Cerpen

title

Seragam Sekolah


Penulis: Syafruddin Pernyata | Posting: 03 Agustus 2021

Empat belas hari sudah hujan tak membasahi Dusun Lubuk Sawa. Sembilan puluh tujuh kepala keluanga petani sayur itu hanya mengandalkan air parit yang mulai kering dan bercampur limbah rumah tangga. Jika dalam empat hari nanti tak juga turun hujan, maka bayam, cabai, kacang panjang, tomat, terong, dan sayur yang ditanam akan kering kerontang, hidup segan mati tak mau, dan pasti tak laku dijual.

Siapakah gerangan yang akan membeli daun bayam keriting, cabai, kacang panjang, tomat, dan terong kerdil? Siapa pula yang mau makan nasi lalap dengan sayur layu, tak segar dan berwarna kuning?

Miun kembali menelan air liurnya. Keringat bersimbah di wajah dan sekujur tubuhnya. Lima borongan tanaman sayur yang ditanamnya itu harus diselamatkan di musim kering ini. Karena itu, gembor itu tak bosan-bosannya diisi dan dipanggul lalu dituangkan di atas gundukan tanah tempat sayur itu ditanam.

“Jika musim panas begini, tanaman harus disiram 3 kali sehari. Pagi, siang, dan sore. Ini sudah biasa. Hanya, air buat menyiram semakin jauh didapatkan. Karena parit di sini sudah mulai mengering,” kata Miun menjelaskan padaku.

Sudah sebulan ini aku mengubah gaya hidup. Hari libur biasanya aku gunakan untuk jalan-jalan ke mal. Ya, sudah sebulan ini tidak lagi. Selain aku jemu karena tak ada yang istimewa dan memberikan inspirasi bagi kehidupan. Juga aku tak ingin “bernafsu” untuk membelanjakan gaji yang kuperoleh untuk hal-hal yang tidak terlalu kuperlukan. Bukankah Ayah dan Ibu di Yogya beserta adik-adik menunggu kiriman gajiku untuk menopang hidup keluargaku dan sekolah adik-adikku?

Tiga puluh tahun sudah usiaku. Enamtahun sudah aku bekerja berpindah-pindah tergantung ke mana perusahaan ini menugaskan. Di Samarinda saja sudah tujuh bulan. Jika bicara penghasilan, mestinya aku bisa dikelompokkan pada orang yang berpenghasilan menengah.

Mestinya aku sudah menikah. Pernghasilan cukup. Wajah tak terlalu buruk. Dulu waktu kuliah, empat teman wanitaku terang-terangan ingin jadi kekasihku. Aku saja yang menolak. Bukan karena mereka tak cantik. Bukan pula karena perangai mereka norak atau perilaku atau gaya hidup mereka yang tak cocok. Tapi, semata-mata karena aku masih punya beban membantu empat adikku yang masih sekolah dan perlu biaya. Satu lagi, karena mereka bukan Ratih, gadis Klaten yang telah merenggut sebagian jiwaku untuk selalu terpesona oleh keramahtamahan kesederhanaan, dan kecerdasan yang dimilikinya.

Tapi, di era global dan kemajuan informasi teknologi yang sangat pesat, di nanoteknologi yang menggetarkan masa depan bangsa-bangsa terkebelakang, masih saja ada “pernikahan ala Datuk Maringgih”. Buktinya, Ratih tak bisa menerimaku hanya karena sudah ditunangkan orangtuanya dengan anak kepala desa di kampung halamannya.

Ratih tak menafikan hatinya yang juga tertambat padaku. Tapi, ia tak kuasa menolak kehendak orangtua. Sebagai gadis Jawa yang penurut, ia harus menerima kehendak orangtuanya. Ia pun menikah empat belas hari setelah lulus SMA.

