Malam sudah merambat tua, lewat pukul 11.30 Wita, namun kota masih tampak hidup dan segar. Kendaraan masih banyak yang berseliweran. Pun orang-orang di trotoar. Di beberapa warung pinggir jalan orang-orang asyik ngobrol. Sementara semua orang tadarus Alquran dari masjid-masjid bergema mengaluni malam. Malam-malam pada Bulan Ramadan memang seperti tak kenal larut.
Kulirikkan mata pada kaca spion di atasku. Tinggal dua penumpang, sesudah itu pulang dan istirahat. Letih sekali aku malam ini, berjam-jam duduk menyetir di dalam angkot (angkutan kota). Untungnya itu tak sia- sia, hari ini banyak penumpang. Kebanyakan dari mereka berbelanja kebutuhan Lebaran yang tinggal 4 hari lagi. Terutama kebutuhan akan pakaian.
Aku pun begitu. Kebetulan ketika penumpang kosong, awal narik seusai berbuka puasa tadi aku melewati Kompleks Pertokoan Citra Niaga, lalu terlintas dibenakku ingin membuat kejutan untuk anak-anakku. Aku ingin membelikan mereka pakaian. Kebetulan penghasilanku hari ini lumayan. Biarlah kuambil sebagian. Masalah bensin atau setoran bisa kuambil simpanan uang di rumah. Yang penting aku harus bikin kejutan buat anak-anakku.
Sebenarnya aku dan istriku sudah sepakat berbelanja kebutuhan besok, tapi biarlah kebutuhan lainnya saja besok. Menurutku kejutan adalah sesuatu yang sangat mengesankan; sebuah kegembiraan yang mendadak meledak. Aku suka itu.
Dengan berjalan kaki, aku putar-putar sebentar di kawasan pertokoan ternama di Kota Samarinda itu. Berjubel dengan orang banyak. Lalu kulihat ada pakaian anak laki-laki yang menarik. Potongannya bagus, dan sedang digemari anak-anak sekarang. Anakku pernah mengutarakan keinginannya kepadaku ketika ia melihat anak-anak lain mengenakan pakaian seperti itu. Anak-anakku pasti menyukai pakaian ini. Dapat kubayangkan wajah mereka yang berseri-seri takkala mengenakan pakaian itu di hari Lebaran.
Setelah pilih sana-sini, kubeli dua stel pakaian. Harganya ternyata tak terlalu mahal. Aku lalu teringat anakku yang perempuan, ia tentu ingin pula mendapat pakaian baru. Aku harus adil terhadap anak-anakku. Aku tak ingin hanya karena beda perlakuan, tenggang rasa antarsaudara yang selalu kutanam pada anak-anakku hancur.
Anakku ada empat orang. Yang sulung Atma, laki-laki, sekarang duduk di kelas empat SD. Dialah harapan yang kelak menggantiku, melindungi keluarga, karena itu aku ingin pintar dan tangguh. Yang kedua juga laki-laki, Tino, anakku yang paling bandel sekaligus cerdas. Duduk di kelas tiga, satu sekolah dengan kakaknya. Kemudian Wiwi, perempuan, yang menurutku mewarisi keuletan ibunya. Baru tahun lalu ia masuk sekolah. Dan yang bungsu Sutomo, karena lahir bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional. Syukur-syukur kelak ia bisa jadi orang yang berguna bagi bangsanya, seperti tokoh kebangkitan nasional Raden Sutomo dan Wahidin.
Saat ini, aku memang merasa sebagai bapak yang beruntung, mempunyai anak-anak yang manis dan sehat, walau aku jarang bersama mereka. Pekerjaanku yang banyak menyita waktu – sebelum sopir taksi aku buruh bangunan- memang tak memungkinkanku banyak dekat dengan anak-anakku. Lebih-lebih kerjaanku yang sekarang, waktuku banyak kuhabiskan di belakang setir. Pulang mengaso sebentar, makan atau berbuka puasa, mengantar jemput anak-anak sekolah. Begitulah sopir taksi, besarnya penghasilan ditentukan banyak sedikitnya penumpang yang kutarik.
Dilihat dari tingkah mereka, kurasa anak-anakku mengerti bapaknya cari uang buat mereka juga. Dan itu tak lepas karena asuhan dan didikan istriku. Aku bersyukur diberi Tuhan istri yang baik dan setia. Dia tak pernah mengeluh sekalipun hidup kami susah. Ia tahu aku tak bisa memberi kebahagiaan materi, namun secara batiniah aku tahu ia bahagia. Aku turut bahagia dalam kebahagiaannya. Bahagia dalam kebahagiaan keluargaku.
