Mengapa aku benci Pak Hartono? Dengar saja percakapan berikut.
"Kamu tinggal di mana?"
"Jalan Juanda gang Mawar, Pak?"
"Rumah sendiri?"
"Ngontrak, Pak."
"Menabunglah. Sedikit demi sedikit. Rumah itu penting selain makan minum. Seorang lelaki, harus punya rumah."
"Perempuan tidak perlu?"
"Perempuan ikut suami. Bukan suami ikut istri. Hehehe."
"Ya sih, Pak."
"Rumah itu adalah lambang perlindungan. Lelaki adalah pelindung bagi perempuan, bagi istri dan anak-anak. Kalau ada lelaki, maksud Bapak suami, tidak punya rumah, berarti dia belum mampu melindungi istri dan anak-anaknya."
"Kalau suami belum mampu, boleh saja kan mengontrak?"
"Kalau lelaki berani menikah, berarti berani melindungi istri dan anak-anaknya."
"Tapi itu kan bukan syarat. Tidak ada dalam aturan agama."
"Lahan boleh sempit tapi tetap harus punya rumah walaupun tiga S."
"Maksud Bapak?"
"Sederhana dan sangat sempit. Hehehe."
Aku tak nyaman dengan obrolan hari ini. Kata-kata Pak Hartono seakan menyindir. Memang, hingga sekarang aku masih mengontrak. Sudah delapan tahun aku lulus jadi sarjana. Aku guru honor pada sebuah SMK swasta.
Sebenarnya, aku punya rumah tapi itu rumah warisan almarhum ayahku. Aku yatim piatu. Ibuku lebih dulu berpulang, dua tahun sebelum ayah pergi selama-lamanya. Ayah yang segar bugar pergi karena serangan jantung.
Sebulan sebelum ayah meninggal, dia memanggilku secara khusus dan menjelaskan bahwa rumah yang kami tempati sekarang diwariskannya kepadaku.
Aku biasa saja mendengar ucapan ayah. Aku malah menyatakan banggaku padanya yang senantiasa rajin berolahraga, menjaga makan dan kebersihan rumah serta kebugaran tubuh.
"Umur siapa yang tahu. Sebelum tiba saatnya, lebih baik kusampaikan amanahku. Adikmu sudah punya rumah yang ayah wariskan saat dia baru saja menikah. Apalagi rumah itu juga tidak dia tempati karena ikut suaminya. Jadi, bila sampai waktunya ayah pergi, inilah rumahmu," ujar ayah.
Rumah kami sangat besar. Kamar tidur empat, satu di antaranya punya kamar mandi di dalam. Rumah itu kukontrakkan. Uangnya kutabung untuk membangun rumah yang lebih sederhana.
Perhitunganku begini. Kalau rumah warisan itu kugunakan, betapa beratnya memelihara dan biaya operasionalnya. Pekarangannya luas. Delapan ratus meter persegi. Listriknya 5000 watt. Letaknya di tepi jalan raya. Bising.
Selain biaya perawatan mahal, aku tidak betah karena suara kendaraan. Di luar faktor itu, jujur, sebagai guru honor, aku belum mampu untuk membiayai listrik, air dan perawatannya. Lebih baik kusewakan karena ada perusahaan ekspedisi yang berani menyewa dengan harga tinggi.
Dalam hubungannya dengan lamaranku, apa hebatnya mengatakan sudah punya rumah tapi rumah warisan? Ya, kan?
Rupanya, obrolan dengan Pak Hartono itu berbuntut panjang dalam hidupku. Itu adalah isyarat. Dia sudah membaca gelagat bahwa aku jatuh cinta pada anaknya. Lamaranku belum diterima karena aku masih ngontrak. Bah.
"Bukan ditolak, Bang. Belum diterima."
"Sama saja! Cara orang tua menolak lamaran itu macam-macam. Ada yang mengatakan anaknya belum dewasa, belum pascasarjana, dirapatkan dulu dengan keluarga besar, beda suku bangsa nanti hidup bakal banyak perbedaan. Ayahmu menolak karena aku belum punya rumah. Titik."
"Jangan putus asa. Berusahalah."
"Berapa sih gaji guru honor? Kamu kan juga guru honor? Tahu kan berapa uang yang kita terima?"
Mursidah binti Hartono, adalah sahabatku sama-sama kuliah. Aku jatuh cinta padanya. Dia juga mengaku cocok dengan diriku.
Penolakan ayah Mursidah membuat aku kecewa. Aku tak pernah bertamu ke rumah itu lagi. Aku menjaga jarak dengan Mursidah.
Aku berhenti jadi guru honor. Dengan tabungan yang ada, aku pindah ke Balikpapan. Jaraknya hanya 120 km dari Samarinda. Kutinggalkan kenangan pahit manis kota kelahiran, tempat aku dibesarkan, tempat sebagian teman-temanku berada.
