Saut Situmorang pernah bilang, “kalau ada orang menilai puisi atau karya sastra lainnya dengan mengatakan ‘menurut perasaan saya’, sudah tinggalkan saja orang itu, tidak ada gunanya”. Pernyataan Saut itu pun mengundang respons dan bukan tidak mungkin menuai antipati dari sesama pegiat sastra.
Samsir Marangga, seorang Sarjana Sastra lulusan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman, Samarinda, yang kini melanjutkan studi magister di bidang serupa di Universitas Airlangga Surabaya, pernah menulis topik yang sama. Tentang kritik sastra tanpa “ilmu sastra”. Judul tulisannya Hilangnya kesakralan puisi dan Meluruskan karya sastra dengan kritik sastra. Kedua tulisan Samsir ini dipublikasi di laman media sosialnya dan di sebuah koran di Samarinda. Hasilnya, ramai dibincangkan publik, baik di media sosial, maupun di forum-forum pemerhati sastra di Kaltim. Saya termasuk penikmat obrolan itu dan mendokumentasikan kedua tulisan Samsir di atas.
Dari peristiwa Saut dan Samsir itu saya pun bercermin. Rupanya, ada sedikit kebelumpahaman sebagian kalangan mengenai istilah kritik ini, terlebih kritik sastra. Kritik dipahami sebagai “celaan, cemoohan, dan ajang mencari-cari kesalahan (karya) orang”. Ada pula yang lantas menagih-nagih solusi ketika dikritik - kalau ini terutama pembela rezim yang sedang barangkali. Itu lebih keliru lagi. Padahal dalam ilmu sastra wujud kritik sastra itu tidak demikian. Kritik sastra, minimal terdiri dari dua hal, yakni analisa dan evaluasi terhadap sebuah karya. Pun, jika ada solusi, itu bonus tapi tak mesti ada.
Dikiranya lagi, dari membaca tulisan Samsir oleh sebagian kalangan, bahwa kritik sastra itu hanya milik “orang sastra” - mahasiswa dan sarjana sastra - saja. Padahal, bukan itu maksudnya. Maksud keduanya (Saut dan Samsir) yang saya pahami - sebagai sesama sarjana sastra - adalah “come on, sastra itu ada ilmunya, tolong jangan semena-mena dan semau-mau “perasaan” anda dalam menilai dan meng-kritik karya sastra”.
Intinya, karena sastra adalah sebuah ilmu, alias ada ilmunya, gunakanlah ilmu itu. Kalau tidak tahu ilmunya, serahkan kepada ahlinya. Jika yang ahli adanya seorang pembelajar atau sarjana sastra, apa boleh buat. Tapi, kalau ada yang ahli namun bukan mahasiswa dan sarjana sastra, lebih bagus lagi. Yang tak elok tentu adalah, tak tahu ilmunya lantas diserahi tanggungjawab untuk menilai dan mengkritik sastra. Terlepas dia “orang sastra” - belajar sastra secara akademis - atau bukan, yang penting menguasai ilmunya.
Saut dan Samsir, keduanya adalah sarjana sastra, menulis kritik dan menerbitkan buku puisi. Barang tentu lulus mata kuliah kritik sastra. Pun tentu telah menulis penelitian sastra secara ilmiah. Dari situ, saya bisa memahami mengapa keduanya, dan mungkin banyak lagi orang di luar sana, begitu getol membela “ilmu sastra”. Sebagaimana barangkali para dokter banyak yang geleng-geleng kepala melihat sarjana sastra (kalau ada) begitu “seolah-olah” ahli bicara tentang Covid-19 dari kacamata medis. Mungkin juga ini gejala “pasca-kebenaran” yang tak lagi menghormati basis keilmuan dan keahlian suatu persoalan.
Ilmu sastra paling tidak ditopang oleh tiga mata pengetahuan : teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Jika hendak melakukan penelitian ilmiah, tidak boleh tidak seorang pembelajar sastra mesti khatam dan lulus metode penelitian sastra. Jadi, teori sastra, sejarah sastra, metode sastra, dan kritik sastra adalah pilar-pilar utama ilmu sastra. Saya meyakini, inilah yang dibela habis oleh Saut dan Samsir.
