Esai

title

Dulak dan Kearifan Ekologi


(Pendekatan Strukturalisme Genetik)
Penulis: Amien Wangsitalaja | Posting: 21 September 2021

Dari Strukturalisme Genetik ke Dulak

Sosiologi sastra adalah sebuah bidang studi yang mencoba mencari keterkaitan antara seni/sastra dengan masyarakat. Inti ini dirumuskan Wolff (lih. Faruk, 1994:3) yang menganggap bahwa sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general. Keterkaitan antara seni/sastra dengan masyarakatlah yang menyatukan berbagai studi itu.

Salah satu dari pendekatan dalam sosiologi sastra itu adalah strukturalisme genetik. Teori ini dikemukakan Lucien Goldmann (Faruk, 1994:12-21). Karya sastra, dalam pandangan penganut strukturalisme genetik, adalah bagian dari fakta kemanusiaan. Sebagai fakta kemanusiaan, sastra merupakan sebuah struktur yang memiliki arti. Karena mempunyai struktur, karya sastra harus koheren atau cenderung koheren. Karena memiliki arti, karya sastra berkaitan dengan usaha manusia memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosial yang nyata.

Karya sastra bukan hanya struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil strukturasi pikiran subyek kolektif yang berangkat dari situasi sosial ekonomi tertentu. Prinsip strukturalisme genetik berusaha mencari perpaduan antara struktur teks dengan konteks sosialnya karena prinsip pendekatan ini juga mempertimbangkan faktor sosial yang berpengaruh terhadap lahirnya karya sastra dan mengkaji struktur teks yang berkaitan dengan kondisi sosial zamannya. Dengan kata lain, strukturalisme genetik menganggap adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur mental kelompok tertentu atau masyarakat karena keduanya merupakan produk aktivitas struktural yang sama.

Hubungan antara struktur masyarakat dengan struktur karya sastra itu tidak dipahami sebagai hubungan determinasi yang langsung, tetapi dimediasi oleh pandangan dunia atau ideologi. Pandangan dunia adalah istilah bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tententu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif.

Sebagai produk strukturasi dari subjek kolektif, karya sastra memiliki struktur yang koheren dan terpadu. Struktur itu bersifat tematik. Yang diperhatikan dalam struktur ini adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan antara tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya.

Struktur yang koheren itu itu merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Karena itulah untuk memahaminya diperlukan adanya metode dialektik. Dalam metode dialektik ini dikenalkan adanya konsep keseluruhan-bagian dan pemahaman-penjelasan. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial yang membangun keseluruhan itu. Ini disebut konsep keseluruhan-bagian.

Namun, karya sastra sendiri adalah bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Karena itulah, pemahaman mengenai teks sastra sebagai keseluruhan harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskannya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Hal ini disebut konsep pemahaman-penjelasan. Pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.

Dulak adalah sebuah teks sastra berbentuk cerpen yang ditulis oleh cerpenis Kalimantan Timur, Herman A Salam. Cerpen ini termuat dalam buku antologi cerita pendek cerpenis Kalimantan Timur Bingkisan Petir (2005) yang diterbitkan oleh Jaring Penulis Kalitm (JPK) bekerjasama dengan Penerbit Mahatari Yogyakarta. Teks Dulak ini, dilihat dari perspektif strukturalisme genetik, tentulah memiliki keterkaitan dengan konteks sosial atau kondisi jaman ketika teks dilahirkan. Sebagai sebuah struktur, ia memajukan sebuah pandangan dunia tertentu dari subjek kolektif yang diangkatnya.

Dulak bercerita tentang tokoh Burhan, yang bersama sopirnya terjebak di sebuah jalan logging di tengah (bekas) hutan. Jalan logging adalah jalan yang dibuat oleh perusahaan kayu untuk keperluan pengangkutan kayu, yang tadinya merupakan jalan khusus tetapi kemudian dibolehkan dipakai masyarakat umum karena memang hanya jalan milik perusahan ini saja menjadi akses yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman, selain transportasi sungai, tentunya. Jalan itu berdebu saat panas dan becek melengket saat hujan. Mobil Burhan selip dan rodanya amblas dan tidak bisa keluar dari kubangan lumpur.

