Ketika itu langit pekat gelut berkabut
ketika itu rasa menawarkan satu warna hitam
hati memilih dua warna, merah-putih
Dada bergoncang keras
nadi berdenyut kencang
pembuluh darah, darah mengalir serentak
Sementara
di ujung-ujung kota
di lorong-lorong desa
di emper-emper toko
di puncak-puncak gunung
atau di tempat segalanya
manusia masih saja berdongeng
manusia masih berdalih sebagai penolong
manusia masih mengepal tinju sebagai juru selamat
seluruh umat manusia
Udara mulai semakin panas
darah menebar merayapi tubuh
Hai kepada pembela nurani
sudahkah engkau pandang dengan dada telanjang
semua keajaiban?
sementara kawanmu bersenyum dengan manisnya?
setelah itu bala zaman datang menghantui
mencerca hanyalah kenistaan
fatwa si Jubah Putih hanyalah perhiasan bibir
tanpa menembus darah dan hati
ia tak kuasa penawar pada jiwa yang terbakar
Bila para pemikir lelah berpikir
Bila para penggerak lelah bergerak
tinggal bocah polos
hanya mampu menangis meratapi dirinya sendiri
maka biarkan bumi itu bergetar dan terus bergetar
Akhir Oktober 1993, Sungai Kelay, Tanjung Redeb, Berau
Gadis Berbaju Merah
Gadis berbaju merah
Mengisi malamnya pada buku dan lagu
Ia mengisi segala cinta gemerlap
Dalam mimpinya ia menjadi wanita gigih
dengan segudang dinamika jiwa
Pada hari-hari yang bergulir
ia menelusuri jalan panjang
ia berpikir, tak berhenti
tentang getar hatinya
Di matanya yang dalam terhampar harapan besar
Senyum yang tipis bercerita tentang ketulusan hatinya
Ia ceria, polos
dan teguh pada dirinya sendiri
Gadis berbaju merah
Di dadanya terlukis potret Kartini
Kala ia bingung ia termenung sendiri
Kala ia gelisah ia hanya menatap warna merah
Ketika siang berpisah dengan malam
ia menyambutnya dengan ramah
ia tadahkan tangannya ke langit
ia berdoa, “Tuhan dekatlah selalu di hatiku”
Kuala Lumpur, 8 Juni 1993
Kasih Sayang
Kasih sayang yang merangkai kata keramat
kata-kata itu hidup
kata-kata itu pun mati
Kata-kata itu membuat mimpi
malam pun semakin merangkak
kenangan mengiris hati
jam malam berdetak
kesepian pun datang
menghidupkan rinduku
Pikir dan zikir
adalah irama napasku
yang mengetuk dada, menyiram tulang
tangan pun menggenggam kasih ibuku
Ketika itu terbayang
anak-anak bangsa yang belum
tersentuh kasih sayang
belum terbelai kelembutan, karena
masih terkunci mati
Mereka yang lugu
mereka yang polos
mereka yang masih menanti
dalam cemas dan harap
antara kebahagiaan dan kemelaratan
Wahai para pahlawan yang perkasa
Wahai patriot sejati yang tersisa
keluarkan suaramu
ulurkan tanganmu
putihkan hatimu
berilah cahaya kepada mereka
Cinta kita adalah air mata
Cinta kita tanpa berkata-kata
Cinta kita adalah tiga setengah abad terjajah
Cinta kita adalah kasih sayang yang panjang
adalah sebuah ketulusan
adalah sebuah kesucian
Tawau, Malaysia, September 1997
Darah Reformasi
Dua belas Mei yang bersejarah
Meneteskan darah
Membasahi bumi tercinta
Darah-darah reformasi
Darah-darah yang kehilangan kepercayaan
Darah yang telah melawan segala bentuk keanehan
Masih terbayang
derap langkah
masih terngiang
teriakan nurani
Mereka jatuh
Napas-napasnya masih terdengar lirih dan berdesah
“Jangan khianati negara ini teruskan napas kami
teruskan....”
Isak tangis
menyayat, memilu...
ketika itu gelap-hitam
menyelimuti kota
Sesaat kemudian
Kobaran semangat juang memerahkan
Wajah-wajah gagah
Debar jantung mereka
Berdetak keras
Menjerit:
Lanjutkan reformasi
Kumpulkan kekuatan
kami adalah rakyat yang tak ingin melarat!”
Samarinda 12 Mei 1998
Menatap Masa Depan
Hai orang-orang terpojok dalam nestapa
pengangguran, gelandangan, dan perempuan di bibir lembah hitam
orang kecil yang merayap tersipu dalam gemerlap pembangunan
tapi terhempas dalam ketidakpastian masa depan
Berjuta di antara kita yang kecewa, kehilangan kepercayaan
Berjuta di antara kita tak peduli lagi pada siapa-siapa
Dan hari-hari berlalu dalam kegalauan yang panjang
Kini kami datang memberi tahu ada kebangkitan,
ada harapan yang menuntut penjuangan
ada hari-hari esok yang cerah bersama sinar surya pertama
saat tersembul menyapa embun dan pepohonan
Inilah kami, orang-orang yang bekerja
kami tidak menjanjikan apa-apa kecuali berkarya
untuk kalian - yang miskin, yang lemah, yang risau
yang kehilangan kepercayaan, yang gelisah tanpa harapan
Kami datang bukan dengan janji, tapi dengan usaha bukti
dan bakti yang nyata
Bergabunglah dengan kami, orang-orang yang bergerak
kami adalah bagian dan mereka yang risau dan kecewa
tak ada ragu, kami bersama rasa dalam suka dan duka
Carilah kami dalam lembut dan damai
Hai generasi yang masih disinari matahari
bersatulah menetapkan kepastian
Perjalanan Panas Kota Minyak (Balikpapan) 7 Maret 1997
Perjalanan Sepi, Sunyi, Dingin, Panas Mugni Baharuddin
Samarinda, 1997
MUGNI BAHARUDDIN. Lahir di Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara), 11 November 1955. la sempat belajar manajemen seni di London (1991). Ia pernah membawakan makalah dalam Muhibah Seni Budaya di Malaysia dan Brunei Darussalam (1993), menjadi ketua Misi Kebudayaan Kalimantan Timur ke Australia (1977), memimpin muhibah Himpunan Seniman Teater dan Sinetron (Histas) Kalimantan Timur ke Sabah, Malaysia Timur (1998) dan lain-lain.
Sejak 1975 hingga lulus IKIP Malang (1981), ia berkiprah di dunia pendidikan dari level SD sampai ke perguruan tinggi, di antaranya mengajar sebagai tenaga honorer di SD (1975-1978), lalu SMP dan SMA (1981-1989). Sejak tahun 1980-an juga mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Samarinda. Kemudian, ia kemudian menjadi kepala di sejumlah dinas di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda.
Selain menulis puisi, ia juga tokoh teater. Diantara karyanya adalah Masyarakat sebagai Cermin Karya Sastranya (1983), Pembinaan Apresiasi Sastra Pada Lembaga Pendidikan Formal (1993), Skenario “Fragmen 10 November” (1984), Buku Pintar Sutradara (1986), Studi Kasus Cerita Rakyat Kutai Puteri Karang Melenu (1992), Studi Pendekatan Proses Pewarisan Teater Tradisional Mamanda (1993), Manajemen Seni (1991 ) Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999), dan kumpulan puisi tunggalnya Perjalanan Sepi, Sunyi, Dingin, Panas.
Photo by Bill Oxford/unsplash