Esai

title

Ihwal Bahasa; Hal-Hal yang Terlewatkan


Penulis: Imam Budiman | Posting: 27 Agustus 2021

Bagaimana Bahasa Hidup dan Tumbuh di Sekitar Kita

Bahasa, kita mafhum, merupakan sarana komunikasi dalam kehidupan. Kita dapat saling terhubung karena bahasa yang dituturkan. Seorang ayah yang tengah asyik berbicara panjang lebar bersama rekan kantornya melalui gawai. Kerumunan ibu yang kerap bergunjing di kantin sekolah sembari menunggu anak mereka keluar kelas. Bahkan, percakapan dua balita umur satu tahun yang tidak dapat kita, orang dewasa, mengerti maksudnya apa.

Semua terhubung karena satu hal: Bahasa.

Kita tidak dapat membayangkan bagaimana dunia tanpa bahasa. Suara dan bunyi yang keluar tidak beraturan, tidak dapat dipahami. Berantakan. Dunia tidak akan pernah berlangsung sampai hari ini. Satu sama lain berselisih karena tidak saling mengerti keinginan dan tujuan. Mungkin, kita bisa saja menggunakan isyarat sebagai alat komunikasi. Namun, alangkah terbatasnya bahasa isyarat untuk menjelaskan sesuatu yang rumit dan terperinci.

Bahasa menjadi alat utama untuk sosialisasi antar sesama makhluk sosial. Bahasa, dalam banyak kasus dan peristiwa, dapat mendamaikan seteru dan ketegangan. Semisal, kita bisa telusuri kembali bagaimana bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Diplomasi yang dilakukan para tokoh dalam berbagai bentuk perjanjian. Negosiasi panjang yang terus dilancarkan, demi titik terang menemukan kemerdekaan bangsa. Semua dibalut dengan kemampuan berpolitik serta kepiawaian berbahasa yang baik dan terdidik.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mengamati bagaimana bahasa tumbuh dan “mementaskan dirinya” di sekitar kita. Selalu ada yang khas: Bahasa antara penjual dan pembeli yang sedang tawar-menawar di pasar. Bahasa yang digunakan seorang ibu untuk menasihati anaknya. Bahasa seorang guru dalam menerangkan materi atau rumus yang begitu sukar dipahami peserta didiknya. Bahasa seorang pemalak kepada pedagang asongan di terminal. Bahasa seorang Kiai yang mengajarkan ilmu agama dalam pengajiannya. Bahasa seorang lelaki yang kasmaran kepada perempuan yang dicintainya.

Tanpa harus dijelaskan bagaimana proses dan perbedaan amsal di atas, kita sudah mengerti betapa bahasa merupakan hal yang niscaya dalam kehidupan kita sehari-hari, bahkan untuk hal yang paling privasi. Seorang bayi yang lahir dari orang tua muslim, dianjurkan untuk dikumandangkan azan di telinganya. Makna dan kalimat yang terkandung dalam azan, menjadi bahasa pertama yang diajarkan oleh orang tua muslim tersebut kepada si bayi untuk mengenali keberadaan Tuhannya.

Tanpa tutur, tanpa bahasa, kita tidak sepenuhnya menjadi manusia.

Bahasa memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia. Mengutip para bijak bestari, manusia sebagai makhluk yang memiliki akal budi, dapat mengupayakan dirinya untuk memiliki cara bertutur yang baik serta mengedepankan unsur logika, etika, dan estetika. Sederhananya, setiap ide atau gagasan yang ingin disampaikan harus memiliki nalar logis serta rasional, disampaikan dengan cara yang baik dan santun, serta dibalut keindahan dalam setiap unsur kalimatnya. Meski begitu, catatan ini tidak ingin lebih jauh membahas ketiga hal tersebut, sebab ada hal yang lebih mendasar untuk kita perbincangkan di sini.


Bahasa Indonesia dari Waktu ke Waktu

Bahasa Indonesia pernah mengalami banyak perubahan sejak pertama kali dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Semisal, penulisan pada bahasa Indonesia di zaman kemerdekaan dan saat ini memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Penulisan huruf “c” sekarang, dulunya ditulis “tj”. Huruf “u” dulunya “oe”. Perubahan ini hanya berpengaruh pada cara penulisannya, dan tidak berpengaruh pada cara pengucapan. Dalam pengucapan, huruf tersebut tetap sama saja sama sampai saat ini.

Keunikan ini tidak membuat bahasa Indonesia menjadi rumit. Semua tergantung pada diri kita sendiri dalam menanggapi bahasa ini. Jika kita menanggapi hal ini dengan baik, pastilah hasil yang akan kita dapatkan sesuai dengan keinginan kita. Namun, jika kita hanya memandang remeh dan tidak mempelajari ini dengan sungguh-sungguh, pastilah ketidakpuasan yang akan menjadi hasil akhirnya.