Lantas, bolehkah orang bukan mahasiswa sastra dan non-sarjana sastra menulis atau melakukan “kritik sastra”? Jawabannya tentu saja boleh, tidak ada yang berhak melarang. Dengan catatan, tentu asal tahu ilmunya, dan atau mampu melakukannya. Perkara ini bukan soal boleh atau tidak, ini soal “pantas” atau “tidak”. Tidak “etis” dan kurang pantas saja tentunya ada pemandangan (mohon maaf) “orang sok tahu” suatu perkara yang ada ilmu dan institusi keilmuannya, padahal dia sendiri tidak mengetahuinya. Jika saja orang itu mumpuni, tentu lain cerita. Itu suatu hal yang patut diapresiasi dan dihormati.
Bukankah persoalan “etis” itu adalah persoalan kepantasan? Dan, bukan persoalan benar salah atau boleh tidaknya. Itu yang perlu diluruskan dan perlu dipahami agar tidak keliru dalam menilai sikap “kritis” atas praktik menilai dan mengkritik sebuah karya sastra di luar sana.
Yang dikritik, dikoreksi, diingatkan, atau bahkan mungkin “dikutuk” oleh Saut dan Samsir adalah ketika seseorang “merasa” dan “mendaku” sedang mengkritik atau menilai sebuah karya sastra, namun sebenarnya hanya sedang “merasai/ menikmati” dan “mengomentari” karya sastra itu. Tentunya penilaiannya tergantung “perasaan” sang komentator, dan minus “ilmu sastra” apatahlagi metode (ilmiah)-nya. Tak ada perspektif intinya. Syukur- syukur jika tidak menganggap “ilmu dan metode sastra” itu tidak penting dipelajari hanya karena sudah menganggap dirinya mampu berbicara dan menilai karya sastra (dengan perasaannya) meski tak harus mempelajari ilmunya. Hal seperti ini tentu kurang bagus -untuk pemajuan literasi- dibiarkan berlarut-larut. Sesuai dengan judul salah satu tulisan Samsir di atas, bahwa karya sastra (dan kehidupan bersastra) harus “diluruskan” dengan kritik sastra.
Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa belajar ilmu sastra itu, tak mesti di institusi resmi, sebagaimana orang di luar pembelajar akademis sastra sering bilangkan. Itu tak salah memang. Tak ada yang berhak juga memaksa. Hanya saja memang akan lebih baik jika belajar di institusi sesuai bidangnya dan pada “ahlinya”. Yang paling penting sebetulnya adalah mampu memahami dan menerapkan ilmu serta metodenya sesuai “kaidah” keilmuan. Kelebihan dunia akademik sesungguhnya adalah kemampuan “saintifikasi” dan “sistematisasi” pengetahuan, termasuk dalam menilai dan mengkritik karya sastra. Jika itu mampu di lakukan tanpa harus menempuh jalur akademis, tentu sangat menggembirakan dan luar biasa. Hal itu layak diapresiasi dan dihormati.
Kritik Sastra dan Penciptaan Karya
Dalam ilmu sastra, sayangnya memang tidak dikenal kritik sastra perspektif “perasaan”. Yang ada adalah kritik sastra dengan deretan perspektif seperti formalisme struktural, feminis, ekokritik, marxis, postruktural, posmodern, poskolonial, multikultural, psikoanalisis dan sederet lagi perspektif kritik sastra lainnya yang beriringan dengan perkembangan filsafat dan teori-teori sosial humaniora. Terang bahwa kegiatan membaca dan menilai sastra (baca: kritik sastra) bukanlah urusan “kaleng-kaleng”. Ada ilmu pengetahuan berikut teori dan metode di dalamnya yang dilakukan secara sistematis.
Dengan banyaknya perspektif yang perlu dipelajari seorang mahasiswa dan sarjana sastra; dari teori, sejarah, hingga penerapan kritiknya terhadap karya di atas, maka saya pun dapat menghargai “perasaan kritis” Saut dan Samsir menyaksikan “ilmu”-nya seperti “diobok - obok” sesuka hati oleh orang yang menurut tolok ukur ilmu sastra, sayangnya tak (terlalu) sesuai, namun seolah dibiarkan begitu saja atau malah seringkali seperti “dirayakan”. Tentu tak berlebihan jika Saut dan Samsir merasa pantas membela marwah (dignity) ilmu yang telah mereka pelajari bertahun-tahun itu sekaligus menjalankan tugas kesarjanaan mereka untuk meluruskan yang dinilai sudah menyimpang, minimal yang menurut mereka tak berkesesuaian secara keilmuan sastra.
