Puisi

title

Bumi Ikut Bergetar


Penulis: Mugni Baharuddin | Posting: 26 Juli 2021


Ketika itu langit pekat gelut berkabut

ketika itu rasa menawarkan satu warna hitam

hati memilih dua warna, merah-putih


Dada bergoncang keras

nadi berdenyut kencang

pembuluh darah, darah mengalir serentak


Sementara

di ujung-ujung kota

di lorong-lorong desa

di emper-emper toko

di puncak-puncak gunung

atau di tempat segalanya

manusia masih saja berdongeng

manusia masih berdalih sebagai penolong

manusia masih mengepal tinju sebagai juru selamat

seluruh umat manusia


Udara mulai semakin panas

darah menebar merayapi tubuh

Hai kepada pembela nurani

sudahkah engkau pandang dengan dada telanjang

semua keajaiban?

sementara kawanmu bersenyum dengan manisnya?

setelah itu bala zaman datang menghantui

mencerca hanyalah kenistaan

fatwa si Jubah Putih hanyalah perhiasan bibir

tanpa menembus darah dan hati

ia tak kuasa penawar pada jiwa yang terbakar


Bila para pemikir lelah berpikir

Bila para penggerak lelah bergerak

tinggal bocah polos

hanya mampu menangis meratapi dirinya sendiri

maka biarkan bumi itu bergetar dan terus bergetar


Akhir Oktober 1993, Sungai Kelay, Tanjung Redeb, Berau




Gadis Berbaju Merah


Gadis berbaju merah

Mengisi malamnya pada buku dan lagu

Ia mengisi segala cinta gemerlap

Dalam mimpinya ia menjadi wanita gigih

dengan segudang dinamika jiwa


Pada hari-hari yang bergulir

ia menelusuri jalan panjang

ia berpikir, tak berhenti

tentang getar hatinya


Di matanya yang dalam terhampar harapan besar

Senyum yang tipis bercerita tentang ketulusan hatinya

Ia ceria, polos

dan teguh pada dirinya sendiri


Gadis berbaju merah

Di dadanya terlukis potret Kartini

Kala ia bingung ia termenung sendiri

Kala ia gelisah ia hanya menatap warna merah


Ketika siang berpisah dengan malam

ia menyambutnya dengan ramah

ia tadahkan tangannya ke langit

ia berdoa, “Tuhan dekatlah selalu di hatiku”


Kuala Lumpur, 8 Juni 1993




Kasih Sayang


Kasih sayang yang merangkai kata keramat

kata-kata itu hidup

kata-kata itu pun mati


Kata-kata itu membuat mimpi

malam pun semakin merangkak

kenangan mengiris hati

jam malam berdetak

kesepian pun datang

menghidupkan rinduku


Pikir dan zikir

adalah irama napasku

yang mengetuk dada, menyiram tulang

tangan pun menggenggam kasih ibuku


Ketika itu terbayang

anak-anak bangsa yang belum

tersentuh kasih sayang

belum terbelai kelembutan, karena

masih terkunci mati


Mereka yang lugu

mereka yang polos 

mereka yang masih menanti

dalam cemas dan harap

antara kebahagiaan dan kemelaratan


Wahai para pahlawan yang perkasa

Wahai patriot sejati yang tersisa


keluarkan suaramu

ulurkan tanganmu

putihkan hatimu

berilah cahaya kepada mereka


Cinta kita adalah air mata

Cinta kita tanpa berkata-kata

Cinta kita adalah tiga setengah abad terjajah

Cinta kita adalah kasih sayang yang panjang

adalah sebuah ketulusan

adalah sebuah kesucian


Tawau, Malaysia, September 1997




Darah Reformasi


Dua belas Mei yang bersejarah

Meneteskan darah

Membasahi bumi tercinta


Darah-darah reformasi

Darah-darah yang kehilangan kepercayaan

Darah yang telah melawan segala bentuk keanehan


Masih terbayang

derap langkah

masih terngiang

teriakan nurani


Mereka jatuh

Napas-napasnya masih terdengar lirih dan berdesah

“Jangan khianati negara ini teruskan napas kami

teruskan....”


