Tak pernah terpikir
lelaki tua yang menunggu di beranda lamin tua
penjaga adat lampau yang terasing dalam bising
kumis tebal dengan kepulan tembakau menunggu
tetamu yang sibuk memotret ritual belian
layaknya sebuah pertunjukan
kisah resah yang bersemayam dalam geram
Kedang Ipil tanah leluhur yang kian terkubur
jalanan yang membilur jauh dari kota peradaban
kini tertatih sendiri
“Kampung kami tak lagi lengang dililit penggali tambang”
“Kampung kami beraroma sangit, terbakar belukar yang berubah sawit”
kanak kanak tak lagi menemukan pohon-pohon Ipil
yang dulu berjajar sepanjang sungai hingga ujung air terjun Kandua Raya
sumber air kehidupan yang diberikan Sang Hyang
Turis turis terus berdatangan
sibuk memotret tarian dan sesajian
di antara gumam mantra yang pudar keramatnya
Kedang Ipil – Kutai Kartanegara, 2021
------------------------------------------------
Demong Tajuddin
lama sudah nama hilang jadi kenang
tak ada lagi yang ingat nama Benjol
yang dulu berdiam di atas mata air di balik gelap hutan
senyap merawat akar pepohonan
berkawan desis mistis dan geraman binatang
seabad usia mantra masih menjelma
memanggil para leluhur yang lama terkubur masa
------------------------------------------------
di mana kau temukan nyiur untuk ibumu?
punggung jalan adalah ruas ruas ulin yang menghitam
beberapa tumbang tergerus rob pasang Mahakam
sementara deretan tongkang tua berkarat di sudut dermaga seadanya
“lazimnya yang tua pasti akan kerut dan surut”
begitulah persinggahan kesekian di kampung bibir palung
perempuan perempuan melipat ketupat
tangan yang lekat dan cekat memintal sulur kering nipah
“di mana kau temukan nyiur untuk ibumu?”
matamu memandang ke seberang
ujung ujung perbukitan yang meranggas oleh mesin pengerat
Mahakam yang payau kian asin
asing mendendang tingkilan lawas di antara kapal pesiar
“Daeng Mangkona tinggal di Tanah Rendah”
Mangkupalas, Samarinda 2021
------------------------------------------------
Perempuan Mala
Seonggok daging bernyawa
dalam balutan selang berkelindan di tubuh
coba dibangunkan oleh doa dan mantra gaibnya
yang rindu gemuruh peluk
perempuan yang berulang menderaskan air mata
sebab rindu yang tak pernah terwujud
membelai dan menimang anak rahimnya
perih ini lebih ngilu dari persalinan
sekotak kaca penghalang
hanya bias memandang
meratap dan mengucap mantra
peluk itu akhirnya sampai
saat putranya pamit pagi tadi
menemui tuannya
Samarinda, 2019
------------------------------------------------
Mahalabiu
: Noval Leavy
perbincangan kita tiap malam
tak ubahnya suara jangkrik yang lentik di antara semak
sesekali memutar sayap namun tak hendak terbang mengawang
sebab hidup teramat sesak pekak
hidup adalah jebakan tekateki
menelisik genit di antara hidup yang pelik
sesakali tertawalah merdeka melupakan luka
berpunya dan tiada pastilah sejenak bersua
sebab tuhan selalu tertawa bila kita terlalu memikirkan semesta
akan adanya 7 lapis langit dan 70 bidadari cantik di atas sana
Samarinda, 2021
------------------------------------------------
ENDRY SULISTYO. Penulis adalah alumnus Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di berbagai komunitas di Yogyakarta. Hijrah ke Jakarta pada tahun 2005 - 2018. Sejak 2018 menetap di Samarinda, Kalimantan Timur. Saat ini menjadi pegiat Komunitas #SejangkauanTangan Indonesia dan Komunitas TerAksara. Telah menerbitkan beberapa buku sastra (antologi puisi, buku anak) dan beberapa buku penunjang pendidikan.