Untuk memudahkan menelusuri perkembangan bahasa Indoensia, saya coba mengutip Prakata dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, edisi keempat, tahun 2016, mengenai sejarah singkat ejaan bahasa Indonesia.

1. Ejaan Van Ophuijsen (1901-1947)

Sejarah ejaan Bahasa Indonesia diawali dengan ditetapkannya Ejaan van Ophuijsen pada 1901. Ejaan ini menggunakan huruf Latin dan sistem ejaan Bahasa Belanda yang diciptakan oleh Charles A. van Ophuijsen. Ejaan van Ophuijsen berlaku sampai dengan tahun 1947. Ejaan ini pula yang mengantarkan Indonesia sampai kepada kemerdekaan. 

2. Ejaan Republik/Ejaan Soewandi (1947-1956)

Ejaan Republik berlaku sejak tanggal 17 Maret 1947. Pemerintah berkeinginan untuk menyempurnakan Ejaan van Ophuijsen. Hal tersebut telah dibicarakan dalam Kongres Bahasa Indonesia I, pada tahun 1938 di Solo. Kongres Bahasa Indonesia I menghasilkan ketentuan ejaan yang baru yang disebut Ejaan Republik/Ejaan Soewandi.

3. Ejaan Pembaharuan (1956-1961)

Kongres Bahasa Indonesia II digelar pada tahun 1954 di Medan. Kongres ini digagas oleh Menteri Mohammad Yamin. Dalam Kongres Bahasa Indonesia II ini, peserta kongres membicarakan tentang perubahan sistem ejaan untuk menyempurnakan ejaan Soewandi.

4. Ejaan Melindo (1961-1967)

Ejaan ini dikenal pada akhir 1959 dalam Perjanjian Persahabatan Indonesia dan Malaysia. Pembaruan ini dilakukan karena adanya beberapa kosakata yang menyulitkan penulisannya. Tetapi, rencana peresmian ejaan bersama tersebut gagal karena adanya konfrontasi Indonesia dengan Malaysia pada 1962.

5. Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) (1967-1972)

Pada 1967, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang sekarang bernama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengeluarkan Ejaan Baru. Pembaharuan Ejaan ini merupakan kelanjutan dari Ejaan Melindo yang gagal diresmikan pada saat itu.

6. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) (1972-2015)

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) tercatat sebagai Ejaan yang paling lama bertahan selama ini pasca kemerdekaan Indonesia. Ejaan ini berlaku sejak 23 Mei 1972 hingga 2015 dan diawali pada masa menteri Mashuri Saleh. Ejaan ini menggantikan Ejaan Soewandi yang berlaku sebelumnya. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ini mengalami dua kali perbaikan yaitu pada 1987 dan 2009.

7. Ejaan Bahasa Indonesia (2015-sekarang)

Ejaan Bahasa Indonesia ini diresmikan pada 2015 di masa pemerintahan Joko Widodo dan Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ejaan ini merupakan standar penulisan baku kita hari ini. Di sekolah, misalnya, para peserta didik diminta untuk mengakses dan merujuk PUEBI jika ada kaidah penulisan yang belum dipahami.


Apakah Kita sudah Memahami Bahasa Indonesia?

Saya akan coba memantik diskusi kali ini. Saya membuka kalimat ini dengan sebuah pernyataan: “Kita masih kerap abai dan kurang peduli dengan bahasa Indonesia.” Bukan tanpa alasan. Opini tersebut bukan tanpa dasar. Kita merasa sudah sangat mampu dan mumpuni tentang semua hal yang berkaitan dengan bahasa Indonesia. Meski kenyataannya tidak.

Ada sebuah pertanyaan lelucon yang masih sering kita dengar, agak garing, tapi penting untuk menstimulus kita semua. “Jika kita maju, ke depan. Mundur, ke belakang. Masuk, ke dalam. Maka, kalau keluar, ke mana?” Kita bisa menjawabnya dengan serius, mendakik-dakik, atau mengembalikannya dengan lelucon yang berusaha tidak kalah lucu.

Dalam beberapa kasus yang saya jumpai di lingkungan sekolah, misalnya, masih ada di antara kita, guru dan siswa, yang masih bingung membedakan “di” sebagai preposisi dan “di-“ sebagai prefiks. Selain itu, kita juga masih gemar memilih diksi atau istilah asing yang sebetulnya sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Kita lebih suka menggunakan link daripada tautan atau pranala, online dan offline daripada daring dan luring, selfie daripada swafoto, plotting daripada merencanakan/penjadwalan, meeting daripada pertemuan, handle daripada menangani, dan lainnya.

Ini hanya sekelumit kasus saja. Selebihnya, masih banyak.