Isak tangis

menyayat, memilu...

ketika itu gelap-hitam

menyelimuti kota


Sesaat kemudian

Kobaran semangat juang memerahkan

Wajah-wajah gagah

Debar jantung mereka

Berdetak keras

Menjerit:

Lanjutkan reformasi

Kumpulkan kekuatan

kami adalah rakyat yang tak ingin melarat!”


Samarinda 12 Mei 1998




Menatap Masa Depan


Hai orang-orang terpojok dalam nestapa

pengangguran, gelandangan, dan perempuan di bibir lembah hitam

orang kecil yang merayap tersipu dalam gemerlap pembangunan

tapi terhempas dalam ketidakpastian masa depan


Berjuta di antara kita yang kecewa, kehilangan kepercayaan

Berjuta di antara kita tak peduli lagi pada siapa-siapa

Dan hari-hari berlalu dalam kegalauan yang panjang


Kini kami datang memberi tahu ada kebangkitan,

ada harapan yang menuntut penjuangan

ada hari-hari esok yang cerah bersama sinar surya pertama

saat tersembul menyapa embun dan pepohonan


Inilah kami, orang-orang yang bekerja

kami tidak menjanjikan apa-apa kecuali berkarya

untuk kalian - yang miskin, yang lemah, yang risau

yang kehilangan kepercayaan, yang gelisah tanpa harapan

Kami datang bukan dengan janji, tapi dengan usaha bukti

dan bakti yang nyata


Bergabunglah dengan kami, orang-orang yang bergerak

kami adalah bagian dan mereka yang risau dan kecewa

tak ada ragu, kami bersama rasa dalam suka dan duka

Carilah kami dalam lembut dan damai

Hai generasi yang masih disinari matahari

bersatulah menetapkan kepastian


Perjalanan Panas Kota Minyak (Balikpapan) 7 Maret 1997

Perjalanan Sepi, Sunyi, Dingin, Panas Mugni Baharuddin

Samarinda, 1997



MUGNI BAHARUDDIN. Lahir di Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara), 11 November 1955. la sempat belajar manajemen seni di London (1991). Ia pernah membawakan makalah dalam Muhibah Seni Budaya di Malaysia dan Brunei Darussalam (1993), menjadi ketua Misi Kebudayaan Kalimantan Timur ke Australia (1977), memimpin muhibah Himpunan Seniman Teater dan Sinetron (Histas) Kalimantan Timur ke Sabah, Malaysia Timur (1998) dan lain-lain. 

Sejak 1975 hingga lulus IKIP Malang (1981), ia berkiprah di dunia pendidikan dari level SD sampai ke perguruan tinggi, di antaranya mengajar sebagai tenaga honorer di SD (1975-1978), lalu SMP dan SMA (1981-1989). Sejak tahun 1980-an juga mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Samarinda. Kemudian, ia kemudian menjadi kepala di sejumlah dinas di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda. 

Selain menulis puisi, ia juga tokoh teater. Diantara karyanya adalah Masyarakat sebagai Cermin Karya Sastranya (1983), Pembinaan Apresiasi Sastra Pada Lembaga Pendidikan Formal (1993), Skenario “Fragmen 10 November” (1984), Buku Pintar Sutradara (1986), Studi Kasus Cerita Rakyat Kutai Puteri Karang Melenu (1992), Studi Pendekatan Proses Pewarisan Teater Tradisional Mamanda (1993), Manajemen Seni (1991 ) Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999), dan kumpulan puisi tunggalnya Perjalanan Sepi, Sunyi, Dingin, Panas. 


Photo by Bill Oxford/unsplash

Share:
Puisi Lainnya