Mungkin orang menuduhku sebagai lelaki cengeng. Cinta hanya terpatri untuk Ratih. Seakan tak ada gadis lain yang lebih baik. Akan tetapi, siapakah yang akan mendustakan bahwa cinta yang begitu absurd memang tak bisa diukur dengan akal pikiran. Secerdas siapa pun dia! Bukankah aku tidak sendiri. Bukankah banyak orang yang mengalami naslb serupa. Nasib Ikal dalam Laskar Pelangi yang jatuh cinta pada Aling juga mestinya tak rasional jika aku dikelompokkan pada kelompok yang sama?

“Kalau sekarang tanaman ini bisa kupanen, sebenarnya aku bisa untung lumayan. Tapi, ya, gimana?” Miun menyentakkanku. Aku lupa. Aku tengah ngobrol dengan lelaki perkasa dengan 3 anak yang masih sekolah. Ia mirip orang tuaku di Yogya. Rajin, ulet, dan bertanggung jawab untuk menyekolahkan anaknya.

“Kalau panen nanti bersamaan, pasti harganya jatuh dan Pasar Segiri pasti penuh dengan sayur. Nasib, ya, Pak. Aku pernah panen terong 6 karung tapi tak dibeli tengkulak. Katanya terong banyak di pasar. Harganya murah. Harga terong tak bisa menutup harga bensin. Untuk tengkulaknya baik. Aku dikasih 10 ribu tapi ia tak mengambil terong. Akhirnya terong itu busuk di pinggir jalan,” kata Miun bercerita.

“Terus terongnya diapakan?”

“Ya digeletakkan saja di pinggir jalan. Siapa yang mau ambil? Teman-teman juga nasibnya sama. Sayurnya juga tak laku. Bapak tahu nggak, aku hampir putus asa. Utang sudah banyak di warung. Padahal aku ngiritnya bukan main. Makan cuma sekali sehari. Malam makan singkong. Nggak sanggup beli beras.”

“Kenapa nggak kerja di barubara saja? Katanya upahnya lumayan?”

“Kalau nggak ada kenalan, susah, Pak. Yang minta kerja juga banyak. Ada sih lowongan, tapi jadi sopir. Lha, naik motor saja aku nggak bisa, apalagi nyopir, Pak?”

Miun menyelesaikan tugasnya. Dari wajahnya terpancar rasa puas karena tanamannya bisa ia siram sore ini semuanya. Tak sejengkal pun tanah yang tak basah. Jujur, jika aku yang harus melakukan hal serupa pastilah tak sanggup.

Sore kian temaram. Dusun Lubuk Sawa berangsur-angsur rnenyembunyikan pesonanya. Hari semakin gelap ketika Kijang Innova-ku melintas di antara bayang-bayang pohon dan jalan desa yang tak beraspal itu.

Perkenalanku dengan Miun sedikit banyak telah melupakan kesepian yang selalu hinggap dalam kehidupanku. Di kantor memang banyak teman. Akan tetapi, Miun lebih berarti daripada teman-teman di kantor. Miun telah menancapkan arti hidup kepadaku. Tanggung jawab, kerja keras, ketabahan, keuletan, dan kesederhanaan telah kuperoleh dari lelaki perkasa dengan tiga anak itu.

***

Kesibukanku merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan pemasaran bahan-bahan interior untuk perumahan-perumahan eksklusif selalu membuatku lupa untuk relaks. Samarinda memang kota bertumbuh dan berkembang dengan cepat.

Kubaca di koran lokal, sekitar 20 triliun rupiah diinvestasikan Pemerintah melalui dana APBD Provinsi dan Kabupaten Kota se-Kalimantan Timur. Investasi Pemerintah itu telah membuat roda perekonomian di daerah ini bagai gelora ombak di laut selatan yang tak pernah henti.

Di koran lokal juga kubaca betapa emas hitam batubara telah membuat banyak orang kaya baru. Ratusan kuasa pertambangan telah diterbitkan Pemerintah Daerah. Truk-truk besar, truk-truk kontainer, dan bus-bus pengangkut karyawan berseliweran menjadi pemandangan rutin setiap pagi siang petang dan malam hari.