Ah, sedang apakah istri dan anak-anakku saat ini? Istriku pasti tengah menjaga si kecil sambil nonton televisi, menungguku pulang. Anak-anakku? mungkin mereka sudah pulas kecapaian sehabis tarawih karena nanti sahur mereka bangun lagi. Anakku Atma dan Tino memang sedang kulatih berpuasa. Tidak dengan paksaan tentu saja. Kalau mereka tak tahan ya silahkan berbuka. Sedangkan Wiwi seringnya cuma ikutan bersahur, tanpa ikut puasa.
Jadi kapan aku bikin kejutan buat anak-anakku? Apa nanti saja, setelah makan sahur kuberikan dengan tiba-tiba pakaian baru mereka. Ah, tidak. Itu kurang mengejutkan. Atau begini; kutaruh saja di dipan dekat mereka tidur masing-masing, sehingga begitu terjaga mereka akan memekik girang dan berkata ”dari mana pakaian ini?”. Aku akan berkata dengan sikap pura-pura tak tahu dan turut kaget, ”mungkin dari Tuhan. Apakah sebelum tidur kalian berdoa kepada-Nya?”
Anak-anakku pasti tahu bapaknya ngibul. Wiwi akan menerjang pundakku. Atma dan Tino merangkulku erat-erat. Dan aku mengap-mengap akan rasa terima kasih mereka. Kelak mereka mengerti semua itu memang dari Tuhan.
Mudah-mudahan mereka juga mengerti akan kasih bapaknya. Aku ingin mereka bahagia di hari Lebaran tahun ini, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya mereka cuma menontoni teman-teman mereka pamer pakaian dan sepatu baru. Maklumlah ketika itu aku masih buru bangunan dengan upah harian. Upah yang kuterima tidak seberapa. Cuma cukup buat gali lubang tutup lubang; hari itu dapat uang, hari itu juga habisnya. Jadi jangan harap bisa membelikan anak-anakku pakaian baru. Memang ada sedikit yang kutabung, tapi itu untuk biaya sekolah anak-anak dan kontrakan rumah.
Aku turut sedih serta iri juga melihat kegembiraan anak-anak lain, sementara anak-anakku hanya pasrah dengan keadaan apa adanya. Berulang kali sudah aku menghibur anak – anakku (mungkin juga diriku). ”Pakaian baru hanya menunjukkan ’kebersihan’ yang tampak dari luar. Sesungguhnya yang lebih utama dalam berlebaran adalah hati yang bersih, laksana bayi baru lahir, karena baru saja memenangkan ’pertempuran’ selama satu bulan,” kataku saat itu dengan mengutip sedikit khotbah salat Ied tahun lalu.
Mereka manggu-manggut. Aku tahu mereka tak mengerti. Mungkin juga bosan mendengan ucapanku – yang sesungguhnya lebih cenderung menutupi ketidakberdayaanku sebagai kepala rumah tangga. Mereka masih anak-anak, belum mengerti sepenuhnya arti kebahagiaan. Yang melekat di benak mereka kebahagiaan Lebaran itu berupa pakaian baru, sepatu baru, suasana baru, makanan yang banyak dan enak–enak laksana pesta.
Dan, Tuhan rupanya tak ingin membiarkan keluargaku menelan kesusahan seperti itu yang berlarut-larut. Kira–kira setahun lalu seorang sahabat, yang takkan kulupakan jasanya, menawarkan pekerjaan sebagai sopir angkot. Dia sopir angkot juga. Dulunya aku sering ikut dia ketika sedang bekerja. Dari dia pulang jadi bisa menyetir mobil.
Aku sudah tentu dengan senang hati menerima tawarannya. Inilah saatnya aku mengubah kehidupan keluargaku. Langkah persiapan awal yang kuambil adalah menyempurnakan kemahiranku mengemudi. Lantas dengan pinjaman biaya sahabatku itu pula aku mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi). Dan setahun lalu jadilah aku sopir.
Jadi sopir angkot bukan berarti enteng, tanpa risiko. Dalam mengemudikan angkot dituntut keawasan mata. Bagaimanapu letihnya dilarang keras mengantuk, karena ini menyangkut keselamatan penumpang yang jadi tanggung jawab sang sopir.
