Cerpen

title

Pensiun


Penulis: Karno Wahid | Posting: 16 Oktober 2021

Dalam beberapa bulan terakhir ini, di kantor Pak Darpi sudah terdengar isu atau kabar burung bahwa sebentar lagi akan diadakan mutasi besar-besaran pada pegawai di lingkungan Pemda setempat. Mutasi atau alih tugas bagi sebagian pegawai negeri sebenarnya merupakan perkara yang lumrah. Katanya sih, ini merupakan upava untuk menghindarkan kejenuhan pada sejumlah pegawai yang diharapkan nantinya dapat meningkatkan gairah dan sernangat kerja. 

Tapi adakalanya mutasi juga menjadi momok yang menakutkan, khususnya bagi sejumlah pegawai yang selama ini menduduki jabatan atau posisi yang empuk dan basah. Mereka takut dimutasikan ke unit kerja yang kering kerontang. Ini kan tidak enak! Padahal, biasanya, laci selalu dibanjiri oleh rezeki yang melimpah. Tapi, sebaliknya bagi pegawai yang selama ini menduduki posisi tandus, malah berdoa dan berharap agar dimutasikan ke posisi yang basah, kalau mungkin pada posisi yang kebanjiran. Maklumlah, selama ini di tempat lama mereka hanya bekerja dengan diiringi himne padamu negeri kami mengabdi saja.

Namun, kegiatan mutasi kali ini justru meresahkan Pak Darpi. Pokoknya, sejak ada kabar burung tentang keputusan mutasi itu, Pak Darpi tak pernah dapat tidur dengan pulas. Makan juga terasa kurang enak. Beliau terlihat sangat lesu. Dan, bawaannva selalu ingin marah. Tensi darahnya pun cenderung terus naik. Stres.

Bagaimana tidak, di saat orang lain boleh terus berharap agar dimutasikan ke posisi yang empuk, Pak Darpi mau tidak mau justru harus siap menerima keputusan pensiun. Inilah soalnya. Ia bakal menjadi askar tak beguna, kata anekdot Malaysia.

Bayangkan, memasuki bulan depan ia sudah sampai pada batas maksimum masa kerjanya. Saat ini saja sebenarnya ia sudah masuk pada masa persiapan pensiun atau MPP. Tapi, atas permohonannya pada atasannya, MPP-nya tidak diambil. Artinya, selama setahun lagi ia masih punya kesempatan menduduki posisinya yang sekarang. Dan, jabatan sebagai kepala bagian pada Pemda setempat pun masih ada di tangannya. Karena kebetulan bagian yang dipimpinnya terkenal basah, maka selama setahun ini Pak Darpi betul-betul menerapkan teori aji mumpung. Ia hampir tidak peduli dengan gerakan reformasi mahasiswa. Praktik-praktik KKN terus saja dilaksanakan. Hampir kesetanan, Pak Darpi sabet sana-sini untuk mengejar kesempatan. Karena, bila telah tiba saatnya nanti ia tidak akan dapat lagi menikmati gelimang fasilitas yang terkadang tidak masuk akal itu. Namun, apa pun alasannya, tepat memasuki awal bulan depan ia harus menyingkir dari kancah pergulatan yang selama puluhan tahun diceburinya.

Pak Darpi akhir-akhir ini memang lebih banyak melamun di atas kursi goyangnya yang empuk, yang selama ini selalu menjadi teman akrabnya dalam mengatur strategi kantor, baik strategi dalam mengatur karyawan maupun strategi mengatur aliran fulus ke laci mejanya yang cukup besar itu.

Terkadang ia ingat kembali kejadian beberapa tahun lalu, sekitar enam tahun yang silam, yaitu pada saat ia bersama beberapa pejabat lainnya dilantik dan diambil sumpah sebagai pejabat. Betapa dengan khidmatnya ia mengangkat sumpah demi Tuhan, akan menjadi pejabat yang baik dan bertanggung jawab dengan lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi serta golongan tertentu dan tidak akan menerima atau memberikan sesuatu apapun yang berkaitan dengan jabatannya itu. Belakangan ia menjadi sadar, betapa selama ini ia telah banyak mengangkat sumpah palsu. Ada juga penyesalan di sanubarinya, karena ia sudah terlalu banyak memperdagangkan sumpah yang diikrarkannya itu. Sesungguhnya, kalau boleh diulang lagi saat acara pelantikan itu, ingin rasanya hanya sekadar mengucapkan janji. Karena janji sedikit terasa agak longgar untuk diingkari.