Berat tapi aku mencoba terus bertahan. Dengan tabungan yang ada, yang semula akan kugunakan untuk memulai hidup baru jika saja dikabulkan, kugunakan untuk berusaha. Aku memilih buka warung bakso dengan dua karyawan.
***
"Selalu sehat ya, Bang."
"Jangan lupa makan. Hidup bukan untuk makan tapi makan perlu untuk hidup."
"Ayah bertanya, mengapa Abang tidak pernah ke rumah lagi."
"Sudah dua tahun Abang di Balikpapan. Tidak pernah pulang ke Samarinda. Tidak kangenkah? Aku kangen lho, Bang."
"Aku tahu Abang membaca pesanku meski tidak membalasnya. Asal Abang tahu saja, aku tidak berubah."
"Ayah masuk rumah sakit. Bantu doa ya, Bang."
Aku tidak memblokir nama Mursidah. Aku baca setiap pesan yang dia kirim. Aku tak pernah membalasnya. Dua tahun, aku bertahan dengan sikapku. Tak akan aku peduli pada Pak Hartono pun pada Mursidah, kekasih hatiku. Masa bodoh. Terserah, apakah Mursidah masih mencintaiku atau tidak. Apakah Mursidah harus menikah dengan lelaki lain atau tidak. Oh tidak. Tidak. Jangan. Aku masih mencintainya. Aku belum bisa berpaling. Bukan belum tapi tidak bisa. Ti-dak bi-sa!
Aku tenggelam dalam usaha membesarkan warung bakso. Sudah tiga cabangnya. Jadi empat dengan warung yang pertama. Aku tidak dapat diremehkan lagi. Kalau sekadar rumah tipe 70, aku bisa beli kontan. Tidak, rumah tidak penting. Membuka cabang di Samarinda jauh lebih penting.
"Punya rumah bukan ukuran, bukan target, bukan standar pengusaha. Itu standar Pak Hartono. Standar konsumtif. Standar kaum hedonis. Pengusaha itu standarnya beda. Aku pengusaha. Jangan remehkan aku walaupun hanya usaha jualan bakso. Omzet warung bakso dengan tiga cabang Rp 160 juta per bulan. Laba bersih 30 persen." Bisik batinku. Bukan pongah. Ini kenyataan.
Aku menyesal mengapa tidak dari dulu berwirausaha. Seandainya dari dulu, pasti aku tidak diremehkan sebagai lelaki. Tapi nanti dulu, bukankah karena lamaran ditolak, aku jadi pengusaha? Bukankah penolakan itu adalah tantangan sekaligus jalan sehingga usahaku berkembang?
Aku bergegas ke Samarinda. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun. Bukan semata untuk bertemu Mursidah. Meminta maaf pada Pak Hartono jauh lebih penting.
Penolakan Pak Hartono bukan kata akhir. Bukankah dia hanya menunda. Bukankah penolakan itu adalah tantangan. Lelaki macam apa aku ini kalau tidak ditantang?
"Mbak Mursidah dan Ibu di rumah sakit, Mas. Sudah seminggu." Bu Suprihatin, asisten rumah tangga menjelaskannya saat dia membukakan pintu dan aku memberondongnya dengan pertanyaan.
Setengah berlari aku menuju ruang rawat inap yang diisi 2 orang. Aku diperbolehkan masuk.
Mursidah terkejut saat melihat aku datang. Aku menyalami ibunya. Wanita penyabar itu malah mengusap-usap kepalaku. Masya Allah, serasa hadir lagi almarhumah ibu di depanku.
Kulihat mata Pak Hartono terbuka. Mungkin dia terganggu oleh suara yang tidak biasa. Bukan suara Mursidah, bukan pula suara istrinya.
Tubuhnya yang kurus kulihat tak berdaya. Dia memintaku mendekat dan memberi isyarat agar Mursidah membantunya duduk dan meminta bantal untuk dijadikan tempat bersandar.
"Alhamdulillah kamu datang. Berapa kali aku bertanya pada Mursidah mengapa kamu tak pernah lagi main ke rumah," bisik Pak Hartono dengan suara lirih.
"Maafkan saya, Pak."
"Ibu sering sakit. Rematik. Penyakit orang tua. Yang menyedihkanku adalah Mursidah. Dia sering sakit. Sakit tidak biasa. Bapak sudah lama hidup. Bisa membaca, mengira dan merasa."
Aku terenyuh.
Pak Hartono yang sedang sakit justru menumpahkan isi hati yang prihatin karena istri dan anaknya sakit-sakitan. Dia lupa, dirinya lebih sakit karena harus diopname.
Kulihat Mursidah tersipu dan segera menyembunyikan wajahnya dengan cara pura-pura sibuk membersihkan peralatan makan.
"Katanya kamu pindah ke Balikpapan?" Tanya Pak Hartono.
"Ya, Pak."
"Buka usaha?"
"Ya, Pak."
"Bagus itu. Semoga lancar. Sukses dan berkah."
"Amin. Makasih, Pak. Semoga Bapak segera sehat."
