Gelap telah menyungkup kawasan itu ketika aku dan Paman Nangor tiba di tempat itu. Bayang-bayang hitam pohon-pohon besar dengan dahan-dahannya yang lampai tampak menyeramkan. Namun tak ada lagi waktu untuk membangun teratak untuk tidur sernentara, kecuali memilih tidur di dalam bangunan tua tanpa penghuni.
Di tempat itu memang hanya terdapat sebuah bangunan tua. Rumah itu didirikan oleh Kakek Posa, berupa lou yang hanya dihuni oleh satu keluarga. Oleh suatu peristiwa, rurnah itu menjadi sepi, yaitu setelah Belaysolay, putra tunggal Kakek Posa terbencana dipatuk ular sendok yang terbangun dari tidurnya di dalam guci yang ditaruh di atas plafon yang berupa rampa. Putra Kakek Posa hendak mengambil guci itu untuk dibersihkan karena ada pembeli yang menawarkan barang antik dengan harga yang mahal, namun ular sendok itu menghabiskan kehidupan, membuat warga di situ menjadi gempar.
Kakek Posa masih mengalami peristiwa unik tak menyenangkan mengenai rumah dan kawasan Leok itu. Entah mengapa, ia bersengketa dengan Kakek Kudung mengenai kepemilikan hutan rotan sega yang menghampar di sepanjang sungai. Menurut Kakek Posa dialah pemilik hutan rotan itu, karena ia sendiri menanamnya, sementara menurut Kakek Kudung dialah pemilik yang sah, karena dialah yang mula-mula membuka hutan di situ, dijadikan huma dan kebun buah, dan ia menanam rotan sega sehingga kawasan itu menjadi penuh oleh rotan. Tanda kebun buahnya masih ada, sejumlah pohon durian, engkaray, mempelam, siwo, dan pohon kuweni yang tinggi. Ada juga sejumlah pohon asam tungku yang jika tiba musim berbuah akan tampak lebat dengan buahnya yang hampir sebesar buah kelapa gading. Dengan bukti-bukti itu, anak cucu Kakek Kudung tak sungkan-sungkan mengambil rotan itu, meskipun mereka telah pindah ke Besiq, dan kemudian kembah ke kampung mereka di Dempar.
Kakek Posa memprotes perlakuan Kakek Kudung yang dianggapnya sewenang-wenang menyerobot tanah miliknya berikut tanam tumbuh yang ada di situ. Ia pun mengadu penyerobotan itu kepada petinggi dan kepala adat sebagai penguasa kampung. Saat itu lembaga kampung benar-benar memiliki kharisma yang kuat, dan petinggi membawa persoalan itu kepada camat. Camat memanggil para saksi dan meminta Kepala Adat Besar Wana Karti memutuskan perkara itu.
Oleh karena gedung sekolah tempat aku belajar di SD di ibu kota kecamatan itu dekat dengan kantor camat, aku, di saat istirahat suka nguping untuk mengetahui apa saja yang dibicarakan mengenai sengketa kebun rotan itu. Meskipun keputusannya terasa mengambang, namun Kepala Adat Besar tetap mengambil keputusan untuk menyelesaikan sengketa itu. Kulihat Kakek Posa dan Kakek Kudung bersama saksi mereka berikut camat serta beberapa staf dibawa ke pokok tiang bendera yang berada di halaman kantor camat. Mulailah kepala adat mengucapkan keputusan unik yang ganjil dan keramat!
“Kini kalian berdua yang bersengketa aku sumpah!” Kepala Adat Besar itu berucap dengan bibir yang terus berkomat-kamit tampak lucu karena sugi memenuhi bibirnya di bagian atas. “Kalian para saksi, Iebih dekat ke sini agar dapat melihat dan mendengar dengan jelas keputusan yang diambil!” suaranya mengambang di tengah suasana yang tegang dan beraorma sengketa yang memanas hadir di tempat itu. Setelah kata-kata itu, kesunyian meruyak seperti kematian, memberi kesan sebagai tanda berlangsungnya sebuah upacara sakral.
