Sura bangkit dari tempat duduknya. Melangkah ke teras rumah. Mukanya berkerut. Sepasang matanya menatap jalanan dengan gelisah. Ia menarik napas berat, kemudian masuk kembali ke rumah.
Dia meraih sebungkus rokok di atas meja, mengambil sebatang, lalu dengan tangan gemetar menyulutnya. Ini rokok kedua sejak kedatangannya sejam yang lalu.
“Ranti pasti jalan-jalan lagi dengan lelaki brengsek itu!” geramnya.
Satu jam lalu dia pulang kerja dan mendapati pintu rumah petaknya terkunci. Tetangga sebelah memberi tahu Ranti, istrinya sedang pergi dan menyerahkan kunci rumah yang dititipkan istrinya. Di dalam rumah, dia menemukan secarik kertas di atas meja makan.
“Aku pergi berbelanja sebentar, bila mau makan lauknya ada di dalam lemari.” begitu bunyi tulisan di kertas itu.
Nafsu makannya yang bergolak saat bekerja tadi, mendadak sirna. Ia menyesal tadi buru-buru ingin pulang. Ini sudah kedelapan kalinya dia mendapati Ranti tidak di rumah sepulang ia bekerja di pabrik plywood.
Sebagai suami adalah sangat menyenangkan baginya sewaktu pulang kerja selalu disambut istri dengan senyum. Melayani dan menemaninya makan siang. Sementara ia akan bercerita hari-harinya selama di pabrik plywood; tentang Rusdi yang jemarinya putus digilas mesin atau tentang beberapa buruh yang kena PHK. Dulu, istrinya kerap menemaninya makan, namun sejak beberapa bulan lalu tidak lagi.
Perubahan istrinya itu berawal empat bulan yang lalu, tatkala istrinya bertemu Rodi. Waktu itu, ia dan istrinya sedang jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Bagi keduanya adalah sebuah keasyikan tersendiri melihat perabotan rumah yang indah dan mewah yang tak mampu mereka beli. Di tengah keasyikan itu seorang lelaki menegur Ranti. Ia mengaku bernama Rodi. Ranti tak keburu mengenali. Begitu mengenali, dia terpekik girang.
Rodi adalah teman Ranti ketika di SMA. Selesai sekolah, Ranti tak melanjutkan pendidikan. Sementara Rodi melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka beberapa kali masih sempat bertemu. Setelah Rodi melanjutkan pendidikan ke luar negeri 10 tahun silam, mereka berdua tak pernah bertemu lagi.
Berbeda dengan Ranti yang dari keluarga miskin, Rodi berasal dari keluarga kaya, sehingga ia mempunyai banyak kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan hingga ke luar negeri. Selain itu, sebagai anak laki-laki tunggal, Rodi diharapkan bisa menggantikan kedudukan bapaknya memegang perusahaan yang waktu itu sedang berkembang.
Sekarang Rodi telah berhasil memajukan perusahaan keluarganya. Dari istrinya, Sura tahu bahwa perusahaan Rodi yang bergerak di industri makanan telah berkembang. Yang dulu wilayah pemasarannya hanya sebatas dalam negeri, sekarang meluas sampai ke beberapa negara di Asia dan Timur Tengah. Malah, menurut Ranti, Rodi sekarang sedang sibuk menangani proyek besar; membangun hotel berbintang yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggal mereka.
Sayangnya, keberhasilan usahanya itu tidak diikuti keberhasilan Rodi dalam membina rumah tangga. Setahun yang lalu Rodi bercerai dengan istrinya. Kedua anak mereka yang masih kecil ikut bersama sang istri.
“Mungkin lantaran semangatnya yang teramat besar bagi kemajuan perusahaan, dia tak lagi memerhatikan kehidupan rumah tangganya,” komentar Sura, suatu saat di depan Ranti.
“Kasihan Rodi,” Ranti hanya menanggapi singkat.
Dari sikapnya, Sura tahu istrinya sangat mengagumi Rodi. Sura tidak ingat apakah waktu mereka pacaran, Ranti pernah menyebut-nyebut Rodi. Tapi sejak bertemu Rodi di pusat perbelanjaan hari itu, Ranti selalu bercerita tentang Rodi. Bahkan sering memujinya.
