Awal dari segalanya terjadi ketika mawar di sudut rumahku mulai bermekaran. Pagi itu sebelum kubuka mataku, telah tercium olehku bau harum bunga mawar. Di depan kaca kulihat istriku sedang mengatur beberapa tangkai bunga mawar di dalam jambangan. Diam-diam kuperhatikan dia.
Perkawinanku yang hampir menjelang satu tahun ini cukup membahagiakanku, walaupun perkawinan ini semua atas kehendak ibu. Kebahagiaan ini rasanya semakin bertambah, karena kini Mia telah mengandung hampir enam bulan.
“Bunga yang indah,” kataku. Tak kusangka kata-kataku itu membuat Mia terkejut dan menjerit kecil.
“Aw,” katanya sambil memegang ibu jarinya. Setangkai bunga mawar jatuh ke lantai. Segera kudekati dia. “Maafkan aku Mia. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu.”
Ibu jari tangan Mia yang mengeluarkan darah segera kusapu. Kuambil bunga yang terjatuh. Beberapa helai daun yang bunganya ada yang terlepas.
“Abang membuat Mia terkejut,” katanya dengan sedikit cemberut.
“Bukan begitu maksudku. Aku benar-benar mengagumi mawar ini, tetapi tentu aku lebih mengagumi wajahmu yang lebih cantik kalau cemberut.”
Mia jadi tersenyum dan berkata, “Bang, mawar itu sudah mulai berkembang. Mia rasa dalam waktu ini kita tidak akan kekurangan bunga. Tetapi... mawar itu kelihatannya kurang begitu menyukai Mia. Perkenalan pertama dimulai dengan tusukan di jari Mia.”
Mia lalu keluar kamar dan meneruskan pekerjaan di dapur. Kuambil handuk dan bermaksud segera mandi. Ketika kubuka pintu, terdengar suara benda jatuh dan pecah di ubin. Kutoleh ke dalam. Jambangan dan mawar itu telah jatuh dan berserakan bagaikan ditebarkan. Yang membuatku heran, setangkai darinya tergeletak di tempat tidur. Aku masih tertegun ketika Mia masuk. Dia memandang jambangan dan aku berganti-ganti.
“Jambangan itu jatuh sendiri, Mia,” kataku membela diri dari pandangan Mia yang seolah menuduhku.
“Bang, jambangan hadiah kita,” kata Mia dengan sedih.
“Tetapi, Mia, jambangan itu benar-benar telah jatuh sendiri. Mungkin mawar itu terlalu berat dan lagi kalau sudah pecah mau diapakan? Biarlah aku yang membersihkannya,” kataku lagi.
Mia kembali ke dapur dan aku mulai mengumpulkan jambangan dan mawar yang berserakan. Mawar itu kususun lagi di dalam jambangan yang lain lalu kutaruh lagi di depan kaca.
Kejadian itu segera kulupakan dan keheranan akan bunga mawar yang tergeletak di tempat tidur kusimpan sendiri di hati.
Tidak kusangka bahwa sejak hari itu bunga mawar itu banyak menyita perhatian kami. Waktu aku pulang dari kantor Mia telah menantiku dengan gelisah.
“Bang, jambangan itu telah pecah lagi. Setangkai pun tak ada yang baik. Semua daun bunganya telah terlepas.”
Mia penasaran sekali. Mungkin itu juga ulah si Manis. Tetapi, Mia sedikit heran melihat tingkahnya. Sebelum jambangan itu terdengar jatuh, Mia sedang di dapur. Tiba-tiba si Manis berlari ketakutan dari dalam terbirit-birit keluar rumah. Saat itulah jambangan itu terdengar pecah berderai. Lalu Mia intip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Jambangan itu hancur di sudut kamar. Sampai kini si Manis tidak kelihatan.
“Sudahlah, Mia. Jangan dipikirkan tentang bunga itu. Mungkin si Manis sedang mengejar tikus dan menabrak bunga itu.”
“Tetapi, Bang, kita tidak lagi mempunyai jambangan yang lain. Mawar itu setiap hari akan berkembang terus dan kita dapat memetiknya sampai punya jambangan yang baru.”