***
Bayang-bayang menyeramkan seakan-akan menguntit kami berdua hingga pagi tiba. Entah memang ada sesuatu, demit atau setan, genderuwo atau roh-roh jahat, palasik maupun hantu bermata satu, namun saat pagi tiba, kawasan itu terasa melegakan. Setelah aku dewasa aku tahu nama Leok itu bukan nama tempat, seperti yang aku sangka selama ini, tapi nama itu adalah sebutan sebuah teluk yang dijadikan nama suatu kawasan dan sekaligus nama sebuah danau yang hampir mati.
Aku dan Paman Nangor datang ke situ dengan maksud memanen rotan sega yang lahannya kudapat dari Kakek. Dulu, entah enam puluh tahun yang lalu - atau Iebih, tak ada yang menghitung dengan pasti - kakekku membuka lahan di situ dan menanam rotan karena hanya tanaman itu merupakan komoditas paling berharga saat itu. Beberapa kali rotan itu sudah dipaneni, hingga Kakek mewariskannya kepadaku dan aku sendiri telah tiga kali menanaminya, sehingga aku hafal dengan kawasan itu. Letak kawasan kebun itu tepat di bagian hilir lou Leok, sehingga tempat menginap paling baik memang di rumah tua itu. Namun, kata orang, jarang ada yang berani mampir, apalagi berani tidur di rumah itu karena khawatir akan dipatuk ular berbisa dan didatangi arwah Kakek Posa.
“Jangankan malam hari, siang-siang saja kalau sedang tertidur di situ pasti akan didatangi arwah Kakek Posa,” Bongeq, warga Dusun Muara Nyuatan menyambangi kami berdua Paman Nangor. “Jadi kalian berdua harus ekstra hati-hati,” ia menasihati. “Tak apa-apa kalau hanya didatangi, kalau ia meminta nyawa’?”
Terasa merinding bulu kudukku mendengar kata meminta nyawa!
“Tapi hantu atau arwah akan mengganggu orang yang punya hubungan dengan yang bersangkutan. Bersalah atau yang mempecundanginya,” Paman Nangor memberi argumentasi pembelaan. “Sedang kami berdua kenal saja tidak!”
“Aku pernah melihat sewaktu masih di SD di ibu kota kecamatan,” aku berkata. “Waktu itu aku sempat ngintip ketika Kepala Adat Besar menyumpah dua orang yang bersengketa. Tapi kisah yang kudapat kemudian tak pernah kusaksikan sendiri. Kisah itu adalah lanjutan dari kisas sumpah!”
Bingeq memandang ke wajah Paman Nangor.
“Soal hantu atau arwah penasaran itu biar saja mereka hidup di alam mereka sendiri,” Paman Nangor seperti memberanikan diri. “Kami berdua hanya bertujuan memanen rotan.”
“Aku hanya ingin memberitahu,” Bongeq masih dengan bicaranya sendiri. “Jangan kalian berdua menyesal karena tak tahu bahwa rumah tua ini ada penghuninya.”
Aku ucapkan terima kasih atas pemberitahuan Bongeq. Lelaki itu memang bekas teman sepermainanku dulu di Besiq, sebelum aku pergi untuk sekolah ke kota. Kutahu ia telah bertukar istri dengan kakaknya, dan ia hidup berbahagia dengan istrinya yang lebih tua dari usianya sendiri.
Tak ada kesulitan kami memaneni rotan karena dengan cara Paman Nangor menebang pohon yang dirambati rotan sega, kami berdua hanya mengukur dan menetak ruas rotan sesuai panjang yang dikehendaki. Dengan cara itu, tak ada bagian rotan yang terbuang percuma, karena seluruh ruas hingga ke ujung dapat diambil. Lagi pula, dengan cara penebangan itu, hutan rotan menjadi muda, sehingga tunas-tunas baru tumbuh dengan kesuburan lebih tinggi jika dibandingkan dengan rumpun-rumpun yang tua. Panen akan lebih cepat dan hasilnya akan meningkat.
Hari pertama kami lalui dengan hasil yang cukup memadai. Jika hasilnya merata, dalam jangka sebulan, luasan lima hektar itu dapat kami paneni seluruhnya. Persiapan beras, ikan kering, garam, dan korek api telah kami bawa dalam jumlah yang cukup. Bahkan, jika kurang, dapat juga dibeli di Muara Niliq atau di Muara Nyuatan, dua kampung yang mengapit kawasan Leok. Sementara sayur-mayur dapat kami cari di hutan, berupa sayur pakis dan umbut-umbutan yang enak rasanya kalau dicampur dengan ikan baung atau belida.
