Perempuan paruh baya itu masih duduk mematung di turap beton sungai Mahakam. Wajahnya muram. Pandangannya lurus ke depan, menatap hampa Sungai Mahakam yang tenang. Tidak dia hiraukan riuh canda tawa para remaja yang berkelompok-kelompok menikmati suasana tepi sungai Mahakam. Ia juga bergeming tatkala rambutnya yang panjang dan kusut dipermainkan angin. Hanya mata sayunya saja yang sesekali mengerjap bila desir bayu merayap dari keluasan Mahakam.
Di ufuk barat, mentari telah tak berdaya dihela kuasa bumi ke balik perbukitan. Pendar jingga melukisi sebagian langit di belahan barat. Awan putih bergulung-gulung. Perahu-perahu bermotor bergerak pelan melintasi sungai. Begitu damai suasana petang itu.
Tapi tampaknya tidak bagi perempuan itu. Tiba-tiba wajah perempuan berusia sekitar 45 tahun itu berubah tegang. Nafasnya memburu dengan cepat, membuat dadanya berguncang. Matanya membelalak lebar. Ia bagai melihat sesuatu. Lalu.. “Dodi..! Dodi..!” Suaranya melengking tinggi. “Jangan pergi.. Tunggu ibu, Nak..” ratapnya ke arah sungai Mahakam. Airmata mengalir, membasahi kedua pipinya yang cekung.
Orang-orang yang melihat kejadian ganjil itu menatapnya heran. Ada juga iba. Sementara orang-orang yang sudah terbiasa menerima tingkahnya hanya acuh. Orang-orang ini sudah sering berada di kawasan itu.
Angin senja masih mengepak sejuk, tak lama lagi gelap akan sempurna mengepung kota. Perempuan itu telah kembali pada ekspresi semua. Diam seperti tadi; memandangi riak-riak sungai Mahakam, sambil memegang sebuah mobil mainan dari kayu.
***
Tepi sungai Mahakam yang baru saja ditata pemerintah merupakan lokasi nyaman untuk melepas kejenuhan. Banyak warga Kota Samarinda menikmati suasana petang atau malam sambil mencicipi makanan ringan yang dijual pedagang. Para remaja biasanya berkumpul berkelompok-kelompok. Bila musim liburan sekolah, Tepian Mahakam makin ramai dipadati remaja.
Di tempat inilah aku mencari rezeki untuk meringankan beban ayah yang hanya pegawai honor di kantor pos. Aku penjual minuman kopi di tepian sungai Mahakam. Sebagai anak sulung dan lelaki, aku ingin turut membantu menopang biaya pendidikan kedua adikku. Adikku yang pertama sebentar lagi masuk SMP. Yang kedua masih kelas tiga SD.
Aku sendiri tahun depan akan menyelesaikan SMA. Aku belum tahu apakah akan melanjutkan kuliah atau langsung bekerja. Aku tak mau membebani ayah. Sebaliknya aku sangat berharap kedua adikku yang bisa melanjutkan kuliah. Hasil berjualan kopi, setiap hari aku sisihkan sedikit untuk biaya pendidikan adik-adikku kelak.
Untuk mewujudkan harapanku itu, aku bersemangat setiap sore mendorong gerobak dagangan dari rumah menuju tepian Mahakam yang berjarak sekitar 300 meter. Gerobakku berisi termos besar berisi air kopi panas, meja kecil, bangku dan barang-barang keperluan lainnya. Lalu sekitar pukul sepuluh malam, aku sudah bersiap-siap pulang. Aku harus sudah tiba di rumah sebelum pukul sebelas malam. Ini peraturan ayah agar aku tidak mengantuk saat sekolah pagi.
Di tepian Mahakam inilah aku pertama kali bertemu perempuan paruh baya itu. Sekitar satu bulan yang lalu, saat aku mulai membuka usaha menjual kopi. Aku tidak tahu sejak kapan ia ada di tempat itu. Aku juga tak tahu tempat tinggalnya.
Menurut orang-orang yang lebih dulu berjualan di tepian Mahakam, perempuan yang lebih pantas kupanggil ibu itu, tidak waras. Aku dapat membenarkan ucapan itu setelah melihat dia menjerit-jerit; meneriakkan sebuah nama yang tidak diketahui banyak orang. Kadang ia meratap tanpa sebab. Setiap hari dia hanya duduk di turap beton tepian Mahakam sambil memegang mobil mainan dari kayu.