“Untuk sementara pergunakanlah gelas minum, sampai nanti hari Minggu kita bersama pergi mencari jambangan yang baru.”
Mia mengangguk perlahan. Bersama kami memandang rumpun mawar. Kuncupnya hampir banyak sekali yang bermekaran.
Ketika makan hal itu terlupakan sebentar. Waktu itu Mia memanggil si Manis untuk memberinya makanan aku menjadi heran ingat apa yang telah diceritakan Mia. Kucing itu tidak mau datang. Dia hanya memandang dari halaman rumah tetangga. Mata agak liar seolah agak ketakutan. Mia turun dengan piring di tangannya, tetapi kucing itu segera rnenjauh.
“Mungkin dia takut karena merasa bersalah,” kataku. Sampai malam si Manis tidak kelihatan.
Pagi-pagi keesokan harinya aku terkejut ketika Mia menggoncang-goncang tubuhku. “Bang, lihatlah, alangkah indahnya mawar yang bermekaran itu, Mia hitung ada tujuh. Sayang sekali kita tidak mempunyai jambangan.”
Benar kata Mia. Mawar itu telah telah berkembang dengan indah. Sudut rumahku telah menjadi begitu semarak oleh warnanya yang begitu kontras dengan warna tembok yang putih. Beberapa lama kami kagumi keindahannya. Bunga itu seakan mengerti. Dia bergoyang ditiup oleh angin pagi yang sejuk.
Siang, lagi-lagi Mia telah menantiku di depan. Mungkin Mia ingin memberi kejutan padaku, pikirku. “Bang, mawar itu tidak jadi Mia ambil. Ketika Mia akan memetiknya, Mia terkejut oleh sapaan seorang wanita yang tiba-tiba saja telah berdiri di samping Mia. Dengan memelas dia berkata, ‘Bu, berikanlah bunga mawar itu kepada saya. Saya sangat memerlukannya. Kepunyaan saya telah mati
beberapa waktu yang lalu.’”
“Petiklah,” kata saya. Mawar itu diambilnya semua. Ketika kuncup yang hampir mekar dipegangnya, timbul kesal Mia.
“Bu, saya rasa cukuplah itu. Tadinya bunga itu akan saya taruh di meja, tetapi tidak mengapa, asal bunga yang belum mekar jangan ibu ambil,” kata Mia. Dia memalingkan muka sedikit dan memandang saya dengan tajam. Matanya jadi menakutkan. Bergegas dia pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Mia jadi takut padanya. Ketika dia hampir terlindung, sakali lagi dia memalingkan mukanya. Begitu jauh dia, tetapi sinar matanya seolah menembus dada Mia.
“Biarlah, Mia, mungkin dia wanita yang kurang waras,” kataku menghibur. Kuncup yang hampir mekar kami hitung lagi. Masih ada lima. “Besok setelah membeli jambangan, baru kita petik, agar benar-benar segar,” kataku.
Mia lama termenung seolah memikirkan sesuatu. “Bang, alangkah indahnya bunga mawar itu kita letakkan di dalam jambangan berwarna hitam, akan kontras sekali dengan warna mawar ini,” kata Mia datar.
Mawar itu tidak kami perhatikan lagi sampai keesokan harinya. Pagi-pagi sekali kami telah bangun dan bersama-sama menuju jendela. Lima kuntum mawar telah mekar menyambut kami dengan baunya yang harum.
Mia sudah tidak sabar lagi ingin membeli jambangan yang baru. Setelah sarapan kami segera pergi. Lama Mía memilih, akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah jambangan yang berwarna merah, semerah mawar milik kami.
“Mari pulang, Bang. Mawar itu akan segera Mia petik.”
“Tetapi, kita belum pergi berbelanja untuk keperluan hari ini,” kataku.
“Mia hari ini ingin istirahat masak. Mia ingin mengatur rumah dan memandang mawar itu sepuas Mia. Hari ini kita beli saja makanan masak.”
Tingkah Mia agak lain, mungkin karena pengaruh bayi dalam kandungannya atau juga kejengkelannya pada wanita kemarin masih melekat di hatinya. Dan dengan menaruh bunga itu di jambangan, Mia merasa puas bahwa bunga itu telah menjadi miliknya seutuhnya.