Hal itu tak pantas lantas dibilang “egoisme sektoral”, saya kira. Tugas para sarjana memang sebisa mungkin mengingatkan secara elegan. Paling minimal membuat tulisan dan menyebarkan gagasannya kepada publik untuk dibaca, dibincangkan, dan diperdebatkan hingga dikritik kembali kalau perlu. Hal itu baik untuk bahan refleksi sekaligus jalan pemajuan literasi, khususnya di Kaltim.
Dari para ilmuwan sastra, salah satunya Terry Eagleton, kita belajar bahwa tugas kritik adalah selain menilai karya, juga sekaligus mendidik pembaca. Tepatnya mendidik selera pembaca, lebih tepat lagi mendidik “publik” pembaca. Bagaimanapun, sastra tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang netral. Pun, juga tidak bisa dimaknai sebagai suatu hal yang bebas nilai. Secara kritis, sastra dapat dilihat sebagai sebuah alat hegemoni, alat mempengaruhi pembaca dan masyarakat — disadari atau tidak, diakui atau tidak. Seperti media massa dan beragam rupa media lainnya, sastra adalah seni yang berisi keindahan estetis sekaligus kandungan politis nan ideologis. Karya sastra merupakan bagian dari diskursus publik. Olehnya, kritik diperlukan sebagai bagian dari tanggung jawab publik, selain untuk mendidik khalayak pembaca, bahkan juga penulisnya.
Sebagai catatan kesaksian, bayangkan bagaimana suasana hati dan pikiran para penggemar dan pembaca karya Faisal Oddang - sebagai pemenang beberapa kali penghargaan sastra di level nasional- menyaksikan karya penulis idolanya dikritik habis dari perspektif poskolonial oleh Harry Isra - yang menjadi juara sayembara kritik sastra DKJ 2017. Karya Oddang disebut “Memandang Seperti Penjajah” dalam kacamata poskolonial yang digunakan oleh Harry Isra. Dan, Oddang mengakui secara terbuka bahwa sebelum adanya kritik tersebut dia sendiri tidak / belum terlalu paham apa dan seperti apa itu cara pandang poskolonial.
Dengan jiwa besar, di hadapan para pembaca dan penggemarnya (bahkan barangkali juga pengagum dan pemuja setianya), Oddang mengakui dan menerima secara terbuka kritik elegan itu . Bahkan, di forum diskusi yang mirip pengadilan sastra baginya itu, yang dilaksanakan di sebuah lapangan depan aula kampusnya, Oddang justru berterima kasih kepada pengkritik karyanya. Dirinya seperti paham, bahwa begitu karyanya sudah dilepas ke publik, dia sebagai pengarang “sudah mati”, dan karyanya adalah milik pembaca, milik publik. Maka, begitu ada kritik terhadapnya, itu adalah hak publik sebagai konsekuensi dari karya sastra sebagai bagian dari diskursus publik.
Kerendahan hati Oddang, diikuti dengan perkataan bahwa dirinya akan terus belajar lagi dan memperbaiki aspek pengkaryaannya adalah kebesaran jiwa yang menjadi penanda bahwa dirinya kelak akan menjadi penulis “besar”. Tepatnya, penulis yang turut dibesarkan oleh kritik yang dihormatinya secara sadar.
Peristiwa berkesan di atas dihelat lima tahun lalu, tepatnya tahun 2016. Sebagai refleksi, bagi yang mengenalnya, silahkan menilai masing – masing bagaimana Oddang dan Harry bertumbuh mekar hari ini setelah lima tahun dari pergulatan intelektualnya kala itu. Saya beruntung dapat menyaksikan peristiwa langka itu.