"Kedatanganmu membuat aku sehat. Sudah lama aku ingin bertemu. Aku minta maaf karena ucapanku tempo hari melukai hatimu."
"Tidak pernah, Pak."
"Kamu tidak perlu menyangkal. Aku keliru. Rumah bukan tempat perlindungan. Allah adalah sebaik-baik perlindungan. Sekarang, aku sakit. Rumah tidak bisa melindungiku, kan?"
Pak Hartono batuk. Aku meraih segelas air putih dan memberikan pada lelaki yang mulai hari ini kuanggap ayahku sendiri.
"Mursidah mencintaimu. Aku ingin kalian menikah. Aku ingin menyaksikannnya sebelum habis umurku."
Aku terkesiap. Begitu terus terang. Tiba-tiba dinyatakan oleh Pak Hartono yang sedang sakit. Jatuh air mataku. Kugenggam tangan lelaki yang sudah kuanggap ayahku sendiri. Kucium tangan itu. Serasa hadir almarhum ayahku di sini.
"Bapak perlu istirahat yang cukup. Maaf saya mengganggu Bapak."
"Aku sudah mulai pulih. Mursidah bercerita bahwa engkau tak membalas setiap pesannya."
"Maafkan saya, Pak."
"Mursidah anak semata wayangku. Aku sedih mendengar keluhnya. Kamu melupakan dia?"
"Sama sekali tidak, Pak."
Pak Hartono mengerlingkan matanya pada Mursidah. Aku mengikuti arah matanya. Kulihat Mursidah tertunduk. Mungkin dia tidak menyangka ayahnya yang lemah dan hampir tidak pernah berbicara selama sakit justru berkata-kata yang membuatnya salah tingkah.
Mursidah tidak berani menyela kata-kata ayahnya. Dia anak yang penurut. Patuh dan mampu menjaga harkat dan martabat ayah dan ibunya.
"Maafkan Bapak. Mungkin ini tidak lazim. Umur tidak berbau. Tidak ada orang tua yang tidak ingin membahagiakan anaknya. Kalau kamu tidak suka lagi padanya, katakan saja. Tidak ada masalah. Setiap orang boleh menentukan pilihannya. Sebagaimana kamu telah menentukan Mursidah sebagai calon istrimu. Tapi itu dulu. Aku tahu. Aku tidak menolak. Aku hanya menunda karena ingin memastikan anakku dapat perlindungan. Aku..."
"Maafkan saya, Pak." Aku tak kuat lagi mendengar kalimat-kalimat Pak Hartono. Kupeluk dia yang sedang bersandar dengan bantal di punggungnya. Aku menangis.
Pak Hartono menepuk-nepuk pundakku. Kepada Ibu Mursidah, kunyatakan permintaan Maafku. Juga pada Mursidah.
***
Aku mengurus memindahkan ruang rawat inap Pak Hartono ke ruang VIP. Ruang VIP terdiri atas ruang rawat inap pasien, ruang keluarga pasien dan ruang tamu. Tiga ruang dijadikan satu.
Minggu, 24 Januari 2021, - atas izin direktur rumah sakit - aku memulai hidup baru. Pak Hartono, yang duduk di atas kursi roda, menikahkanku dengan anaknya, Mursidah binti Hartono. Disaksikan penghulu, kerabat dekat dan adikku beserta suaminya.
Kunikmati malam pertama pengantin baru di ruang rawat inap. Di samping ranjang ayah mertua, Pak Hartono dan ibu mertua, Bu Sabariah.
"Tidurlah di kamarmu, Nak," ujar Pak Hartono. Pukul 02.15 ayah mertua, Pak Hartono, terbangun dan melihatku masih duduk di sisi ranjangnya. Kepada Allah aku berdoa agar ayah mertuaku segera disembuhkan karena Allah adalah sebaik-baiknya tempat berlindung. (***)
-----------------------------------------------------
SYAFRUDDIN PERNYATA. Lahir di Loa Tebu, Tenggarong, Kabupaten Kutai (kini Kutai Kartanegara), 28 Agustus 1958. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi Surat Kabar Sampe (1978-1999). SeJumlah karyanya pernah diterbitkan dalam buku antologi Merobek Sepi (penerbit Dewan Kesenian Samarinda), Secuil Bulan di Atas Mahakam (penerbit Dewan Kesenian Samarinda) Antologi 3 Cerpenis Kalimantan Timur (penerbit Pustaka Spirit), dan lain-lain. Dia menulis buku tentang motivasi dan novel berlatar kearifan lokal. Bukunya sebagai penulis tunggal (nonantologi) antara lain Harga Diri (kumpulan cerpen), Belajar dari Universitas Kehidupan (motivasi), Ujar Mentor (motivasi), Ujar Mentor jilid 2 (motivasi), Nanang Tangguh & Galuh Intan (novel), Aku Mencintaimu Shanyuan (novel) Zulaiha (novel), Aku Bulan Kamu Senja (novel), Awan (novel), Ratih Tanpa Smartphone (novel), Digdaya (novel) dan lain-lain.