Aku sudah kenyang mendengan kecelakaan yang dialami sopir – sopir angkot. Karena lengah atau mengantuk angkot selip, masuk parit besar, menabrak pohon, atau menabrak kendaraan lain. Penumpang cidera, dan mungkin juga pihak yang ditabrak. Sedang si sopir angkot ’bangkrut’ harus ganti kerugian sana-sini. Ada pula angkot yang menabrak pejalan kaki hingga tewas, sementara sang sopir masuk penjara...
”Belok kanan, Pir!”. Seorang penumpang menyentakkan lamunanku hingga buyar. Aku membelokkan angkot memasuki jalan kecil yang sepi ”Oke, berhenti di sini!” perintah yang lainnya dengan nada kasar, bersama dengan sesuatu yang dingin menempel di leherku, belati!
Aku mengikuti perintah. Aku tak berani mengambil risiko dengan taruhan nyawa yang cuma satu–satunya diberi Tuhan.
”Matikan mesin!” akupun mematikan mesin. Lelaki yang berjaket hitam membuka pintu dan menyuruhku keluar dari angkot. Ia membawa belati, aku tak bisa apa-apa. Begitu aku keluar temannya langsung sibuk membongkar laci mobil, dan menguras seluruh penghasilanku hari ini. Aku cuma bisa menelan ludah melihat semua itu.
”Mengapa kalian melakukan ini. Kita sama-sama orang susah, janganlah begini. Kalau kalian ingin merampok, silakan rampok orang kaya yang hartanya tak terhitung lagi. Saya nggak bakal peduli....” Sebuah bentakan dan tamparan keras di wajah membungkamkan mulutku. Hati dan rahangku terasa pedas.
Temannya keluar dari dalam angkot setelah menguras semua yang kumiliki. Termasuk..... pakaian anak-anakku. Aku menelan ludah lagi. Kali ini disertai mengerasnya rahangku. Mataku mendadak berair. Aku teringat lamunanku barusan. Haruskan aku membuyarkan kebahagiaan anak-anakku?
”Jangan diambil pakaian anakku! Pakaian itu tak bernilai buat kalian!” keberanianku tiba-tiba lepas.
Si Jaket Hitam yang mengawalku tersentak.
”Jangan ambil pakaian anakku, Bedebah!” bentakku lagi.
Satu pukulan keras tahu-tahu melayang kewajahku. Aku terjengkang ke belakang. Terduduk. Di saat itulah pandanganku tertumpuk pada sepotong balok kayu yang cukup panjang dan kuat di dekatku. Aku bersemangat. Kuraih kayu itu, lalu bangkit dengan segera. ”Ayo kemari, Bangsat!” tantangku dengan posisi siap bertarung.
Melihat balok kayu di tanganku lelaki berjaket hitam itu tampak keder juga, ia mundur dua langkah. Sedangkan temannya mengurungku di belakang. Berdua mereka mengitariku. Aku jadi agak sukar memantau gerakan mereka.
”Jangan coba-coba melawan kami, Pak!” dia mencoba menggertakku. Mereka pikir aku akan gentar?! Balok kayu itu kupegang kian erat.
Lelaki berjaket hitam yang berada di belakangku sekoyong-koyong menyerangku. Aku cepat mengayunkan balok kayu, dan mengenai lengannya. Dia meringis kesakitan. Rasakan balasanku!
Yang seorang lagi rupanya memanfaatkan kelengahanku, belatinya merobek punggungku. Tidak terlalu dalam, namun terasa pedih. Dengan luapan emosi menggelegak aku berbalik menyerangnya. Ketika belatinya terlepas dan ia terdesak, aku justru makin larut dalam amarah. Balok kayuku bertubi-tubi menghantam lelaki muda itu. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa lawan yang kuhadapi ada dua orang. Aku baru sadar ketika sebuah tikaman bersarang di perut sebelah kiri. Darah mengalir dari perutku yang bocor.
Aku lalu roboh. Dalam pandangan mengabur kulihat bajingan yang menusukku kabur dengan membimbing temannya yang luka parah. Aku terus bertahan, ditemani bayangan anak-anakku yang gembira di hari Lebaran. (*)
Samarinda, 28 Maret 1995
Catatan:
Kompleks Citra Niaga adalah kawasan perbelanjaan di kota Samarinda yang banyak menghimpun pedagang-pedagang kecil. Sebelum mal dan plaza hadir di Samarinda, kawasan ini menjadi primadona masyarakat Samarinda.
MUKHRANSYAH. Wartawan di Kaltim. Menulis puisi dan cerpen untuk media massa pada kurun waktu 1990-1996. Pengurus Jejaring Madah Etam dan Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur.
Ilustrasi: Bizman