“Rodi itu orangnya hebat ya, Bang. Sudah sukses, baik pula. Dia bilang banyak kenal dengan pejabat tinggi. Katanya mereka sering makan malam bersama. Yang hebatnya, dia masih mau bergaul dengan kita, orang kecil. Orang yang sudah besar biasanya ‘kan enggan memikirkan orang kecil,” ujar Ranti suatu hari, tatkala Rodi baru saja singgah dan menghadiahi mereka sebuah televisi.
Rodi memang sering mampir dan membantu kehidupan mereka, karena kebetulan pembangunan hotel yang sedang dikerjakannya tak jauh dari tempat tinggal mereka. Biasanya bila mampir, dia membawakan bingkisan atau oleh-oleh dari luar negeri. Kadang juga memberi uang.
“Kebetulan bisnis saya selama ini berjalan lancar, jadi tak ada salahnya saya berbagi kebahagian dengan kalian,” jelas Rodi saat itu.
Sura sebenarnya juga kagum pada Rodi. Diusianya yang masih 38 tahun, ia telah berhasil menjalankan usaha. Kepribadiannya sangat menarik, enak diajak bicara, ramah, dan bersahabat. Hanya saja dia merasa Ranti terlampau berlebihan memuji Rodi. Sura lama-kelamaan jengkel dan merasa direndahkan.
Ranti memang tidak secara langsung membandingkannya dengan Rodi. Tapi pujian itu sudah memunculkan sebuah kesimpulan di benaknya, bahwa Ranti tidak puas dengan kehidupan mereka selama ini. Lagi pula, suami mana yang tak kesal bila istrinya mengagumi dan memuji laki-laki lain.
“Kami dahulu hanya sebatas sahabat, Bang,” jelas Ranti suatu hari. “Kalaupun belakangan ini saya tampak dekat dengan Rodi, itu lantaran saya kasihan. Dia tampak terpukul sejak kepergian istrinya. Dia kan sudah banyak membantu kita, apa salahnya saya balas membantu memotivasi kita.”
Mendengar penjelasan istrinya itu, hati Sura justru kian resah. Ia malah tidak mempercayai Ranti. Bila dilandasi rasa kasihan, Ranti bisa melakukan apa saja untuk menyenangkan Rodi. Kecurigaan muncul di kepalanya, jangan-jangan istrinya pernah tidur dengan Rodi. Mereka bisa saja melakukannya di rumahnya, saat ia bekerja. Pikiran ini terus meneror Sura.
Gunjingan para tetangga tambah melengkapi kekeruhan suasana hati Sura. Kian hari omongan-omongan tentang hubungan Ranti dengan Rodi tambah seru dan semarak.
“Sumpah, Mas. Saya lihat sendiri mereka berangkulan keluar bioskop,” ujar Supar, tetangganya yang tukang parkir, pada suatu hari.
Ia juga sempat mendengar gunjingan bahwa istrinya telah meminta cerai dan ingin segera menikah dengan Rodi.
“Suaminya kan hanya buruh pabrik. Lha laki-laki itu sudah tampan pengusaha kaya pula, siapa yang tidak tertarik! Saya yang sudah tua saja tertarik!” gunjing tetangga sambil cekikikan.
Yang kelewatan, ada kabar angin yang mengatakan istrinya ingin menikah dengan Rodi lantaran Sura tak sanggup memberi anak. Rasanya Sura ingin menjelaskan kepada para tetangga yang sok tahu itu, bahwa mereka belum punya anak meski sudah 3 tahun menikah karena belum siap. Bukan karena dia mandul. Dengan menambah satu anggota keluarga, Sura sadar beban keluarganya pasti akan bertambah, sementara gajinya selama ini hanya pas-pasan. Ah, tetangga memang asal bicara!