***
Saat menuju tepian Mahakam sore hari, aku menyaksikan pemandangan yang tidak menyenangkan. Aku melihat kedua tangan ibu tak waras itu ditarik paksa dua lelaki berseragam dinas. Ibu itu berusaha menolak dan melawan. “Ayo, ikut dengan kami dulu ya…” Kutangkap suara salah seorang lelaki itu, berusaha membujuk.
Tetapi ibu itu terlihat ketakutan. Ia terus meronta.
Aku tak tega dan mendekati kegaduhan itu. “Maaf, pak. Ada apa ini? Mau dibawa ke mana ibu ini?” sapaku.
Dua lelaki itu menatapku. “Mau dibawa ke panti,” ujar salahsatu lelaki agak acuh. Saat melihat emblem di pangkal lengannya aku baru tahu, kedua lelaki itu dari Departemen Sosial.
“Ibu ini keluargaku, kenapa harus dibawa ke panti?” ujarku tegas dan spontan. Aku asal bicara hanya untuk menyelamatkan ibu itu. Dua petugas itu sudah pasti tidak percaya.
“Kami dapat laporan warga, ibu ini tak punya keluarga dan sering duduk sendirian di tepi sungai,” ujar lelaki tadi.
Aku tak mau kalah. “Dia keluargaku,” tegasku lagi.
“Iya, dia keluarga kami,” suara ayah tiba-tiba muncul di belakangku. Ayah bersama beberapa temannya mendukungku.
Dua lelaki itu melepaskan pegangan dan ibu itu berlari ke arahku.
“Baiklah, bila memang ibu ini punya keluarga, tolong diawasi. Jangan dibiarkan berkeliaran dan jangan sampai mengganggu warga lain,” ujar seorang petugas.
“Dia tak pernah mengganggu orang lain. Biarkan dia di sini,” ujar ayah.
Kedua petugas itu lalu menuju mobil dinas mereka yang tak jauh diparkir. Sementara ibu itu bergegas memungut mobil mainan kayu yang terjatuh saat dia meronta. Lalu dia pergi begitu saja. Tanpa bicara. Dia kembali duduk di turap.
Aku tak terlalu memikirkannya. Aku harus segera menyiapkan daganganku. Ayah ikut membantu.
Kedatangan dua petugas Departemen Sosial itu, tak membuat ibu itu berubah sikap. Setiap hari dia masih saja duduk di turap tepi sungai Mahakam yang baru dibangun pemerintah.
Suatu malam ibu itu kembali menghadapi masalah. Dia diganggu tiga remaja laki-laki. Ibu itu tampak berusaha merebut kembali mobil mainan yang dirampas para remaja itu.
“Ayo ambil…” ujar seorang anak yang memegang mobil mainan. Ketika ibu itu mau mengambil, remaja itu melemparkan mobil mainan itu ke temannya. Kulihat ibu itu menjerit-jerit menangis.
Aku tak tega. Aku menghampiri dan menyapa mereka dengan sopan. Aku meminta para remaja yang seusia denganku itu menyerahkan mobil mainan milik ibu itu.
Tapi seorang dari remaja itu tampak tak suka ditegur. Dia malah marah-marah dan menganggap aku mau mengajak mereka berkelahi.
“Saya tak mencari permusuhan dengan kalian, saya hanya minta tolong mainan ibu ini dikembalikan. Kasihan dia…” kataku berusaha ramah.
“Memang dia apaan kamu hah?!” Salah seorang remaja mendorong bahu kananku. Dari penampilannya, terlihat dia anak dari orang kaya.
“Walaupun dia bukan ibu saya, tapi saya tahu apa yang mesti saya lakukan pada orang tua. Apalagi seperti ibu ini, yang sudah mengalami kesusahan..” belaku.
“Bangsat!” Anak bertopi di hadapanku melemparkan mobil mainan perempuan itu. Lalu melayangkan kepalan tangannya ke arah wajahku. Aku tak sempat menangkis dan mengelak. Rahang kiriku terasa sakit. Bibirku berdarah.
“Tadi aku sudah bilang aku bukannya mau sok jagoan atau mau cari gara-gara…” Ganti, kepalan tanganku meluncur ke muka anak bertopi itu. Anak bertopi itu meringis kesakitan.
Kedua temannya ingin ikut menyerangku. Tapi tak jadi begitu melihat pedagang-pedagang yang mengenalku berteriak-teriak meminta perkelahian dihentikan. Para pedagang melerai kami.
“Aku akan balas lain kali. Awas kamu ya..” ancam anak yang baru merasakan pukulanku. Mereka bertiga lalu berlalu menuju mobil mereka. Lalu meninggalkan tempat itu.
