Puisi

title

Kisah Tanah yang Tak Lagi Bertuan


Penulis: Endry Sulistyo | Posting: 15 Oktober 2021


Tak pernah terpikir  

lelaki tua yang menunggu di beranda lamin tua

penjaga adat lampau yang terasing dalam bising

kumis tebal dengan kepulan tembakau menunggu

tetamu yang sibuk memotret ritual belian

layaknya sebuah pertunjukan

kisah resah yang bersemayam dalam geram


Kedang Ipil tanah leluhur yang kian terkubur

jalanan yang membilur jauh dari kota peradaban

kini tertatih sendiri

     “Kampung kami tak lagi lengang dililit penggali tambang”

     “Kampung kami beraroma sangit, terbakar belukar yang berubah sawit”

kanak kanak tak lagi menemukan pohon-pohon Ipil

yang dulu berjajar sepanjang sungai hingga ujung air terjun Kandua Raya

sumber air kehidupan yang diberikan Sang Hyang


Turis turis terus berdatangan

sibuk memotret tarian dan sesajian

di antara gumam mantra yang pudar keramatnya


Kedang Ipil – Kutai Kartanegara, 2021

------------------------------------------------ 


Demong Tajuddin


lama sudah nama hilang jadi kenang

tak ada lagi yang ingat nama Benjol

yang dulu berdiam di atas mata air di balik gelap hutan

senyap merawat akar pepohonan

berkawan desis mistis dan geraman binatang

seabad usia mantra masih menjelma

memanggil para leluhur yang lama terkubur masa

------------------------------------------------


di mana kau temukan nyiur untuk ibumu?


punggung jalan adalah ruas ruas ulin yang menghitam

beberapa tumbang tergerus rob pasang Mahakam

sementara deretan tongkang tua berkarat di sudut dermaga seadanya

“lazimnya yang tua pasti akan kerut dan surut”

begitulah persinggahan kesekian di kampung bibir palung


perempuan perempuan melipat ketupat

tangan yang lekat dan cekat memintal sulur kering nipah

“di mana kau temukan nyiur untuk ibumu?”

matamu memandang ke seberang

ujung ujung perbukitan yang meranggas oleh mesin pengerat

Mahakam yang payau kian asin

asing mendendang tingkilan lawas di antara kapal pesiar

“Daeng Mangkona tinggal di Tanah Rendah”


Mangkupalas, Samarinda 2021  

------------------------------------------------ 


Perempuan Mala


Seonggok daging bernyawa

dalam balutan selang berkelindan di tubuh

coba dibangunkan oleh doa dan mantra gaibnya

yang rindu gemuruh peluk


perempuan yang berulang menderaskan air mata

sebab rindu yang tak pernah terwujud

membelai dan menimang anak rahimnya


perih ini lebih ngilu dari persalinan

sekotak kaca penghalang

hanya bias memandang

meratap dan mengucap mantra


peluk itu akhirnya sampai

saat putranya pamit pagi tadi

menemui tuannya


Samarinda, 2019

------------------------------------------------ 

 

Mahalabiu

: Noval Leavy


perbincangan kita tiap malam

tak ubahnya suara jangkrik yang lentik di antara semak

sesekali memutar sayap namun tak hendak terbang mengawang

sebab hidup teramat sesak pekak


hidup adalah jebakan tekateki

menelisik genit di antara hidup yang pelik

sesakali tertawalah merdeka melupakan luka

berpunya dan tiada pastilah sejenak bersua

sebab tuhan selalu tertawa bila kita terlalu memikirkan semesta

akan adanya 7 lapis langit dan 70 bidadari cantik di atas sana


Samarinda, 2021


------------------------------------------------

ENDRY SULISTYO. Penulis adalah alumnus Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di berbagai komunitas di Yogyakarta. Hijrah ke Jakarta pada tahun 2005 - 2018. Sejak 2018 menetap di Samarinda, Kalimantan Timur. Saat ini menjadi pegiat Komunitas #SejangkauanTangan Indonesia dan Komunitas TerAksara. Telah menerbitkan beberapa buku sastra (antologi puisi, buku anak) dan beberapa buku penunjang pendidikan. 

Share:
Puisi Lainnya