Cerpen

title

Setiap Tempat di Negeri Kita adalah Surga


Penulis: Mahan Jamil Hudani | Posting: 25 September 2021

Apa yang akan kau lakukan saat di pikiranmu waktu kecil penuh dengan impian tentang sebuah kota yang menawarkan surga di dalamnya dan kau begitu percaya akan semua? Aku yakin kita akan melakukan hal sama, yaitu bagaimana cara menuju ke sana.

Sejak kecil, aku sering bermimpi bisa tinggal dan bekerja di ibukota. Pak Didi, guruku saat duduk di bangku SD kala itu, sering bercerita tentang kota itu. Ceritanya, di sana ada bangunan-bangunan tinggi yang mampu mencakar langit. Sungguh dahsyat sekali.

Aku bertanya pada beliau, tinggi mana gedung itu dengan pohon kelapa di kampung kita? Jawab beliau sungguh mencengangkan, pohon kelapa itu tidak seberapa tingginya dibanding gedung itu. Dari gedung itu, kau akan melihat kota yang penuh cahaya berkelap-kelip ketika malam.

Banyak lagi yang guruku ceritakan; sebuah monumen tinggi dengan emas murni seberat puluhan kilogram di puncaknya dengan kilau yang indah dan orang bisa menaiki monumen tersebut serta melihat pemandangan kota dari atasnya. Bisa melihat toko besar yang luasnya melebihi lapangan bola kampung kami, yang menyediakan segalanya, kendaraan mewah dan rumah megah. Juga katanya kita bisa bertemu orang-orang yang suka muncul di televisi hitam putih kampung kami.

Saat aku bertanya pada Ayah, apakah benar yang dikatakan Pak Didi itu, Ayah mengangguk. Memang tidak banyak yang terucap dari bibirnya. Aku mendesak Ayah lagi untuk bercerita. Barulah setelah sekian kali pada kesempatan berbeda, Ayah menjawab lirih, “benar apa yang Pak Guru ceritakan padamu itu.”

Aku bertanya lagi tak puas. Ingin Ayah bercerita sendiri dari bibirnya untuk meyakinkanku. Lamat Ayah akhirnya berucap, “ayah sendiri belum pernah pergi ke sana. Tempat itu jauh sekali dari kampung kita.” Pak Didi, guruku yang sering bercerita tentang kota yang serba luar biasa itu pernah dikirim oleh pemerintah kabupaten untuk mengikuti acara ke sana, begitu jelas Ayahku.

Sejak itulah aku belajar makin sangat keras. Kata Ayah dan Pak Guru, hanya orang-orang pandai yang bisa bekerja dan menjadi sukses di sana. Betapa aku bermimpi untuk bisa menuju kota yang aku bayangkan serupa surga itu.

“Ayah, apa kota itu benar-benar seperti surga?”

“Ayah kan pernah bilang padamu jika Ayah belum pernah pergi ke sana, Nak. Tapi tentu surga jauh lebih indah.”

“Tapi surga kan hanya cerita para ustaz, Yah. Nyatanya belum pernah ada yang betul-betul melihat surga, sementara Pak Didi telah melihat sendiri kota itu.”

“Lebih baik kau tak punya pikiran seperti itu, Nak.”

Ayah lalu menasihatiku penuh kelembutan bahwa aku harus percaya surga dan itu lebih indah tanpa bisa dibayangkan. Pikiran manusia tak akan pernah mampu menjangkau surga. Namun aku telah membayangkan ibukota itu laksana surga. Di kampung kami, aku hanya menjumpai pohon kelapa dan pohon kopi atau pepohonan lain yang benar-benar membosankan.

Aku pernah bertanya pada guru agama di sekolah juga guru ngajiku tentang surga. Ia menceritakan jika di surga banyak buah-buahan dan sungai-sungai.

“Di kampung kita juga banyak buah dan sungai, jernih pula airnya.”

“Tentu jauh berbeda, Nak.”

“Apa bedanya?” tanyaku kemudian.

Guru agama dan guru ngajiku lalu menceritakan hal yang sama sekali tidak menarik bagiku. Aku berpikir jika Jakarta, kota itu, serupa surga. Aku lalu membayangkan tentang gedung yang tinggi, taman, kebun binatang, mobil-mobil, toko, rumah megah bak istana, dan semua yang sering Pak Didi ceritakan. Sungguh suatu ketika aku benar-benar harus tinggal di sana.