Tetapi gosip perselingkuhan istrinya itu tetap saja terasa menusuk-nusuk dada Sura. Lebih-lebih bila melihat sikap Ranti yang seperti tidak peduli dengan omongan tetangga; masih saja bepergian dengan Rodi. Ia tak bisa memaklumi keakraban istrinya lagi!
Setelah mematikan bara rokoknya kuat-kuat, Sura menuju belakang rumah. Diambilnya sebilah pisau di meja dapur. Diamatinya sebentar pisau itu, seakan sedang mengukur ketajamannya. Pisau itu berkilat terkena cahaya matahari yang masuk dari tingkap.
Ia lalu kembali ke ruang depan dengan pisau dapur di genggaman. “Aku harus bikin perhitungan dengan mereka berdua. Terutama dengan lelaki brengsek itu!” geramnya.
Dia ingin menjaga kehormatannya sebagai seorang suami dan lelaki. Sebagai seorang lelaki, ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Kalau Rodi memang menginginkan Ranti dan Ranti menerima Rodi, mereka seharusnya bicara terus terang. Jangan main api asmara di belakangnya!
Letih mondar-mandir dan bergelut dengan gejolak perasaannya, Sura terduduk kembali. Pisau diletakkannya di atas meja, di hadapannya.
Beberapa menit kemudian sebuah mobil muncul dan berhenti di depan rumah. Mobil mewah Rodi. Mobil yang tampak kontras dengan lingkungan perkampungan kaum buruh yang rumahnya rata-rata reot.
Seorang perempuan diikuti seorang lelaki berkaca mata hitam keluar dari mobil itu. Wajah mereka tampak cerah. Perempuan itu adalah istri Sura. Betapa ia mencintai perempuan itu!
“Oh Abang sudah pulang. Sudah makan, Bang?” ujar istrinya ketika mendapati Sura duduk tercenung sendirian.
Sura tak menyahut. Ranti pun seperti tak butuh jawaban. Ranti mempersilakan Rodi masuk.
“Wah, Bung Sura maaf ya, saya tadi ada keperluan sebentar dengan Ranti. Oh ya, ini ada oleh-oleh sedikit buat Bung,” Rodi meletakkan sebuah bungkusan di atas meja. Di depan Sura.
Sura tak meraih bingkisan itu, tapi pisau dan segera berdiri. Pisau bergerak cepat dan menancap di dada Rodi. Belum cukup, pisau sekali lagi menancap di dada Rodi, disertai jeritan Ranti. Tak lama jeritan Ranti pun lenyap tatkala pisau itu beralih menancap dadanya. Darah merembes.
Sura bergidik.
Ternyata itu hanya khayalan Sura. Pisau itu masih di atas meja, dan Sura masih duduk bergeming. Dia hanya menatap jalanan dari jendela yang terkuak di depannya. Hatinya bergolak. Pisau itu masih ada di atas meja, tetapi terasa telah menghujam dadanya!
“Kalau begitu saya permisi dulu, Bung. Saya tak bisa lama-lama, karena akan mengikuti meeting,” ujar Rodi.
“Nggak ingin duduk-duduk dulu, Di?” ajak Ranti.
“Oh, lain kali aja. Terima kasih.”
Rodi mohon diri sekali lagi. Sura cuma acuh, seperti tak mendengar. Ranti mengantar Rodi ke depan. Sebelum masuk mobil, Rodi mendekatkan mulutnya ke telinga Ranti, berbisik. Ranti lalu cekikikan sebentar.
Melihat keintiman mereka kebencian Sura menyala kembali. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya serasa terikat. Ia tertunduk lemah. Dia kalah. Selalu. Bagai petinju yang KO sebelum naik ring.
Dilihatnya dirinya; seorang buruh kecil dengan gaji kecil sekaligus pengecut. Apa yang bisa dibanggakan laki-laki miskin dan lemah seperti dirinya? (***)
Samarinda, April 1993
Terbit pertama kali di SKH Manuntung (sekarang SKH Kaltim Post) tahun 1993 dengan judul Kalah.
------------------------------------------------
MUKHRANSYAH. Wartawan di Kaltim. Pengurus Jaring Madah Etam dan Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur.
Ilustrasi: Bisman Nainggolan