Kisah dan kesaksian di atas adalah salah satu contoh bagaimana “kritik sastra” mendidik pembaca, sekaligus penulis / pengkarya itu sendiri. Ada evaluasi dan asupan bergizi terhadap karya dan penciptaan karya di situ. Kisah itu pula adalah penanda kapasitas literasi masing – masing antara pengkarya dan kritikusnya.
Institusi (Kritik) Sastra dan Sosiologi Pengetahuan
Kalimantan Timur memang secara sosiologis baru sekitar 12 (dua belas) tahun terakhir memiliki institusi pendidikan tinggi yang kefokusan bidangnya belajar Sastra, khususnya Sastra Indonesia. Itu kalau kita menjadikan Universitas Mulawarman (Unmul) sebagai tolok ukur utama. Meski, di Universitas Balikpapan (Uniba) setahu saya ada jurusan Sastra Inggris, di Fakultas Sastra, lebih duluan daripada Unmul.
Sivitas Akademika menyebut jurusan sastra di Fakultas Sastra dan Fakultas Ilmu Budaya sebagai jurusan “sastra murni”. Artinya kefokusan ilmunya secara institusional belajar sastra (dan bahasa) secara dominan. Uniba duluan memiliki institusi ini meski untuk sastra Indonesia, Unmul tetap yang pertama saya kira, di Kaltim, bahkan di Pulau Kalimantan (Indonesia) ini. Soal bagaimana sastra dipelajari di kampus Uniba, dan bagaimana dampaknya ke luar kampus, saya tidak tahu persis dan belum pernah meneliti lebih jauh.
Jurusan lain yang belajar sastra sebetulnya adalah pendidikan bahasa dan sastra, baik Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, maupun Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris dan atau pendidikan bahasa dan sastra lainnya. Kalau ini, Kalimantan Timur sudah lama memilikinya untuk menyuplai kebutuhan guru bahasa dan sastra. Institusi ini, selain fokus studinya adalah pendidikan, bisa dibilang mayoritas mata kuliahnya diarahkan untuk mempelajari bagaimana berbahasa yang baik dan benar. Pun, ada mata kuliah sastra, hingga kritik sastra, dia tidak dominan sebagaimana jurusan sastra di Fakultas Sastra dan Fakultas Ilmu Budaya. Itu penilaian sosiologis saya.
Dengan segala hormat dan kerendahan hati, pada bagian reflektif ini, saya ingin mengatakan bahwa jika (tentunya tidak harus) Universitas negeri terbesar di sebuah provinsi, seperti Universitas Mulawarman di Kaltim dan Universitas Borneo di Kaltara, menjadi tolak ukur kehadiran sebuah Fakultas (Faculty: to do) yang mempelajari sastra secara akademis, maka sesungguhnya Kaltim baru memulainya 12 tahun lalu. Dengan tolok ukur kehadiran Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman yang didirikan pada tahun 2009. Itupun, efektifitas pembelajaran sastra secara massif dan tersistematis perlu dicek lagi kapan berjalan secara efektif mengingat di awal pendirian setiap institusi, khususnya sebuah institusi pendidikan di perguruan tinggi tentu membutuhkan penyesuaian dan permbenahan di awal berdirinya. Baik secara kurikulum maupun ketersediaan tenaga pengajarnya.
Dalam benak kecil saya, pernah terbersit satu perasaan haru bercampur sendu ketika menyaksikan sebuah pamflet Dies Natalis ke-60 dari satu Fakultas Ilmu Budaya (dulunya bernama Fakultas Sastra (FS), dulunya lagi bernama Fakultas Sastra dan Filsafat sebelum diubah dari Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS) ) di wilayah lain Republik ini, dimana di saat itu FIB Unmul juga hendak merayakan Dies Natalis-nya yang ke-10. Itu tepat pada tahun 2019 lalu sekaligus FIB Unmul diresmikan sebagai Fakultas defenitif setelah disahkan oleh Dikti. Jika FIB yang ber-Dies Natalis ke-60 itu adanya di Pulau Jawa dan Bali, tentu bisa dimaklumi, karena pendidikan modern kolonial mula - mula memang dihadirkan di sana, tentu dengan kepentingan kolonial kala itu juga. Namun, wilayah tempat kampus tersebut berdiri, serupa dan hampir semasa saja dengan kehadiran Unmul di Kaltim. Saya pun lantas menghitung, ada selisih 50 tahun (1/2 abad) dari kehadiran institusi Fakultas Sastra / Fakultas Ilmu Budaya dari keduanya.