***

Akhirnya aku bisa juga tinggal dan bekerja di kota ini. Hampir enam tahun sudah aku tinggal di ibukota. Penuh perjuangan panjang untuk semua itu. Aku belajar keras saat menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar hingga menengah atas di kecamatanku yang kecil. Aku selalu bisa meraih juara sekolah karena kesungguhan belajar. Aku juga bisa meraih predikat terbaik saat wisuda perguruan tinggi. Tujuanku hanya satu, bisa bekerja di kota ini.

Sejak SD hingga perguruan tinggi, aku memang belum pernah berkesempatan mengunjungi ibukota. Tapi pikiranku selalu dipenuhi imajinasi dan impian yang begitu hidup tentang kota ini. Imajinasi itulah yang memaksaku belajar dan belajar dengan giat dan selalu ingin menjadi yang terbaik selama aku bersekolah. Hingga akhirnya kesempatan itu tiba.

Selulus perguruan tinggi dengan predikat sangat terpuji, aku merantau dan mencari kerja di kota ini. Memang semua berjalan cukup mudah, dan benar pula apa yang Pak Didi katakan jika hanya orang pandai yang bisa bekerja dan sukses di sini. Aku diterima di sebuah perusahaan besar dengan gaji yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya.

Teringat benar saat pertama kali aku tiba di kota ini. Betapa aku takjub akan semua kemegahan dan gemerlapnya. Meski saat kuliah, aku tinggal di kota, tapi tentulah tidak bisa dibandingkan dengan kota ini.

Setelah satu tahun bekerja, aku mengajak ayah dan ibuku tinggal bersamaku, di sebuah apartemen yang perusahaan sediakan untukku. Ayah dan ibu sangat bahagia saat aku mengajak mereka berjalan-jalan dan mengunjungi banyak tempat wisata dan mal-mal besar. Tapi sungguh kebahagiaan orangtuaku hanya bertahan tidak lebih satu bulan. Ayah dan ibu lalu minta izin untuk pulang dan tinggal di kampung saja.

“Apa Ayah dan Ibu tidak bahagia tinggal di sini?” tanyaku.

“Tentu kami bahagia, Nak. Hanya Ayah begitu rindu pohon kelapa dan kebun kopi milik kita di kampung.” Ayah menjawab dan Ibu mendukung jawaban Ayah.

“Ayah dan Ibu kan telah memasrahkan kebun kita pada Mang Darman. Sudah ada yang mengurus kebun kita. Jadi tidak perlu khawatir.”

“Iya benar. Tapi Ayah dan Ibu bingung, tak ada yang bisa kami lakukan di sini. Kami sungguh merasa bosan, Nak. Kami rindu kampung.”

Akhirnya aku tidak bisa menahan dan memaksa ayah dan ibu untuk tinggal bersamaku. Mereka pulang kampung. Sejak saat itu meski setiap tahun aku meminta mereka datang ke Jakarta, mereka hanya betah paling lama satu minggu.

“Burhan, Ayah dan Ibu datang ke kota ini bukan untuk jalan-jalan, tapi kami hanya rindu padamu, Nak. Kau sudah tidak mau pulang kampung, jadi tidak mengapa Ayah dan Ibu yang menjengukmu melepas rindu. Kami tahu Kau bekerja sangat keras dan begitu sibuk dengan pekerjaanmu sehingga kau tidak bisa mudik.”

“Maksud Ayah dan Ibu?” tanyaku kemudian.

“Hidup kami di kampung, bukan di sini. Jadi kami tidak bisa lama meninggalkan kampung.”

Jawaban ayah dan ibu tersebut mengejutkanku. Aku masih merasa heran kenapa mereka tidak mau tinggal bersamaku padahal sungguh aku selalu berusaha menyenangkan mereka. Tahun kelima aku bekerja di kota ini bahkan aku mampu membeli rumah dan kendaraan sendiri. Aku membeli rumah karena ayah dan ibu pernah berkata tidak kerasan tinggal di apartemen. Tapi nyatanya ayah dan ibu masih belum bisa menikmati itu semua.

***

Aku menatap paras lembut Hamidah. Aku tahu sesungguhnya perempuan itu sangat mencintaiku dari dulu, meski ia berusaha menyembunyikan perasaannya padaku. Hamidah adik kelasku saat SD hingga SMA. Hanya saat kuliah, kami belajar di kampus yang berbeda. Ayah dan ibu saat mengunjungiku ke Jakarta, selalu menitipkan pesan dan salam Hamidah padaku. Beberapa kali pula ayah dan ibu membujuk agar aku mau mudik.

