------------

KONY FARHAN. Memiliki nama lahir Darkuni. Bergiat di bidang jurnalistik sejak di KalseI pada 1984. Lelaki yang dilahirkan di KaIsel 17 Agustus 1960 ini pindah ke Kaltim pada 1991 dan bekerja sebagai wartawan di harian lokal. Tahun 80-an adalah masa kreatifnya menulis cerpen dan cerber. Sejak di Kaltim masa kreatif itu terhenti lantaran kesibukkan di bidang jurnalistik. Di Banjarmasin sempat mengasuh halaman budaya Harian Dinamika Berita. Kemudian di Kaltim sempat mengasuh halaman seni Kaltim Post. Setelah mundur dari Kaltim Post tahun 2004, ia dipercaya memimpin redaksi majalah Garda Kaltim. Juga sempat mengasuh ruang sastra di Radio Antara News Samarinda.


Ilustrasi: Bizman

Share:
Cerpen Lainnya