Malam kedua memang ada suara yang seperti orang mengaduh dan mengeluh. Ada juga suara seperti gerak orang menarik sejumlah ruas rotan di tanah yang dilapisi daun-daun kayu mati dan dahan patah. Namun saat pagi, suara-suara itu hilang dengan sendirinya.
Di siang saat kami berdua Paman Nangor mulai lagi merotan, aku tiba-tiba teringat kata-kata Kepala Adat Besar tentang sumpah di bawah tiang bendera. “Kalian berdua harus menggigit taring harimau ini dan batu Pengutuk. Siapa yang bersalah, dia akan diterkam harimau dan dia akan dikutuk batu beraji kematian!”
Mataku sendiri melihat kedua orang yang bersengketa masing-masing menggigit taring harimau dan batu kutukan yang disodorkan Kepala Adat Besar Wana Karti. “Kita hanya butuh waktu seminggu, sejak besok hari. Pasti ada peristiwa yang terjadi. Pemenang dari sengketa ini dapat diketahui tujuh hari lagi!”
Lama kata-kata itu terbenam sampai aku tiba kembali di Leok. Entah mengapa, kedatangan Bongeq, seperti menggali kembali kata-kata yang pernah kupingi lebih dua puluh tahun yang lalu. Kata-kata itu seperti bangkit dari kubur kesilaman dan berbaris menuju ke depan mata, dan mengucapkan maknanya sendiri-sendiri.
Kutahu Kakek Kudung memang terus hidup hingga usia tua, dan bahkan ia harus dituntun oleh cucu dan cicitnya, karena hampir saja tak kuat melangkah, barulah ia meninggal dunia. Namun mengenai Kakek Posa, tak ada kabar yang jelas, karena, kata orang, persoalan cerita tentang kematiannya begitu ditutup-tutupi. Tapi aku sendiri tahu cerita itu, bahwa baru tiga hari ia pulang ke Leok, ia mendenita penyakit aneh, dan kemudian pada hari ketujuh ia mendadak meninggal dunia.
“Matinya mengerikan,” Bongeq kemarin berkisah. “Ia melompat ke sana kemari, sambil berteriak, ‘Jangan Timang! Jangan Timang!’ Sambil ia memegang kepalanya, sebab pada kepala itu seperti dijatuhi berkuintal batu!”
“Siapa yang tahu dan melihat kejadian itu?” aku bertanya.
“Istrinya sendiri.”
“Di mana istrinya itu kini?”
“Ya, sudah mati. Tak lama setelah kejadian itu.”
“Jadi ia ikut kena kutuk?”
“Mungkin juga. Mungkin karena shock. Mungkin juga karena penyakit.”
“Lalu keluarga lainnya? Mantan menantu dan cucu-cucunya?”
“Setelah kematian Kakek Posa, mereka taka da yang berani tinggal di Leok sini. Mereka pindah ke kampung lain.”
“Lalu siapa yang mengurus tanah mereka di sini?”
“Yah, jadi tanah terlantar. Hanya kadang-kadang saja ada keluarga mereka yang melihat, khususnya kalau musim buah. Ada mereka yang datang mengambil durian, pasi, rambai, cempedak, dan langsat.”
“Kasihan juga.”
“Lebih kasihan Kakek Posa sendiri. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, ia sehari-harian terus-menerus melompat-lompat ke sana kemari di dalam lou ini,” Bongeq menunjuk ruang tengah yang luas. “Di atas papan taho itu ia kadang berguling-guling, kadang seperti meninju, persis akting tonil yang memerankan orang gila. Kadang terlihat air matanya meleleh, kadang air liurnya belepotan. Lagaknya selalu seperti orang mengigau!”
Sumpah taring harimau dan batu kutukan membayang di pelupuk mataku. Aneh dan musykil, tak mungkin taring dan batu seperti itu punya kekuatan membuat orang menjadi gila dan mati!
“Mulutnya selalu mengucapkan ‘Jangan Timang! Ampun Timang. Batuq solo, jangan pukul kepalaku! Batuq solo, jangan benturkan kepalaku’!” Bongeq mengucapkan kata-kata Kakek Posa yang ditirukannya seperti meniru mantra belian!