Saya pun mencari makna dan menanyakan ke seorang “profesor” apa arti dari selisih 50 tahun alias setengah abad itu. Kode jawaban dari Profesor itu adalah dengan menyebut nama besar seorang Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu. Diskusinya panjang kali dalam soal Sosiologi Pendidikan, Sosiologi Budaya, terkhusus lagi Sosiologi Sastra. Lebih spesifik lagi sosiologi pengetahuan. “Institusi”, termasuk institusi kebudayaan, terkhusus lagi institusi sastra, memang menjadi satu subjek pembahasan serius dalam kajian sosiologi budaya dan sosiologi sastra.
Keberadaan institusi sastra secara akademis di Perguruan Tinggi penting dicatat karena bertalian dengan satu bidang kajian dalam sastra yakni Sosiologi Sastra, seperti disebut di atas. Tentu jurusan sastra di Perguruan Tinggi bukanlah satu - satunya penentu pemajuan dunia sastra di masyarakat Kaltim. Tulisan ini memang tidak bermaksud mengatakan itu. Tapi, mengabaikan kehadiran institusi perguruan tinggi dalam membaca perkembangan (sejarah) pemajuan sastra, tentu juga adalah hal yang tidak cukup. Seperti ada yang kurang.
Institusi pendidikan itu penting dalam rangka “mensistematisasi dan mensaintifikasi pengetahuan” yang berserak di pengalaman banyak masyarakat. Termasuk di masyarakat sastra. Peran “mensistematisasi dan mensaintifikasi pengetahuan” oleh Perguruan Tinggi inilah yang tidak banyak dimiliki oleh institusi atau komunitas lain di luarnya. Pun, peran ini juga yang membedakan peradaban Eropa - yang menemukan, mengembangkan dan menyebarkan sains dan teknologi di era kebangkitannya - dengan peradaban sebelumnya, sebut saja misalnya peradaban Islam, China dan India. Peradaban Eropalah yang dianggap paling berhasil “mensistematisasi dan mensaintifikasi pengetahuan” yang diserapnya dari peradaban - peradaban lain. Meski, Eropa dikenal bukanlah penemu dan perintis banyak ilmu - ilmu itu, namun peran “mensistematisasi dan mensaintifikasi” hingga mampu “menginstitusionalisasi” pengetahuan di Universitas dan di institusi ilmu pengetahuan lainnya, Eropalah jawaranya. Dunia mengakui itu. Kita pun belakangan mengadaptasi sistemnya.
Dengan begitu, institusi sastra di Perguruan Tinggi dan komunitas sastra di masyarakat, meminjam kalimat Profesor Faruk, Guru Besar Ilmu Sastra UGM Yogyakarta, “mestilah saling menghidupi dan saling mengasupi.” Barangkali, itu mengapa di UGM ada Pusat Kebudayaan — selain Pusat Studi Kebudayaan— sebagai wadah bertemunya para seniman dan sastrawan, budayawan dengan para mahasiswa dan sarjana - sarjana sastra untuk saling mengasupi. Saling asih, asuh, dan asah dalam filosofi Jawa-nya, yang sempat diajarkan kepada kami selaku pembelajar oleh salah satu Profesor di sana.
Catatan Reflektif
Masyarakat punya bahan dan kaya pengalaman. Kampus punya ilmu, metode dan kemampuan mensistematisasi pengetahuan. Perjumpaan dan pertalian itulah yang mestinya dilakukan. Apa yang sering disebut sebagai “ego sektoral” mestinya dihilangkan. Kolaborasi adalah istilah dan praktik populer di abad ke-21 ini yang layak diadopsi. Masyarakat dan kampus mesti menyatu.
Secara sosiologi pengetahuan dan kacamata institusional akademis sastra, Kaltim memang mesti diakui memiliki selisih setengah abad dengan wilayah lain di Indonesia. Namun, rupanya paling pertama di Kalimantan yang memiliki Fakultas Ilmu Budaya, dimana di dalamnya terdapat jurusan sastra “murni”. Kita tak perlu berkecil hati dan merendah diri (merasa inferior) karenanya. Pun, tak perlu pula berbesar kepala dan membusung dada untuk menyikapinya. Self denial, hanya menambah daftar tunda pembenahan internal yang didasari akan kesadaran kritis untuk berbuat lebih baik dan memajukan kebudayaan.