Mungkin kita akan merasa ganjil menggunakan padanan di atas. Lidah kita belum terbiasa mengucapkannya. Tetapi, kita mesti ingat tentang prinsip dasar: bahasa adalah konsensus dari penuturnya. Bahasa adalah kesepakatan. Kita hanya perlu pembiasaan; mengucapkan dan menuliskannya. Berusaha sebisa mungkin menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, paling tidak dalam acara dan lingkungan formal –beruntung kalau bisa diterapkan dalam keseharian— Bukankah kita mampu dan fasih menggunakan bahasa asing karena terbiasa mendengar, menulis, dan mengucapkannya? 

Lalu, apa masalah dan kesulitan kita membiasakan diri berbahasa Indonesia?


Xenoglosofilia, Komposisi, dan Pelik-Pelik Bahasa Indonesia

Setidaknya, untuk memecahkan kebuntuan di atas, kita cukup merasa berterima kasih dengan sebuah buku yang terbit 3 tahun lalu berjudul Xenoglosofilia. Buku, yang saya pikir, layak dan penting untuk dibaca oleh semua kalangan. Terutama, para akademisi dan pelajar.

Oh ya, saya ingin bercerita sedikit.

Perjumpaan dan pergumulan saya dengan buku serupa bukan kali pertama. Sebelumnya, Pelik-Pelik Bahasa yang ditulis oleh Prof. J.S Badudu menjadi pintu utama yang membawa saya kepada pengetahuan yang lebih luas dalam melihat perkembangan bahasa Indonesia. Buku ini pertama kali terbit tahun 1971 –yang saya punya sudah cetakan ke-29 tahun 1984— dari buku ini, saya memahami bahwa kerja para akademisi bahasa bukanlah hal yang sangat mudah. Bagaimana konsep dasar, juga rumusan, diolah sedemikian rupa dan diperdebatkan. Tidak sampai di situ, bahasa juga melalui proses diujikan dari waktu ke waktu.

Bahasa sangat dinamis. Bahasa selalu mengalami perubahan.

Masih pada tahun yang sama, sekitar tahun 1971, satu buku lain terbit berjudul Komposisi. Buku ini disusun oleh akademisi bahasa ternama, Dr. Gorys Keraf. Komposisi membawa saya lebih jauh memahami tata bahasa dengan corak yang beragam. Buku ini sangat membantu saya memahami dasar-dasar paling fundamental dalam tata bahasa.

Hingga pada akhir tahun 2018, Kompas menerbitkan sebuah buku berjudul Xenoglosofilia; Kenapa Harus Nginggris? Buku setebal 232 halaman ini ditulis seorang pegiat bahasa Indonesia, Ivan Lanin. Buku ini terbagi dalam 3 pokok bahasan. Satu, Xenoglosofilia. Dua, Tanja (Tanya Jawab). Tiga, Mana Bentuk yang Tepat?

Bagian satu, lebih banyak bahasan mengenai penjelasan serta uraian kata padanan dalam bahasa Indonesia seperti: Narablog, Pedantis, Markah, Surel, Gerip, Tagar, Swakriya, dan lainnya. Bagian dua, kita akan diajak untuk menyelami pertanyaan-pertanyaan remeh namun cukup membuat kita mengernyitkan dahi seperti: Apa perbedaan antara misalnya dan misalkan? Apa perbedaan sekali, sekali-sekali, dan sekali-kali? Apa pula perbedaan antara pijat dan pijit? Bagian tiga, kita dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan: Perinci atau Rinci? Ke Luar atau Keluar? Ahad atau Minggu? Pencinta atau Pecinta? Dan seterusnya.

Secara umum, ketiga pokok bahasan tersebut coba untuk menyadarkan kita, penutur bahasa, bahwa selama ini kita telah abai berbahasa dengan baik. Bahkan, tidak hanya itu, kita lebih suka dan merasa bangga menggunakan bahasa asing, khususnya Inggris.

Seperti yang saya katakan di awal, buku ini sangat layak untuk dibaca. Dengan bahasa yang sederhana dan tidak berusaha menggurui, Ivan Lanin membawa kita kepada pengetahuan dasar dan lanjutan, mengenai ihwal bahasa Indonesia yang lebih luas dan terbaru. Upaya kita mencintai, merawat, dan menaruh perhatian lebih jauh kepada bahasa Indonesia dapat diawali dengan membaca serta memahami isi buku ini. 

Jika bukan kita yang mencintai dan merawatnya, lantas siapa lagi? (***)


02:33 WIB, Ciputat

3 Ramadan 1442 Hijriah




IMAM BUDIMAN. Kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Menyelesaikan studi S-1 di Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan S-1 Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences. Puisi-puisinya dimuat di Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Indopos, Riau Pos, Babel Pos, Media Kalimantan, Lampung Post, Koran Madura, dan lain-lain. Kini mengabdikan diri sebagai Pendidik di Madrasah Darus-Sunnah, SMA Adzkia Daarut Tauhiid, dan Salemba Group (SG).

Share:
Esai Lainnya