Setelah berbagai usaha dicoba dan mobil tetap bergeming, mereka pasrah untuk menunggu mobil lain lewat dan menarik mobil mereka. Kebiasaan di tengah hutan adalah orang saling tolong-menolong. Jika ada mobil selip, tak segan mobil lain yang kebetulan lewat akan berhenti dan membantu.

Sampai menjelang malam tak ada mobil satu pun lewat. Saat itu mereka dihampiri oleh seseorang tua yang mengaku tinggal di sekitar tempat mobil mereka selip. Orang itu menawari untuk singgah ke pondoknya, tetapi Burhan menolak dan tetap akan menunggu di mobil. Sampai malam datang ternyata tak ada mobil lain lewat. Dalam kegelapan, dari jauh terlihat cahaya senter. Burhan dan Toni si sopir waspada karena bisa jadi itu adalah perampok. Ternyata itu adalah si bapak tua. Ia membawakan untuk mereka singkong rebus. Mereka pun menyantap singkong itu dengan sedap.

Hari-hari setelah peristiwa itu, Burhan digelisahkan oleh hilangnya selera terhadap makanan. Semua makanan, semewah apa pun, terasa tidak pas di lidahnya. Ia kebingungan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyembuhkan, baik ke dokter maupun ke shinse, tetapi hasilnya nihil. Dalam keadaan demikian ia merenungkan kehidupannya. Dahulu, ia berasal dari keluarga miskin, yang makan pun kesulitan. Kini, ia adalah pengusaha lahan hutan yang serba berkecukupan bahkan hidupnya bermewah-mewahan. Namun, sekarang semua makanan mahal tidak terasa enak di lidahnya.

Akhirnya, ia menemukan kuncinya pada singkong rebus. Ia mengulang kembali perjalanan menempuh jalan logging melintasi (bekas) hutan untuk mencari pondok pak tua untuk dapat merasakan singkong rebus. Dan singkong rebus pun dihidangkan dan ia bersantap dengan nikmat.

Burhan bernafas lega. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding pondok. Yang melintas di pikirannya bukan lagi makanan, tetapi bisingnya mesin cainshaw yang merebahkan pepohonan, deru bulldozer meratakan bukit mengeruk batubara, dan mesin pompa air yang menyedot butiran pasir di palung Mahakam lalu eskavator mengeruk tanah pasir itu. Semua masuk ke perutnya.


Pandangan Dunia Kearifan Ekologi, Subjek Kolektif Masyarakat Peladang Lokal vs Pembalak Hutan

Cerpen Dulak berupaya memecahkan persoalan kemanusiaan di seputar pandangan dunia kearifan ekologi. Dalam cerpen itu, dihadirkan tokoh-tokoh yang mewakili subjek kolektif yang berkepentingan dengan pandangan dunia ini. Latar tempat terfokus pada situasi di jalan logging yang membelah (bekas) hutan. Dengan latar ini, perbincangan tentang ekologi mudah berlangsung. Cerpen sendiri diawali dengan suasana alam yang tidak bersahabat, yang tidak bisa ditebak. Musim kacau karena kondisi alam sudah rusak.

Alam memang tidak bisa dibaca. Baru saja matahari dengan garangnya menyengat bumi, tanpa ada halangan sedikit pun dari awan. Eh, sekarang hujan dengan derasnya turun mengguyur, membuat jalan tanah jadi becek melengket….

Kekacauan musim dan kerusakan alam itu adalah ulah manusia sendiri. Manusia sudah tidak memiliki kearifan ekologi. Manusia mengeksploitasi alam dengan membabi buta untuk memenuhi nafsu mengejar keuntungan materi yang sesaat tanpa memikirkan dampak ekologi yang berkepanjangan yang diakibatkan oleh ulahnya. Tokoh Burhan sendiri mewakili subjek kolektif pembalak hutan, sang perusak lingkungan. Dalam cerpen itu diceritakan Burhan terjebak di tengah hutan adalah ketika ia dalam perjalanan menuju Muara Bengkal untuk mengadakan transaksi bisnis dengan Mister Lim yang akan menyelesaikan pengiriman flooring.