Belum lagi kami sampai di depan rumah, Mia berkata setengah menjerit, “Bang lihat mawar itu. Mawar itu telah hilang.” Kami bergegas menuju rumpun mawar. Kuntum-kuntum itu telah dipatahkan dengan paksa, hingga banyak daunnya yang berjatuhan.
“Pasti wanita itu yang melakukannya,” kata Mia. Airmatanya mengalir di pipinya. “Besok kalau dia datang, akan Mia caci habis-habisan, dasar perempuan tak bermalu, sudah diberi mencuri lagi!”
Kubiarkan Mia menumpahkan kekesalannya. Aku ingin mengatakan bahwa belum tentu wanita itu yang melakukannya tetapi kuurungkan. Hal itu bisa mengakibatkan pertengkaran yang tak diinginkan.
Hari Minggu itu berlalu agak suram. Mia agak murung, mawar yang tadinya tak begitu kami hiraukan kini telah menjadi bagian dari kami dan tanpa kami sadarinya kami ingin mempertahankannya.
“Bang, besok pagi-pagi sekali Mia akan memetiknya agar tak didahului oleh wanita tak bemalu itu.” Malamnya, ketika akan tidur, Mia membawa jam yang ditaruhnya di samping tempat tidur. “Untuk apa, Mia?” kataku pura-pura bertanya. “Mia ingin bangun pukul lima pagi.”
Ketika jam berdering aku berpura-pura tak mendengarnya. Dalam kesuraman lampu kulihat Mia bangun. Dia memandangku sejenak lalu perlahan turun. Aku bermaksud menyusulnya karena tak tega membiarkan Mia keluar dalam keadaan gelap. Mia tentu tak langsung membuka pintu. Dia akan ke jendela sebentar karena dari sana akan terlihat jelas mawar itu diterangi lampu di sudut rumah.
Kakiku telah kupijak ke ubin ketika kudengar tangis Mia. Kukejar ke depan. Di depan jendela Mia menangis terisak-isak. Di sudut rumah, mawar yang kami harapkan telah bermekaran, telah tiada. Kuncup-kuncup yang hampir bermekaran pun telah direnggutkan. Yang tertinggal hanya beberapa kuncup yang masih kecil dan akan memakan waktu beberapa hari lagi baru mekar.
Hatiku panas. Segera kubuka pintu dan berlari ke depan. Masih lengang. Tidak seorang pun tak tampak di jalanan. Ketika aku masuk kembali, Mia telah pergi ke kamar. Kali ini dia tidak berkata apa-apa. Air matanya mengalir deras. Kudekati dan kupegang pundaknya. Tanganku segera ditepiskannya.
“Biarkanlah Mia sendiri.” Dia lalu merebahkan diri dan membelakangiku. Sampai aku pergi ke kantor Mia belum bangun. Ketika aku pulang Mia sedang termenung di jendela. Wajahnya sangat murung. Dia tersenyum sedikit menyambutku. Kulirik rumpun mawar. Tanah di sekelilingnya telah bersih dan diberi pagar.
“Mia yang melakukannya?” kataku.
“Ya, Mia ingin mempertahankan milik Mia dari siapa pun,” katanya datar.
Beberapa hari telah berlalu. Mia tampak tidak tenang dan selama itu kuncup-kuncup kecil sudah semakin besar. Susul-menyusul yang lainnya pada bermunculan. Hari kelima sesudah kejadian itu kuncup terakhir yang tersisa sudah hampir mekar. Besok pagi tentu telah berkembang. Mungkin karena diurus dan disiram Mia dengan rajin, kuncup mawar kelihatan terbesar dan terindah dari yang sudah-sudah. Sore hari ketika Mia kuajak melihat di halaman, dia seolah tidak begitu menghiraukan bunga itu. Dia hanya melihat dengan sekilas senyum yang seolah mengandung arti.
“Bila akan kau petik, Mia?” kataku. Mia mengangkat bahu sedikit sambil berkata, “Biarkanlah dia berkembang. Kalaupun dia memang milik kita, bila pun dipetik dia tidak akan hilang.”