Menyadari posisi sosiologis dan pentingnya peran institusionalisasi di atas, saling memuji tentu baik, namun tak boleh berlebihan. Kita mesti berbenah banyak untuk bisa berkontribusi lebih baik untuk peradaban dan keadaban di Bumi Etam. Kritik berbasis ilmu pengetahuan perlu dan penting untuk saling mendidik. Terutama dalam kehidupan bersastra dan berkebudayaan. Kapasitas literasi dan indeks kehidupan berbudaya adalah tugas bersama untuk ditingkatkan.
Sebagai cerminan akan pentingnya kehidupan berkebudayaan, tahun lalu Yogyakarta dan Bali sebagai pemilik Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang tinggi, dinilai mampu mengatasi pandemi Covid-19 secara efektif. Salah satu faktor penting yang dicatat para ahli dan peneliti budaya adalah “tingkat kesadaran dan partisipasi” masyarakatnya yang tinggi. Selain itu, bekerjanya lapis - lapis kebudayaan di tengah masyarakat juga menjadi faktor penting yang ditelisik lebih dalam.
Kalimantan Timur juga mencatat keunikan serupa meski tak menyeluruh. Kabupaten Mahakam Hulu membuktikan beberapa bulan awal mekanisme budaya masyarakatnya dan didukung oleh kebijakan pemerintahnya, mampu bekerja dan menahan angka penyebaran covid -19 di angka nol alias zero case.
Literasi, berikut kapasitas yang mengikutinya, tak mesti dibaca pada soal baca tulis semata. Literasi melampaui soal baca tulis saja. Meminjam konsep Alwy Rachman, sebagai Budayawan dan Akademisi Ilmu Ilmu Humaniora, bahwa kapasitas literasi adalah kapasitas membaca kebudayaan sekaligus kemampuan untuk dibaca (baca: dikritik) oleh kebudayaan. Literasi rupanya adalah aksi membaca sekaligus kesediaan untuk dibaca dan dievaluasi. Tentunya untuk kepentingan saling mendidik dan bertumbuh bersama. Di situ kapasitas menilai dan kesediaan dikritik menjadi penting.
Jika dikaitkan dengan kemampuan mengkaji karya sastra dan mengkritik kebudayaan, maka kapasitas literasi sesungguhnya adalah cermin kemampuan memahami dan menilai suatu karya dengan kapasitas dan keilmuan memadai sekaligus kebersediaan dengan rendah hati dan jiwa besar untuk menerima kritik dan hasil evaluasi secara elegan.
Jika itu sudah dapat kita amalkan dengan baik, niscaya kapasitas dan level literasi manusia di Kaltim dapat mencapai pada taraf tinggi sekaligus menjadi masyarakat berkeadaban luhur secara menyeluruh. Sekaligus, sikap kritis dan teguran intelektual ala Saut dan Samsir seperti dilukiskan di awal tulisan ini, akan semakin berkurang seiring semakin menebalnya kapasitas literasi dan kecendikiaan kita di hadapan “kritik”, khususnya kritik sastra “yang berperspektif”.
Semoga ikhtiar kita menuju ke sana. (***)
----------------------
NASRULLAH MAPPATANG. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, Samarinda. Ingin terus berlatih menulis esai dan kritik sastra. Sesekali menulis opini dan mengulas film yang ditonton untuk dipublikasi di media-media cetak maupun media online. Pendidikan formal di bidang sastra diraih di jurusan Sastra Inggris dan pascasarjana Kajian Budaya dan Media. Keseharian lebih banyak digunakan untuk menata perpustakaan pribadi dan aktif belajar bersama penulis muda di perkumpulan Sekolah Sastra (Skolastra) sembari berusaha menyiapkan diri untuk melanjutkan studi. Tulisan-tulisannya dapat dibaca di laman pribadi ullamappatang.com dan dapat dikontak melalui surel nasrullah@madahetam.com