Puisi

title

Ketam di Laut II


Penulis: Adam A Chevny | Posting: 08 Oktober 2021


seekor ketam berlayar dari ombak ke ombak

memintal kenangan

di antara timbunan mimpi memabukkan dan cahaya

kecoklatan


apa yang lebih bermakna

kecuali serpihan masa silam?


berlabuh di bibir senja

sesudah bertualang dari kenangan ke kenangan

tergenggam ketentraman menuju rumah beralamatkan

temaram.


2005

------------------------------------------------


Surat Ungu


suatu masa

kau memunguti angin jahat sepotong demi sepotong

dan melarungkan mimpi-mimpiku ke laut lepas, setelah

kita berjalan

di antara nyanyian dan gelisah pepohonan.

kemudian kau lari sekencang-kencangnya seperti seekor

ketam luka.


aku kini mengirimmu surat ungu berisikan bayang bulan

agar kau menyibak seluruh damba yang tertunda

dilabuhkan

dan mereguk deretan sunyi di darahku

karna tak ada damba tersia-sia

tak ada sunyi terusir


di kamarku:

kecemasan berpendar mengikuti jarum jam entah berapa

Januari, telepon tak lagi berfungsi, tumpukan harap tercekik, buah

apel membusuk, cericit cicak kehilangan makna, langit-langit

menyerupai hantu.

(cinta; terkadang enggan dilabuhkan)


2005

------------------------------------------------


Ketika


di terik siang

kau berlenggangan tangan dengan ombak menyongsong

bianglala

kau bersijingkat ke awan memburu kenikmatan

kau mengepakkan sayap ke sudut-sudut bumi letih

kau menimang-nimang misteri dengan mata nyalangmu


pada wajah senja

cuma ada selembar angin

aku tidak lagi menemukan jejakmu di timur, selatan,

barat dan utara.


2005

------------------------------------------------


Imajinasi Ayat Suci


para pencemar yang menaburkan butiran-butiran dusta

di geriap malam, di sela-sela kemarau, di lembaran usia, di balik

musim dingin.

dan berlayar dari tebing kemusyrikan ke pengkhianatan

yang tak bersigegas pada isyarat pertaubatan


jika Tuhan menggerakkan tangan-Nya

“Kun!”

fayakun: langit tergulung, gunung-gemunung

beterbangan, laut mendidih.

dan isyarat neraka hutomah dikuakkan


(berlabuh di manakah si pendusta?)


2005

------------------------------------------------


Riwayat II


aku selalu merindukan penghibur sejati: masa silam

entah lengkingan serigala entah temaram


suatu masa

aku bergandengan tangan denganmu menapaki sudut-sudut

kota yang

legam dan tanpa suara.


kita tidak menemukan bianglala

kârena semua warna telah direnggut para pemburu dengan

senapan terkokang.


kita tidak menemukan musik

karena semua irama telah ditelan para pendusta


aku kini menapaki lagi sudut-sudut kota mencarimu

warna berserakan di mana-mana

suara bersahut-sahutan tanpa makna

tetapi kau tak kutemukan

barangkali kau berdansa secapek-capeknya bertemankan

diam di ruang tanpa gema.


aku selalu merindukan penghibur sejati: masa silam

entah nyanyian entah awan.


2005


------------------------------------------------

ADAM A CHEVNY. Kadang namanya ditulis Adam A Chievny. Penyair ini merupakan aktivis bersastra tahun 1975-1980 di Samarinda. Sajak-sajaknya ditemukan dalam Antologi Puisi Nusantara I (1980) yang dieditori Fiece Esf. Adam bermukim di Surabaya. Pada masa kreatifnya ia juga menjadi eseis di Surabaya Post.


Sumber: Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia

Photo by Matt Paul Catalano/Unsplash


Share:
Puisi Lainnya