Di kota ini, Samarinda, mobil-mobil semewah Ford Ranger, Mitsubishi L200, dan entah apalagi namanya, amat mudah dilihat. Tidak seperti di kotaku Yogyakarta, nyaris tak kutemukan mobil seperti itu. Semua sepeda motor model terbaru, Mio-kah, Vario-kah namanya selalu ludes dan peminat harus indent 1 atau 2 bulan sebelumnya. Hebatnya lagi, mobil Honda Jazz, Innova, Avanza juga harus indent alias pesan karena di ruang pamer atau biasa disebut show room tak selalu ada tersisa.

Bukan hanya Samarinda, Balikpapan juga demikian. Kedua kota yang kukenal ini seperti ladang baru bagi perusahaan properti. Balikpapan bahkan bukan lagi perumahan eksklusif yang dibangun, tetapi juga hotel-hotel berbintang tumbuh bak jamur di musim hujan. Setelah Adhika Bahtera, La Grandeur, Bahana Surya, Grand Mustika, Sagita Comfort, masih berdiri lagi Hotel Gran Senyiur berbintang lima. Lalu Novotel dan sekarang Pasar Baru Square, Balikpapan Super Block.

Samarinda pun hingar-bingar dengan pembangunan mal, hotel, dan perumahan. Samarinda Central Plaza tak cukup menambah Mal Mesra dan Lembuswana yang sudah ada. Sebab, masih dibangun lagi Big Mall dan Plaza Mulia, tak cukup Hotel Borneo, Senyiur, Mesra, tapi juga Grand Sawit, dan Hotel Diamond. Kompleks hunian pun terus bertambah. Ada Villa Tamara, Pesona Mahakam, Taman Sari, Bumi Surya Kencana, Samarinda Residence, Samarinda Regency, bahkan Agung Podomoro Grup dan Citra Land juga merambah ibukota provinsi ini.

Tentu saja perusahaan tempatku bekerja juga meraup untung besar. Aku mendapat bonus yang tak pernah kuperoleh sebelumnya. Bagiku, 300 juta rupiah bekerja setahun bukan bonus biasa. Perusahaan pun memberiku libur setengah bulan dengan fasilitas transportasi udara kelas eksekutif dan akomodasi hotel bintang empat.

Tentu uang transportasi dan akomodasi itu tak kugunakan. Kuambil uangnya saja. Aku tetap naik pesawat kelas ekonomi dan tidur di rumah orang tua di Yogya.

Alhamdulillah, perkenalanku dengan Miun telah membuatku belajar banyak tentang hidup. Tanggung jawab dan hidup berhemat, memberi kepada yang membutuhkan, belajar untuk hal yang perlu-perlu saja adalah sikap hidup yang terinspirasi dari kehidupan Miun dan keluarga.

Karena itu, libur pertama setelah cuti ini tiada lain tujuanku kecuali ke Dusun Lubuk Sawa. Dua lembar baju batik, selembar daster, dan masing-masing selembar baju kaos Dagadu untuk anak-anak Miun sudah kubelikan untuk mereka.

Tiga kilo gula putih, 2 bungkus kopi Kapal Api, dan sebungkus teh celup Sari Wangi juga kubeli untuk Miun dan keluarga. Tentu tak lupa 10 kg beras. Siapa tahu, ia masih kesulitan membeli kebutuhan pokok itu karena panennya tak sesuai harapan.

***

Lubuk Sawa masih seperti 3 bulan yang lalu. Kiri kanan jalan ditanami sayur-mayur. Pondok Miun sudah tampak. Akan tetapi, terlihat sepi dan lahan di sekitar pondok seperti tak terawat.

Tak ada tanaman yang tumbuh kecuali semak-semak sebatas lutut. Perasaanku jadi tak enak.

Aku langsung memanggil Miun setengah berteriak ketika memasuki pekarangannya. Namun, tak ada yang menyahut. Tak sabar, kunaiki pondoknya. Sepi dan pintunya tak terkunci. Tak ada isinya.