“Anak itu sering nongkrong di sini dan memang sombong. Mentang-mentang dia anak orang kaya lalu seenaknya saja memperlakukan orang lain. Memang semua orang bisa dibeli dengan uang,” oceh kawanku yang tadi ingin membantu.
“Aku senang kau memukul anak itu. Biar dia tahu rasa. Kau tak perlu khawatir kalau mereka datang lagi bersama tukang-tukang pukulnya, kami akan membantumu.”
Aku tak menanggapi ucapan kawanku itu. Aku berlalu menuju tempat daganganku. Aku ingin membereskan daganganku karena sudah lewat pukul 10 malam. Tanpa kusadari, ibu itu mengikutiku. Aku baru sadar ketika suaranya kudengar. “Terima kasih ya..” ujarnya.
“Terima kasih untuk apa, bu?” tanyaku.
“Karena telah menolong ibu.”
“Ah, gak apa-apa, Bu..”
Aku kaget. Orang yang selama ini dicap tidak waras itu masih tahu berterima kasih. Apakah dia memang tak waras? Atau hanya orang-orang saja yang menganggapnya tak waras. Aku membatin, banyak orang mengaku waras tapi kelakuan mereka tak waras, seperti remaja-remaja tadi.
***
Sejak kejadian itu, ibu itu selalu mendekatiku. Bila aku mulai membuka dagangan, dia turut membantu. Begitu pula saat aku ingin pulang. Aku sendiri makin hari makin merasa ibu itu tidak sepenuhnya gila.
Walau begitu, ia masih suka duduk di turap sungai dan menjerit-jerit menatap sungai. Aku sudah beberapa kali bertanya mengapa ia sering menjerit dan nama siapa yang dia teriakan itu. Tapi tiap kali kutanya, dia cuma diam, lantas pergi untuk duduk menyendiri di turap tepian Mahakam. Aku tak ingin lagi menanyakan hal itu. Aku takut kesedihannya muncul kembali.
Suatu malam, tatkala aku ingin pulang, ibu itu menghampiriku. “Bolehkah ibu menginap di rumah Roni malam ini?” pintanya.
Aku tak langsung menjawab. Menolak keinginannya bisa membuatnya makin tak waras. Juga tidak berprikemanusiaan. Kupikir tak ada salahnya memberi tumpangan hidup padanya, tapi pandangan ayah bisa jadi berbeda.
“Saya tak bisa menjawab sekarang Bu, karena saya tinggal bersama ayah dan adik-adik saya,” kataku.
Perempuan itu mengerti.
Ayahku ternyata tak sulit kuberi pengertian, walau mulanya dia sempat kaget ketika mendapati aku pulang bersama ibu berpakaian lusuh itu. Ayah mengizinkannya tidur di paviliun kecil yang selama ini menjadi tempat menyimpan barang-barang bekas termasuk keperluan daganganku.
Ibu itu senang sekali. Lebih-lebih ketika aku menghadiahinya pakaian bekas almarhum ibuku. Ia tertawa kecil begitu mengenakan pakaian itu. Pakaian itu pas dengan ukuran tubuhnya. Usia perempuan itu tak terlalu jauh dari ibuku yang meninggal dunia saat berusia 42 tahun.
Tetapi, baru dua hari perempuan itu menginap di paviliun rumahku, para tetangga sudah bergunjing tidak menyenangkan. Keluarga kami dianggap ikut tak waras.
Perempuan itu mengerti masalah yang dihadapi keluarga kami. Hari itu dia tak kembali ke rumah kami. Dia kembali ke tepian Mahakam. Saat malam dia tidur meringkuk di emperan kantor.
***
Suatu malam aku bertemu seorang lelaki tua yang mengenal ibu itu. Dia kebetulan mampir untuk minum kopi di tempat usahaku. Dia dulu bertetangga dengan ibu itu. Dari lelaki ini aku tahu nama perempuan itu Mariati.
Bu Mariati dan suaminya berasal dari Jawa. Bu Mariati membawa seorang anak menetap di Samarinda karena mengikuti suaminya yang sudah bekerja dua tahun di perusahaan pengolahan kayu di Samarinda Seberang. Saat dibawa ke Kota Samarinda, anak pasangan ini masih berusia 8 tahun.
Setelah 3 tahun menetap di Samarinda, musibah mulai menimpa Bu Mariati. Suami Bu Mariati mengalami kecelakaan kerja di perusahaan kayu. Dia tertimpa kayu log yang akan diangkut ke pabrik pengolahan. Setelah sempat koma di rumah sakit, suaminya akhirnya meninggal dunia.