Aku heran mendengarnya. Kegigihan Mia mempertahankan bunga itu seolah sirna hari ini. Tetapi, di samping itu wajahnya telah kembali cerah.
“Oh ya, Bang, si Manis telah kembali tadi. Mulanya dia agak takut masuk. Setelah Mia usap-usap dia kembali tenang.” Aku pun melihatnya tidur-tiduran di bawah meja. “Tetapi abang lupa, bahwa dia beberapa hari ini telah menghilang. Suatu pertanda yang baik bukan, Mia?”
Mia mengangguk perlahan dengan senyumnya yang manis. Malamnya Mia menyiapkan makan malam dengan cepat dan biasa. Sambil makan Mia mengatakan bahwa dia akan memetik bunga itu besok pagi.
“Kalau Abang bangun pasti Abang akan lihat bunga itu telah berada di dalam jambangan,” lalu terdengar ia melanjutkan lagi suaranya, “Bang, lihatlah si Manis, dia sedang menjilat-jilat badannya. Kata orang-orang tua, bila kucing sedang mandi, kita akan kedatangan tamu yang tak terduga.”
“Mungkin ibu akan datang menjenguk kita tanpa memberi kabar lebih dahulu,” kataku sambil memerhatikan si Manis.
Setelah makan kubantu Mia mencuci piring. Sambil berbenah Mia menyanyi kecil. Aku merasa berbahagia sekali malam ini senikmat-nikmatnya. Si Manis yang tak henti-hentinya mengusapkan kakinya dan tubuhnya ke kakiku kubiarkan saja.
Tak berapa lama Mia datang dengan secangkir kopi. Di talam kulihat pisau tergeletak. Kupandang pisau dan Mia berganti-ganti. Sebelum kutanya Mia telah berkata. “Bang, mawar itu akan Mia petik sekarang juga, sebelum wanita itu mendahului Mia. Sengaja tidak Mia katakan kepada Abang agar tak ada setan yang mendengarnya.”
Mia melangkah menuju pintu. Langkahnya semakin berat oleh perutnya yang semakin membesar. Angin dingin yang menusuk bertiup ketika pintu terbuka. Saat itulah si Manis berhenti meliuk-liukkan tubuhnya di kakiku. Dia mendesis dan menyeringai. Ekornya terjepit di antara kedua kakinya. Lalu dengan ketakutan dia berlari ke belakang.
Aku segera teringat cerita Mia, bahwa sebelum jambangan jatuh, si Manis pun berlari ketakutan. Perasaanku jadi tak enak. Segera kususul Mia. Dia masih terbungkuk-bungkuk memegang tangkai mawar. Kubantu dia memotongnya. Angin dingin mengusap tengkukku, hingga bulu kudukku berdiri. Kupandang ke sekelilingku, tiada sesuatu yang mencurigakan.
Lima tangkai bunga mawar yang hampir mekar telah berada di tangan Mia. Penuh kemenangan Mia masuk sambil tersenyum. Pintu segera kututup kembali dan bermaksud meneruskan membaca. Baru aku ingin mencari berita yang menarik, pekikan Mia terdengar nyaring disertai suara benturan yang keras. Segera kuburu ke belakang. Kudapati Mia terjatuh tertelentang ditindih kursi malcan. Alas meja makan dan beberapa gelas ikut tertarik bersama.
“Wanita itu... wanita itu, berdiri di sana, di depan kamar mandj!” Mata Mia melotot, kemudian terpejam dan dia lemah terkulai. Wajahnya pucat pasi. Segera kuangkat. Ya Tuhan, darah segar mengalir dengan deras membasahi bajunya. Darah itu menetes sampai ke kamar. Aku berlari ke pintu dan berteriak memanggil tetangga yang segera datang. Rupanya mereka telah mendengar jeritan Mia.
Ketika ambulans datang, Mia telah lemah sekali. Bagaikan mimpi apa yang telah terjadi. Semuanya seolah tak benar terjadi, hingga aku dapat sedikit tenang. Sambil dokter memeriksa, seribu khayalan bermain di benakku. Tak henti-hentinya aku berdoa untuk keselamatan Mia.