Tapi, kalau sumpah ini menyangkut hubungan langsung dengan Tuhan. Tak mampu rasanya Pak Darpi membayangkan semua itu. Belum lagi pada saat mengikuti Penataran P-4, ia termasuk peserta yang memiliki nilai terbaik. Tapi, kini rasa-rasanya nilai-nilai P-4 itu seakan menjadi momok yang menakutkan setiap gerak dan langkahnya, karena ia sendiri telah begitu banyak memangsa nilai-nilai P-4 itu untuk sekadar memenuhi keinginan hawa nafsunya. Bergidik Pak Darpi membayangkan semua itu. Dan, saat-saat memasuki masa pensiun ini adalah saat-saat yang tidak diinginkannya. Namun, hukum alam telah berlaku dengan adilnya. Perputaran roda kehidupan terus menggelinding ke arah depan. Masa depan akan menjadi milik generasi berikutnya, sementara kita akan bergerak menjadi masa lalu, seperti teori dalam filsafat. Pak Darpi mungkin saja dapat menerima keadaan ini. Tapi, bagaimana dengan anak dan istrinya? Apakah mereka dapat menerima kenyataan ini secara wajar.

Istri Pak Darpi memang tipe wanita masa kini. Wanita penuh emansipasi yang super sibuk. Bahkan, kesibukan Bu Darpi, begitu ia biasa dipanggil, melebihi kesibukan Pak Darpi sendiri. Bayangkan, pagi-pagi sekali ia sudah sibuk mengikuti senam sehat di sebuah klub senam kenamaan di kota ini. Seusai mandi dan sarapan langsung mengikuti kegiatan ibu-ibu dan mengikuti latihan paduan suara untuk tampil di televisi. Sorenya ia mengikuti arisan yang terkadang sampai menjelang malam baru usai. Untuk itulah, jangan ditanya bagaimana hubungan dan komunikasi dalam keluarga ini. Kedua anak mereka yang sudah beranjak remaja hampir menganggap rumah mereka yang mirip istana itu hanya bagaikan sebuah hotel untuk sekadar menumpang mandi, makan, dan tidur sejenak. Tapi, jiwa dan perasaan mereka entah merayap di mana.

Seperti sore itu, ketika pulang dan kantor, Pak Darpi tidak menemukan siapapun di rumah, kecuali pembantu mereka, si Yanti. Dan, kali ini ada yang lain dari kebiasaan Pak Darpi. Sepulang kantor, biasanya ia langsung mendekati almari perangkat sound system. Beliau memutar CD berirama jazz kesukaannya sambil membaca koran sore dan menyeruput kopi hangat buatan Yanti. Tapi, kali ini kebiasaan itu tiba-tiba berubah. Sepulang kantor tadi, beliau singgah sebentar di sebuah toko untuk membeli selembar sajadah dan kopiah. Dan, ketika ia mengambil air wudhu untuk salat, si pembantu menjadi agak heran. Sambil melongo, tanpa sadar Yanti menatap majiannya itu dengan heran. Pak Darpi, yang dipandangi Yanti secara demikian menjadi maklum.

“Yan, Bapak sebentar lagi bakal pensiun,” kata Pak Darpi sembari membersihkan bekas air wudhu di wajahnya dengan handuk kecil. Yanti hanya melongo mendengar ucapan majikannya itu.

“Jadi, kamu mulai sekarang harus sudah siap-siap juga, siapa tahu bila pensiun nanti Bapak tidak sanggup lagi membayar gajimu. Untuk itu kamu harus tahu pula…” Yanti tetap diam dan melongo mendengar ucapan majikannya yang sebenarnya cukup mengharukan itu.

Ketika Yanti terus memandanginya, Pak Darpi kembali berkata, “Mengapa kamu pandangi aku seperti itu? Kamu heran, ya, melihat aku akan sembahyang?”