“Satu tahun sekali saja usahakan kau bisa pulang kampung. tidak mengapa meski hanya beberapa hari saja di kampung,” ucap ibu beberapa kali.

“Aku sangat mencintai kampung ini, Kak. Itulah mengapa aku tidak mau meninggalkan kampung kita. Aku sungguh sangat menghargai dan merasa bahagia akan niat Kak Burhan, tapi maafkan aku tidak bisa ikut ke Jakarta.” Hamidah mengucapkan itu sambil menahan tangis dan tak urung menetes pula air mata dari sepasang matanya. Suaranya juga begitu lirih namun terdengar jelas. Sungguh ucapannya itu begitu menusuk. Aku hampir tak percaya semua perkataannya.

Memasuki tahun keenam di Jakarta, akhirnya aku tidak kuasa menolak permintaan ayah dan ibuku untuk mudik. Aku paksakan pulang juga walau sungguh aku merasa malas. Aku merasa hidup dan surgaku ada di Jakarta. Setiap keluar dan memerhatikan suasana dan kehidupan kota Jakarta, gejolak dan impianku menyala-nyala. Aku selalu terpacu menjadi yang terbaik dan manusia sukses di sini. Aku curahkan hidupku hanya untuk belajar dan bekerja. Tahun ini aku telah menyelesaikan pendidikan magisterku pada disiplin ilmu yang berbeda. Aku telah menyandang gelar dua master. Itulah mengapa aku enggan pulang, sibuk dengan pendidikan dan pekerjaanku.

Ayah dan ibu tahun ini merasa lelah mengunjungiku ke Jakarta walau seperti biasa aku telah mempersiapkan tiket dan sejumlah uang untuk mereka. “Tak perlu kirim tiket dan uang untuk kami, Nak. Ayahmu tidak bisa datang mengunjungimu tahun ini. Ia merasa lelah,” ucap ibu lewat ponsel.

Ibu lalu menganjurkanku untuk mudik sekalian menemui Hamidah. Sungguh aku tidak menyangka jika Hamidah akhirnya menolak ajakanku untuk menikah padahal dia sudah menungguku sekian lama. Alasannya hanya satu bahwa ia tidak mau tinggal di Jakarta dan ia ingin mengabdikan hidupnya di kampung sebagai guru. Pak Didi, ayah Hamidah, guruku waktu SD yang telah membuatku terobsesi akan kota Jakarta, telah memasuki masa pensiun.

“Apakah kau harus mengorbankan perasaan cintamu padaku demi impian mengajar yang sebenarnya bisa kau lakukan di mana saja, Midah?”

“Tidak seperti itu, Kak Burhan. Aku tidak bisa mengorbankan perasaan cintaku pada kampung ini, pada kebun, sekolah, orang-orang, dan semua tentang kampung ini. Di sinilah impianku juga hidupku.”

“Bahhhhh... apa kau tidak merasa bosan dengan semua itu? Sejak lahir hingga besar kau tinggal di sini.”

“Tidak ada rasa bosan untuk suatu impian dan cinta akan tanah kelahiran, Kak.”

***

Aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta meski Hamidah mengambil sikap untuk tinggal di kampung dan tidak bisa hidup bersamaku. Aku lalu menikahi gadis perantauan yang kantornya satu gedung denganku. Tak lama kemudian kudengar kabar dari orangtuaku jika Hamidah juga menikah dengan orang kampung kami.

“Nak, teruskan mengejar mimpi dan cita-citamu di kota jika kau menganggap bahwa di situ adalah surgamu. Ibu, Ayah, dan mungkin juga Hamidah, menganggap hidup dan surga kami ada di kampung. Pesan ibu, tetaplah sering pulang dan cintailah kampungmu. Setiap tempat di negeri kita adalah surga. Tapi satu yang tak boleh kau lupa, surga sesungguhnya ada di alam sana, alam selanjutnya. Jangan kau terlena,” ucap ibu melalui sambungan telepon. (***)


-----------------------------------------------------

MAHAN JAMIL HUDANI. Nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara pada 17 April 1977. Meluluskan studinya di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI). Karyanya tersiar di sejumlah media massa. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019) dan Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021)


Share:
Cerpen Lainnya