Puisi

title

Gelap di Pantai


Penulis: Herman Syukur | Posting: 12 Juli 2021

(bagi anak yang mau sekolah)


malam yang datang

nganga tidak berbintang

seorang lagi hatinya bimbang

merenung sisa-sisa siang dengan hati


di pantai tidak ada cahaya untuk

kaki, pasir dan laut

nelayan tua ditekan kelesuan

tentu kehampaan untuk galuh anak sayang


bagiku bisa berdamai

- anak sayang buat apa merenung-renung malam

umur cuma-cuma untuk besok


Sanggar Seni Sastra, Ruang Siaran Sastra RRI Samarinda 1954 – 1960

------------------------------------------------


Pulanglah Pulang

(catatan: kembali ke pangkuan)


pulanglah pulang gila-gila anak ibu

ke pangkuan, ibu tetap mengimbau

ada dara untuk menantu


jadilah mekar mawar di taman

dibelailah cium hanya si cucu


cacaran bagi bersilang pada lalu


anak sayang anak ibu pulanglah!

galang orang buat si orang

buat apa ditempa-tempa warisan hitam

amboi! berlarat sudah nilai tulang


Sanggar Seni Sastra, Ruang Siaran Sastra RRI Samarinda 1954 - 1960


------------------------------------------------

HERMAN SYUKUR. Lahir di Tanjung Redeb (Berau) 6 Juli 1933 dengan nama Helmansyah. Nama itu dia ganti menjadi Hermansyah, lalu ditambah Syukur, menjadi Hermansyah Syukur. Menurutnya, kata “Helman” dalam bahasa Inggris berarti “lelaki dari neraka”, maka namanya harus diubah. Mendapat pendidikan dasar di kota kelahirannya dan lulus sarjana muda di Fakultas Sosial dan Politik Universitas Mulawarman. la pernah menjadi guru SD di Muara Jawa. Kemudian mengajar dan menjadi kepala sekolah di SMEA 2 Samarinda (jurusan koperasi) dan SMEA I (jurusan tata buku, tata niaga, sekretaris). la giat menulis karya sastra berupa puisi, cerpen, dan sandiwara . Di antara naskah drama yang ditulisnya adalah “Babadik Sampe” dan “Pintu Belum Tertutup”. Tulisannya banyak dipublikasi di harian Pacific asuhan Anang Acil Adiwidaya. Bergabung dengan Sanggar Seni Sastra bersama H Hasani HA, Sjarwani Miskan, dan lain-lain. la juga pernah menyiar cerita pendek di RRI Samarinda bersama Ani Nuraini Hasyim dan Husni Sidik sepanjang tahun 1964 – 1969.


Photo by Dan Musat/Unsplash

Share:
Puisi Lainnya