… Tapi, sepertinya usahanya semakin lancar saja. Ilegal atau tidak yang jelas dia telah mengantongi izin. Dengan berdalih membuka perkebunan kelapa sawit, kongkalikong dengan para cukong, suwit-suwit dengan pejabat terkait, izin pengusahaan hutan keluar. Landclearing dilakukan. Ribuan kubik kayu hasil bawaan dikeluarkan tanpa harus membayar pajak, tanpa HPH, IHH atau RPH. Pokoknya semua mudah diatur. Setelah hutan dibuka dan kayu habis dibabat, urusan kredit diurus. Begitu kredit untuk penanaman mengucur dari bank, langkah berikutnya tinggal memanggil LSM-LSM yang bisa dibayar dengan sedikit rupiah. Mereka akan berteriak-teriak agar perkebunan sawit dibatalkan karena melanggar hak ulayat atau tanahnya tidak cocok untuk perkebunan karena bisa merusak struktur tanah. Yach, apa boleh buat, karena pertimbangan ini itu, terutama atas desakan LSM dan instansi lingkungan lainnya, maka perkebunan sawit dibatalkan. Cerdas, khan? Uang sudah didapat, baik dari hasil kayu danjuga kucuran kredit dari bank. Tinggal lapor bahwa usaha gagal. Kredit dianggap macet. Kayu habis? Usaha macet? Oh, tidak. Peluang usaha tetap terbuka. Kini batubara, bongkahan emas hitam jadi primadona baru. Dengan dalih koperasi atau usaha kerakyatan lain, dengan mudah batubara digali. Caranya hampir sama dengan bisnis kayu. Dengan dalih membuka perkebunan rakyat, izin penguasaan lahan diajukan. Beberapa amplop dibagikan. Keluar sudah. Bukan sawit yang ditanam, tapi batubara yang dipanen. Yach, memang enak mencari uang di republik ini. Dan itulah yang dikerjakannya saat ini. Kalau saja ia tidak terjebak dalam kubangan jalan becek ini, tentu ia sudah mengadakan transaksi bisnis dengan Mister Lim yang akan menyelesaikan pengiriman flooring.

Hutan adalah bagian terpenting dari ekologi di pulau Kalimantan, termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Telah terjadi perubahan penting dalam cara pemanfaatan hutan di Indonesia, termasuk di Kalimantan Timur, karena masuknya pihak-pihak dari luar yakni para pemegang HPH yang ingin mengambil kayu-kayu hutan untuk dijual. Kondisi ini mempengaruhi semakin pudarnya kearifan ekologi yang selama ini menjadi spirit untuk bertahan hidup bagi masyarakat setempat.

Masyarakat lokal pedalaman Kalimantan Timur adalah masyarakat Dayak. Pada masanya, masyarakat itu memiliki sistem pengetahuan lokal yang sangat kaya mengenai hutan, tanah, ladang, dan tanaman. Sistem perladangan merupakan inti budaya mereka. Lahajir (2001: 26) memaparkan beberapa pernyataan para peneliti mengenai hal ini. Ave dan King berpendapat bahwa salah satu ciri utama kebudayaan dan masyarakat Dayak di Kalimantan adalah berladang. Dove mengatakan bahwa berladang merupakan suatu kegiatan yang lebih daripada sekadar kegiatan ekonomi dalam kehidupan orang Kantu’. MacKinnon dan kawan-kawan menjelaskan bahwa perladangan padi gunung merupakan landasan kebudayaan dan ekonomi sebagian besar orang Dayak di pedalaman Kalimantan atau Borneo.

Dalam berladang, mereka memperlakukan alam dengan sangat arif. Mereka memiliki etnoekologi tersendiri dalam berinteraksi dengan alam dan dalam berladang. Meskipun sistem perladangan mereka adalah sistem ladang berpindah dengan membakar hutan untuk lahan, tetapi apa yang mereka lakukan sama sekali tidak merusak lingkungan. Mereka memiliki kearifan untuk menentukan lokasi lahan, kapan mulai membabat hutan, seberapa luas boleh dibakar, berapa masa dikerjakan dan berapa masa ditinggalkan untuk menjadi hijau lagi, dan seterusnya.