Tiang bendera dan camat berikut wajah para saksi muncul kembali dari masa silam. Lalu asap dupa, beras kuning dan beras merah di dalam mangkuk putih, darah ayam hitam, dan suara Kepala Adat Besar Wana Karti. “Jangan pernah menyesal kalau kutukan datang!” suara itu seperti menjewer kupingku. Waktu itu aku benar-benar tak mengerti apa maknanya. “Karena siapa yang naik saksi dusta akan menanggung sendiri akibatnya! Seumur-umur ia terus-menerus mendukung murka!”
“Benar-benar Kakek Posa mengalami suatu neraka,” Bongeq yang mengatakan tahu cerita selengkapnya dan istri Kakek Posa bercerita dengan sangat meyakinkan. “Jadi jangan meremehkan sumpah taring harimau dan batu kutukan!”
“Lalu apa lagi cerita yang kau ketahui?” Paman Nangor memandang wajah Bongeq.
“Sesekali ia menyanyi. Sesekali Kakek Posa meludah. Sesekali seperti orang merapal mantra. Sesekali ia minta ampun dan menangis tersedu-sedu. Di kali lain ia berteriak, ‘Auuummm!’ seperti teriakan harimau yang marah!”
“Tapi itu kata istrinya. Siapa lagi saksinya?”
“Mantan menantunya dan dua orang cucunya,” Bongeq berkata meyakinkan. “Mereka kewalahan saat berusaha meringkusnya. Kekuatannya luar biasa. Apalagi karena hanya dua orang wanita berikut dua anak yang masih kurang dari dua belas tahun.”
“Dan kesudahannya?” Paman Nangor lagi-lagi memandang ke arah Bongeq.
“la bagaikan orang kesetanan. Mengucapkan kata-kata pengaduh pengeluh dan kadang berteriak mengerikan. Lalu ia terjun ke tanah, menarik pokok-pokok kayu, menghela rumpun rotan, dan menumbangkan beringin yang tinggi dengan gergaji. la bagaikan merniliki kekuatan seribu badak ditambah seribu gajah!”
“Lalu?”
“Setelah itu, ia kembali ke dalam lou, dan tampak semua tenaganya hilang. Dan dengan menarik napas panjang sambil mengeluarkan bunyi aum yang berdesis, napasnya seluruhnya hilang terangkat ke udara.”
***
Malam-malam kami di rumah tua itu memang malam-malam yang menyeramkan. Setiap malam selalu terdengar suara-suara pengaduh dan ratapan yang sayup, bahkan suara tawa dari kegelapan sana. Ada suara-suara seperti orang menarik rumpun rotan, suara beringin rebah, suara auman harimau. Tapi setelah pagi tiba, suara-suara itu hilang bagai dihapus oleh cahaya terang matahari.
Paman Nangor yang sudah cukup berumur mengatakan hal itu hal biasa di dalam hutan yang berumah tua. Jika manusia tidak berhubungan dengan demit atau setan, tak juga berhubungan dengan hantu dan pengasih, semuanya akan hilang dengan sendirinya. Sebab dunia orang hidup dan dunia orang mati saling terpisah tak bisa saling isi-mengisi. Jadi kami berdua dapat tidur nyenyak di rumah tua itu hingga seluruh pemanenan rotan selesai dan kami menghilirkannya dengan rakit lalu menjualnya pada Babah Liem Sun Hwa di Muara Lawa.
Aku mungkin akan segera melupakan kisah Bongeq dan pengalaman masa kanak di SD di ibu kota kecamatan jika tidak terjadi sesuatu yang menggegerkan. Saat aku kembali ke Dempar dan menyerahkan hasil penjualan rotan sega kepada Kakek, tiba-tiba Kakek bangkit dan seperti hendak menerkamku, seperti terkaman seekor harimau. Jika aku tidak segera mengelak, mungkin mukaku sudah tergaruk berdarah terkena cakarannya.
Anehl
Bagaimana mungkin Kakek yang sudah berusia sekitar seratus tahun itu mampu bangkit dengan cepat dan mampu menerkam begitu rupa, seperti kekuatan seekor bison yang liar. Lagi, tak mungkin ia lupa bahwa aku cucunya sendiri.