“Eh, Yan, Bapak sekarang sadar. Selama ini Bapak telah banyak bersalah dan melupakan Tuhan. Tapi, Bapak sebenarnya tidak terlalu salah juga, lho, Yan. Bapak ‘kan sibuk. Jadi, terkadang tak punya kesempatan dan lupa untuk sembahyang. Orang lupa ‘kan tak apa-apa. Nah, karena sekarang Bapak sudah akan pensiun, Bapak ‘kan punya banyak waktu untuk sembahyang,” kata Pak Darpi penuh keyakinan.

Pak Darpi kemudian berlalu ke dalam kamar, barangkali untuk sembahyang. Beliau pun tersenyum puas setelah memberikan kuliah singkat pada Yanti, si pembantu yang memang sangat akrab dengan beliau. Dan, beliau merasa puas karena dikiranya Yanti paham akan maksudnya. Padahal, dalam hati Yanti malah punya pikiran lain. Dipikirnya, apakah sembahyang hanya diperuntukkan bagi orang yang mau pensiun saja? Masya Allah.

***

Sejak masuk kantor pagi itu, Pak Darpi sudah berpesan pada stafnya, kalau bukan tamu penting beliau tidak akan menerima, karena hari ini beliau akan menyelesaikan sisa pekerjaan yang masih menjadi tanggung jawabnya. Karena, bagaimanapun beliau sudah berupaya untuk sadar bahwa masa yang ditakutkan itu akan segera datang. Jadi, setidaknya semua pertanggungjawaban pekerjaan harus sudah selesai sebelum diserahterimakan pada penggantinya nanti. Untuk itu, sejak pagi Pak Darpi tidak pernah ke luar dan kamar kerjanya. Dan, dalam keadaan seperti ini staf Pak Darpi sudah mafhum. Untuk itu, kalau bukan urusan yang teramat penting, sama sekali tidak ada yang berani menghadap beliau.

Sesekali masih terdengar batuk dan suara beliau melayani dering telepon. Tapi, ketika beberapa lama tak terdengar suara apapun dalam kamar, satu dua orang staf beliau ada juga yang curiga. Apa gerangan yang terjadi dengan Pak Darpi? Tapi, lagi-lagi mereka tidak ada yang berani menjengukkan muka untuk melihat apa sesungguhnya yang telah terjadi, khawatir kena damprat oleh Pak Darpi yang memang temperamental itu.

Menjelang bubaran, tiba-tiba kantor Pak Darpi geger, pasalnya Pak Darpi ditemui meninggal di atas kursi goyang yang empuk dalam posisi duduk. Beliau diperkirakan meninggal akibat serangan jantung yang mendadak. Sementara di bawah kursi, di antara dua sepatu beliau, ditemukan selembar kertas, yang merupakan salinan Keputusan Pensiun yang baru diterima Pak Darpi pagi itu.

Nah, akhirnya Pak Darpi menuntaskan pengabdiannya dan beliau betul-betul akhirnya pensiun. (***)

----------------------------------------------------- 

KARNO WAHID. Mulai menulis tahun 1970-an setelah mengikuti pendidikan jurnalistik di Bandung. la menulis puisi, novel, cerita pendek, dan berbagai tulisan lainnya. Puisi-puisinya dibukukan dalam Tempoyaq (1981), Topeng (1982), Istana Malam (1983), Lanskap (1984), Sajak 8 Kota (antologi bersama 8 penyair Indonesia yang diterbitkan oleh HP3N), dan Getar-getarAorta (DKD Kaltim, 2000).  Beberapa puisinya disertakan dalam antologi penyair Tenggarong Seteguk Mahakam (2006), antologi penyair Kalimantan Pernikahan Batu (2005), dan Antologi ASEAN yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka di Malaysia. Novelnya antara lain Diantara Oua Hati (1991), Penantian (1992), dan Ajeng (1998). Novel lainya adalah “Di Antara Reranting Patah”, “Biarkan Cinta Mengalir”, dan “Maafkan Bila Gita Mencintaimu”.  


Ilustrasi: Bizman Nainggolan

Share:
Cerpen Lainnya