Namun, etnoekologi ini sekarang tidak lagi berfungsi sebagai pedoman perilaku, tindakan, dan sikap dalam kehidupan mereka. Salah satu penyebab utamanya adalah semakin tidak tersedianya lahan hutan bagi mereka karena terdesak oleh para pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang membabat habis dan menjual hasil hutan mereka. Belum lagi soal illegal logging ‘penebangan liar’.

WALHI menyatakan bahwa setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat destructive logging ‘penebangan yang merusak’. Dephut menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan ilegal senilai 30,42 triliun rupiah per tahun, sementara CIFOR menyatakan bahwa Kalimantan Timur telah kehilangan 100 juta dolar setiap tahunnya akibat penebangan dan perdagangan kayu ilegal, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari bencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan. Permasalahan illegal logging di Kalimantan Timur sendiri telah menjadi semakin membingungkan. Illegal logging telah dipandang sebagai sebuah aktivitas mafia yang seolah tak pernah tersentuh hukum. Beberapa data menyatakan bahwa sekitar 70-90% produk kayu yang beredar saat ini berasal dari illegal logging.

Burhan, Mister Lim, dan kawan-kawan mereka adalah para pelaku perusakan lingkungan dengan membabat hutan. Mereka ini adalah bukan penduduk lokal, bukan para peladang yang memperlakukan alam dengan kebijaksanaan. Peladang setempat diwakili oleh tokoh pak tua yang menawari singkong rebus pada Burhan ketika terjebak di tengah hutan. Dalam paparan akhir cerpen, beberapa kearifan ekologi terlontar dari sikap dan perkataan pak tua ini.

     Pak tua duduk bersila di sudut pondok sambil melinting rokok daun. Dipandanginya wajah tamunya yang asyik benar mengunyak singkong rebus. Walaupun sebelumnya ia sempat heran mendengar penjelasan dari Burhan akan maksud kedatangannya kali ini, namun akhirnya ia memafhumi apa yang dialami oleh tamunya ini.

     “Alam menyatu dalam kehidupa manusia. Begitu yang diperbuat oleh manusia, begitu pula yang diberikan oleh alam pada kehidupan. Alam berkembang jadi guru, begitu kata orang bijak. Hukum alam terjadi untuk menjaga keseimbangan. Keselarasan. Bukan alam tidak bisa dibaca, tetapi memang untuk membaca alam manusia harus arif. Sekarang alam tidak bisa dibaca karena manusia telah naif. Singkong rebus yang Bapak makan ketika perut sedang lapar akan terasa nikmat. Singkong rebus hanya menawarkan bungkahan yang berasa jika pas garamnya, pas matangnya, dan pas waktunya. Manusia tidak pernah lapar, manusia hanya tidak pernah puas.”

     Lelaki itu diam sesaat. Dijentiknya abu rokok di tangannya, sementara Burhan dengan sungguh-sungguh menyimak butiran kalimat yang keluar dari mulut lelaki tua yang kembali menyedot rokok daunnya dalam-dalam kemudian menghembuskan asap panjang.

     “Apalah pengalaman orang tua macam aku ini? Yang kutahu hanyalah memperlakukan alam seperti alam memperlakukan diriku, dengan demikian aku bisa menitia alam. Alam tidak hanya ada di luar tubuh kita, tatapi tubuh kita ini adalah alam. Bagian dari alam. Jka satu rantai terputus, maka putus pula garis kehidupan itu….”

Pandangan dunia kearifan ekologi terdiskusikan melalui persoalan di sekitar singkong rebus. Singkong rebus adalah sebuah makanan yang lahir dari sebuah kearifan ekologi. Ia lahir dari manusia memperlakukan alam dengan bijak. Singkong rebus juga bagian dari kesederhanaan dalam oposisinya dengan keserakahan.

Tokoh Burhan mengalami situasi dulak setelah mengalami peristiwa terjebak di tengah hutan dan ditawari singkong rebus oleh pak tua. Dulak adalah istilah dari bahasa Banjar yang berarti bosan kepada makanan karena terlalu sering dikonsumsi atau terlalu kebanyakan. Burhan, si pengusaha pembalak hutan yang kaya raya itu tidak dapat merasakan lagi kenikmatan dari semua makanan yang dimakannya, semahal apa pun harga makanan itu. Dari situasi inilah dialog tentang kearifan ekologi dimulakan. Burhan teringat kepada singkong rebus hadiah pak tua. Burhan ingin kembali ke alam.