“Miun sudah pergi, Pak,” tiba-tiba kudengar suara Wagimin, tetangga Miun yang sudah berdiri di belakangku.

“Ke mana Miun, Pak Gimin?”

“Katanya pulang ke Jawa.”

“Sama siapa?”

“Semuanya, Pak. Ya istrinya, ya anak-anaknya. Tetangga juga nggak ada yang tahu, karena dia pergi malam han.”

“Kenapa dia pulang?”

“Nggak ngerti, Pak. Mungkin ada hubungannya dengan kejadian sehari setelah dia minggat.”

 “Kejadian apa?”

“Sehari setelah dia pergi, ada 4 polisi ke sini. Katanya cari Miun. Mereka bilang Miun telah menganiaya tukang ojek. Sepeda motor tukang ojek itu dirampas Miun. Tukang ojek itu ditemukan di belukar dekat Kebun Raya Unmul. Teman-teman tukang ojek itu tahu bahwa penumpang terakhir yang dibawanya adalah Miun. Makanya Miun dicari.”

“Memang Miun pelakunya?”

“Ya nggak ngerti, Pak. Miun-nya sudah nggak ada. Seminggu sebelumnya Miun memang murung terus. Katanya dia perlu uang 250 ribu. Mau pinjam sama aku. Aku juga nggak punya.”

“Untuk apa uang itu katanya?”

“Ia bingung, Pak. Sudah tiga bulan ia tak sanggup membayar utang anaknya di sekolah.”

“Utang apa?”

“Katanya seragam sekolah anaknya.”

Aku tak sanggup lagi meneruskan pertanyaan. Segera kuberikan tas kertas berisikan baju batik, daster, dan baju kaos Dagadu itu. Kuberikan pula tas kresek berisikan gula, kopi dan teh. Juga sekarung beras pada Pak Gimin.

“Ini untuk siapa, Pak?”

“Ambil saja,” kataku seraya masuk ke dalam mobil meninggalkan Pak Gimin yang masih terpaku. Pikiranku kusut masai. Cahaya matahari sore di barat Lubuk Sawa masih berpendar-pendar. Kutinggalkan Lubuk Sawa dengan seribu galau yang tiada tara. (***)


Sumber: Antologi 3 Cerpenis Kalimantan Timur, 2010. Mira Nurhayati-Syafruddin Pernyata-Riatri Lestari Soemariyono, Samarinda: Pustaka Spirit



Catatan:

borongan = Kira-kira 10 x 1 5 meter

Gembor = Terbuat dan kaleng menyerupai drum mini yang ada corongnya digunakan untuk menyiram tanaman.



SYAFRUDDIN PERNYATA. Lahir di Loa Tebu, Tenggarong, Kabupaten. Kutai (kini Kutai Kartanegara), 28 Agustus 1958. Lulus dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, dan Magister (S2) lImu Sastra (Linguistik) Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi Surat Kabar Sampe (1978-1999). SeJumlah karyanya pernah diterbitkan dalam buku Merobek Sepi (DKS), Secuil Bulan di Atas Mahakam (DKS) Antologi 3 Cerpenis Kalimantan Timur (Pustaka Spirit), dan lain-lain. Karya-karyanya terutama berupa cerpen dimuat di sejumlah media massa, di antaranya di Anita Cemerlang, Ringan, MeIati, Puteri Indonesia, Senang, Detektif Romantika, Aneka, dan lain-lain. Kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Harga Diri. la juga aktif dalam teater, merupakan penggerak utama segala aktivitas bersastra dan berkesenian di Kalimantan Timur sepanjang tahun 1970-an -1980-an. Semula ia bekerja sebagai staf pengajar di FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, dan kemudian menjabat Kepala Hubungan Masyarakat Provinsi Kalimantan Timur, Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Kalimantan Timur, dan Kepala Badan Perpustakaan Nasional Provinsi Kalimantan.


Ilustrasi: Bizman

Share:
Cerpen Lainnya