“Aku mau serahkan uang hasil penjualan rotan dari Leok,” aku berkata kepada Kakek, saat ia sudah duduk mencangkung, seperti kedudukan seekor macan. “Kami berdua Paman Nangor mendapat uang cukup banyak karena harga rotan sega saat ini rneningkat tinggi!”
Kakek diam, matanya liar.
Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan buih, dan lidahnya yang belepotan ludah sirih itu terjulur ke luar. Jawaban yang tak kuduga bukan jawaban kata-kata, tapi auman seperti seekor harimau lapar yang terluka. “Auuumm! Auummm! Auuumm!” dan sekali lagi ia seperti hendak menerkamku.
Aku geser dudukku ke kiri dan Kakek rebah ke depan. Saat itu Nenek segera mendekap Kakek.
“Maaf, ya, Kek? Aku lupa beri darah ayam hitam. Aku lupa beri nasi ketan hitam. Beberapa hari ini aku kelupaan mengasapi dengan akar wangi. Taring harimau dan batu pengutuk lupa diberi sejaji!”
Bulu kudukku jadi merinding.
Mataku seperti melihat terang cahaya. Bukankah penyumpah Kakek Kudung dan Kakek Posa adalah kakekku sendiri, Kakek Wana Karti? Sebagai Kepala Adat Besar, ia punya pengetahuan yang mumpuni dan kewenangan yang sangat luas mengenai persoalan adat dan tradisi leluhur. la selalu dìpanggil untuk urusan memutuskan sengketa antara masyarakat yang bertikai. Dan hanya kakekku di kawasan kampong-kampung itu yang memiliki benda pusaka taring harimau putih berikut batu pengutukan!
Tapi, kini taring harimau penyumpah dan batu pengutuk itu akan memakan kakekku sendiri? Rupanya kutukan tak pernah memandang bulu! Siapa yang membuat perjanjian dengan setan akan membayar harganya dengan mahal!
Badan kakekku bergetar seperti orang sedang sakaw. Matanya memerah nyalang. Mulutnya makin berbusa dan dan mulut yang berlepotan ludah sirih itu terdengar suara, “Auuummm!?”
***
Sendawar, 2003
Catatan:
- lou = rumah panjang orang Dayak
- rampa = pelataran berupa para-para di bawah plafon untuk menyimpan barah-barang berharga
- taho = papan yang dibelah tebal, tidak digergaji
- engkaray= sejenis rambutan, tapi masam dan tidak ngelotok
- rotan sega = salah satu jenis rotan bermutu tinggi dan mahal harganya
- batuq solo = batu licin beraji
- pasi = kapul = mirip buah manggis, kulit buahnya cokelat, daging buahnya manis
- timang = harîmau
- belian = upacara khusus penyembuhan orang sakit.
------------------------------
KORRIE LAYUN RAMPAN. Lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953. Tahun 1971, ia melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Di kota ini ia bergabung dengan kelompok Persada Studi Klub (PSK) yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi. Tahun 1978 ia pindah dan bekerja di Jakarta. Ia pernah memenangkan sayembara penulisan novel, cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistik. Hingga kini ia telah menulis sekitar 300 judul buku sastra meliputi novel, kumpulan cerpen, kumpulan esai, kritik sastra dan puisi. Menulis buku cerita anak-anak sekitar 100 judul, berikut sekitar 100 judul terjemahan cerita anak-anak. Ia juga menulis cerita remaja dan menerjemahkan karya sastra dunia dari sastrawan Leo Tolstoy, Guy de Maupassant, Luigi Pirandello, Anton Chekov, Knut Hamsun, Alexander Pushkin, dan lain-lain. Novelnya Upacara dan Api Awan Asap memenangkan Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976 dan 1998. Novel-novel lain yang ditulisnya adalah Bunga, Lingkaran Kabut, Wanita di Jantung Jakarta, Perawan, dan Matahari. Tahun 2006 mendapat hadiah seni dalam bidang sastra dari Pemerintah RI atas dedikasi dan perjuangannya di dunia sastra selama lebih 30 tahun. Sampai tahun 2011 ia telah mendapat 15 hadiah sastra secara nasional.
Ilustrasi: Bizman