Katanya, untuk membangkitkan selera makan perlu ditambah dengan suplemen yang mengandung multivitamin. Sudah juga dilakukan. Tetap saja selera makannya hilang. Tubuhnya menjadi lemas dan tak bergairah. Burhan kehilangan selera. Setiap makanan yang dicecapnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Bukan kurang garam, terlalu manis, atau kurang asam, tetapi ada sesuatu yang kurang.

     …

     …kini di ujung keputusasaannya mencoba berkontemplasi akan kehidupan yang telah dilaluinya. Perenungan itu membawa pada satu titik nadir.

     “Ternyata, … hanya singkong rebus. Yach, hanya singkong rebus….”

Burhan kembali mencari singkong rebus ke pondok pak tua di tengah hutan. Ia kembali ke alam. Di situ pula diskusi tentang kearifan ekologi terjadi. Pak tua banyak memberikan renungan tentang kearifan memperlakukan alam.

Burhan merasa lega beroleh pencerahan dari singkong rebus dan dari kebijaksanaan pak tua. Dalam katarsis itu, ia kembali diguncangkan oleh pengalaman masa lalunya sebagai perusak lingkungan. Pikirannya dihantui ingatan tentang keserakahan manusia mengeksploitasi alam. Manusia serakah ingin memasukkan semuanya ke dalam perutnya bahkan hingga kakinya tidak mampu menopang lagi.

     Burhan menyandarkan tubuhnya ke dinding pondok seiring dengan hembusan napas kelegaan. Tatapan matanya menerawang ke pucuk bengkirai yang daunnya keperakan ditimpa matahari. Yang melintas di pikirannya kini bukan lagi makanan, tetapi bisingnya mesin cainshaw yang dengan pongahnya merebahkan pepohonan, juga deru bulldozer meratakan bukit mengeruk batubara yang sedang tertidur lelap, juga nyaringnya teriakan mesin pompa air yang menyedot butiran pasir di palung Mahakam, lalu tangan-tangan kokoh eskavator mengeruk tanah pasir yang kemilau keemasan. Semua masuk ke dalam mulutnya, lidahnya kelu mencecap semua yang dikunyah yang kemudian teronggok berat di dalam perutnya yang terus membesar hingga kakinya tak lagi mampu menopang.


Dulak sebagai Pemenang

Akhir cerita adalah situasi labil ketika Burhan tidak bisa mengendalikan perbenturan antara idealita dengan realita. Burhan mengiyakan permenungan tentang kearifan ekologi, tetapi realitas kehidupannya yang dipenuhi oleh perilaku destruktif terhadap alam terus melintas di pikirannya.

Burhan terjebak dalam dulak. Ia terlalu banyak mengonsumsi perbuatan destruktif dan tidak bijak terhadap alam itu. Ia terlalu banyak telah merusak alam. Ia dihantui pikiran tentang cainshaw, bulldozer, mesin pompa, dan eskavator. Ia memakan semuanya. Ia dulak.

Bagian-bagian dari cerpen ini menyokong kepada keseluruhan tema yang berkisar pada pandangan dunia kearifan ekologi. Persoalan kearifan ekologi itu dipecahkan dengan menghadirkan tokoh serakah perusak lingkungan dan tokoh sederhana pemerhati lingkungan. Di akhir perbenturan antartokoh ini, permenungan tentang kearifan ekologi diiyakan, tetapi kenyataan tentang perusakan lingkungan yang tak bisa dihindari dimunculkan. (***)


Daftar Pustaka

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________. 2000. Perlawanan Atas Diskriminasi Rasial-Etnik Konteks Sosial-Ideologis Kritik Sastra Tionghoa Peranakan. Magelang: Indonesiatera.

_________. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lahajir. 2002. Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang Etnografi Lingkungan Hidup di Dataran Tinggi Tunjung. Yogyakarta: Galangpress.

Rampan, Korrie Layun (ed.). 2005. Bingkisan Petir Antologi Cerita Pendek Cerpenis Kalimantan Timur. Yogyakarta: Mahatari.


* Cerpen Dulak dapat dibaca dalam menu Cerpen di situs web ini

Share:
Esai Lainnya