Ketika dokter mendekatiku, perlahan dia berkata, “Istri Anda terlalu banyak mengeluarkan darah. Kandungannya terganggu karena terpukul benda keras waktu terjatuh. Sayang sekali kami tak dapat menolongnya. Dia telah meninggal sebelum sampai kemari.”
Malam bahagia yang ingin kunikmati telah berubah menjadi malam yang begitu mengerikan. Tidak ada yang dapat aku lakukan selain menangis dan memeluk Mia sepuas hatiku. Akhirnya aku sadar, bahwa semuanya itu memang sudah takdir yang harus dijalani dengan tabah. Benar kata Mia. Tamu yang tal terduga akan datang. Ibu akan datang besok setelah mengetahui apa yang terjadi pada Mia.
Selama seminggu aku tidak keluar rumah. Pada hari ketujuh peringatan kepergian Mia aku baru memikirkan apakah hubungan antara kepergian Mia dengan mawar merah itu. Benar juga kata Mia. Mawar itu seolah tak menyukainya.
Atau, apakah pemilik pertamanya yang marah karena dulunya bunga itu kuambil tanpa seizinnya? Mungkinkah wanita yang selalu datang itu pemiliknya? Yah, besok sambil menjenguk Mia, aku akan ke sana. Aku masih ingat mawar itu telah kupatahkan dari sebuah makam ketika mengantarkan seorang teman yang meninggal. Mawar itu begitu menarik perhatianku karena warna bunganya yang merah menyala dan tumbuh subur menutupi batu nisan.
Agak lama juga baru kutemui makam itu karena pada makam itu tidak terlihat lagi bunga mawar yang segar. Yang terlihat batang cokelat yang telah mati dan daun kering yang bertebaran di sana-sini. Kuperhatikan tulisan pada batu nisan yang kini sudah tampak dengan jelas karena tidak terlindung oleh daun mawar lagi. Di sana tertulis: “Frida, 16 September 58 - 3 Maret 1983”. Wanita itu meninggal 3 bulan setelah perkawinan kami.
Badanku lemas sekali ketika membacanya. Terbata-bata aku berkata, “Frida, begitu tega kau lakukan semua ini. Akulah yang berdosa padamu, bukan Mia. Akulah yang meninggalkanmu. Mengapa semua kau balaskan padanya?”
Batu nisan itu kupegang dengan erat. Kesedihan begitu mencekam. Frida adalah bekas kekasihku yang dengan terpaksa kutinggalkan karena harus menuruti kehendak ibu untuk menikah dengan Mia.
Semuanya tak kusesali selain diriku sendiri yang tak punya pendirian yang teguh. (***)
-----------------------------------------------------
BACHRIN MASJHOER. Lahir di Long Iram, Kabupaten Kutai ( sekarang Kutai Barat) Kalimantan Timur, 13 Juni 1941, anak kelima dari 11 bersaudara. Pada usia lima tahun pindah ke Tenggarong, dan sempat bersekolah di HIS (Holland Indische School). Kemudian pindah ke Tanjung Setor, mengikuti ayahnya yang menjabat sebagai wedana. SMP di Tarakan dan diselesaikan di Samarinda, dan lulus SMA Jurusan Sastra (1960). Sempat kuliah di Universitas Mulawarman di Samarinda, namun terhentí ketika kesulitan ekonomi pada pra G3OS/PKI (1 963).
Sudah suka membaca sastra sejak SR (sekarang SD), namun menjelang usia 40 baru menulis di majalah Femina dengan nama samaran Barry K. Beberapa kali mengikuti sayembara di majalah tersebut dan selalu terpilih dalam 16 besar. Kemudian, atas dorongan Korrie Layun Rampan menulis di majalah Sarinah. Karya-karyanya dimuat dalam antologi Rinding Long Iram Air Mata Sawit Illegal Logging dan Kutai Barat dalm Sastra Budaya Indonesia yang dieditori Korrie Layun Rampan.
Sumber: Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia
Ilustrasi: Bizman