Bu Mariati sangat sedih. Dia berusaha keras untuk tabah dan tak ingin anaknya ikut larut dalam kesedihan. Dia mempunyai tanggung jawab harus terus membesarkan anak tunggalnya yang kala itu sudah berusia 11 tahun. Sebelum meninggal, suaminya sempat berpesan agar merawat anak itu sebaik-baiknya.
Tetapi, Bu Mariati tak bisa mengelak takdir berikutnya. Dua tahun setelah kematian suaminya, anaknya menyusul sang ayah. Kematiannya mengenaskan, sang anak tenggelam ketika berenang di sungai Mahakam bersama teman-temannya. Ia terbawa arus sungai Mahakam. Jenazahnya tak ditemukan, meski sudah dilakukan pencarian.
Jiwa perempuan itu terpukul hebat. Hatinya hancur. Ia merasa telah ingkar pada pesan suaminya. Kali ini dia tak bisa menerima tragedi kehidupannya. Sejak kejadian itu, dia sering duduk di turap tepian Mahakam. Bu Mariati merasa anaknya masih hidup. Ia yakin sang anak akan pulang. Dia pun selalu membawa mobil mainan yang disukai anaknya. Sudah 5 tahun dia menunggu sang anak.
“Apakah Bu Mariati mempunyai kerabat pak? Supaya ada yang bisa merawatnya,” tanyaku kepada lelaki tetangga Bu Mariati itu.
“Dia tak punya kerabat di sini. Kalaupun ada pasti bukan di daerah ini. Warga tak ada yang tahu. Mana ada juga warga yang mau mengurusi orang gila. Merawat orang itu butuh biaya, Nak!” ujarnya.
Aku terdiam. Pandanganku kulemparkan pada perempuan yang sedang duduk di turap itu. Hatiku tiba-tiba tersentuh. Aku dapat merasakan kehilangan seperti yang dirasakan perempuan itu. Aku ingat ibuku. Aku pun merasakan kehilangan ketika ibuku meninggal dunia saat aku berusia 9 tahun. Ibu pergi tatkala melahirkan adikku yang bungsu. Ibu mengalami pendarahan hebat waktu melahirkan.
***
Suatu malam, tiga hari setelah peristiwa pergunjingan tetanggku, Bu Mariati datang saat aku membuat kopi untuk pelangganku. Dia menyodorkan mobil mainan dari kayu kepadaku. Juga sebuah bunga sepatu berwarna merah. “Untukmu, simpanlah baik-baik,” ujarnya, seraya tersenyum
Kuterima bunga itu. Dia sekonyong-konyong memelukku. Aku diam saja. Begitu melepas dekapan, kulihat wajahnya sangat bahagia. Airmatanya menetes. Aku tahu, airmata itu karena ia tengah bahagia. Aku tak tahu apa yang telah terjadi padanya.
Esoknya aku tidak lagi menemukannya di tepian Mahakam. Aku tidak tahu ke mana dia pergi. Aku berharap dia telah dirawat orang lain. Aku berdoa dia sudah bertemu kerabatnya.
Mendadak aku disergap rasa kehilangan. Bu Mariati telah menyentuh hatiku yang selama ini mendambakan kasih sayang ibu. Aku ingin menanyakan keberadaannya pada setiap orang, tapi aku enggan. Apakah aku takut bakal dicap tak waras?
Aku tersadar dari lamunan tentang Bu Mariati ketika kulihat di tepi sungai orang-orang terlihat gaduh. Orang-orang berbondong-bondong ingin melihat sesuatu. Terdengar seperti ada orang tenggelam.
Aku turut menghampiri. Aku menyibak kerumunan orang yang menontoni tubuh tak bernyawa itu. Aku terperanjat begitu mengenali wajah pucat itu. Dia Bu Mariati. Dia mengenakan pakaian ibuku.
Aku hanya mematung. Hanya bisa menatap tubuh pucat itu. Hatiku menangis. Aku paham mengapa Bu Mariati sangat bahagia pada malam itu. Aku teringat mobil mainan dan bunga sepatu yang diberikannya malam itu. Bunga itu telah layu di meja belajarku. (***)
Samarinda, Desember 1993
-----------------------------------------------------
MUKHRANSYAH. Wartawan di Kaltim. Pengurus Jejaring Madah Etam dan Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur.
Ilustrasi: Bisman Nainggolan