Pohon-pohon tahun ini berkhutbah asap
dan tongkat api. Bagai perahu-perahu mendayung fatwa
dan bahan diskusi
Gemuruh suara berloncatan
fenomena alam pada angin: musim
bukit-bukit yang terkoyak
ozon yang tercabik dan teriakan hutan diobrak-abrik
Ah, jari-jari berselingkuh dalam lipatan!
Tapi pastikanlah: itu takkan lama
kemarau akan berlalu
dan anak-anak negeri segera lupa Tuhan memegang batu-Nya
sebelum melemparkan muka manusia
Betapa sayang...
mereka lupa makna selarik duka
dan tanpa kesanggupan melihat tanda-tanda
bahkan semacam isyarat-isyarat kabut pekat dalam jiwa
Oo, betapa sayang...
Tamban, November 1997
------------------------------------------------
Rumah
Buat Sulasi Sry Mulyati
Yang kudambakan sekarang: sebuah rumah
punya kolam kecil berpagar kaktus dan keladi merah
bening berwarna putih kasa
air mawar isinya
Kau istriku: diam-diam di rumah
tenang semacam kolam halaman rumah
wajahmu bening putih kasa
meskipun hiruk-pikuk dan balau anak-anak kita
Rumah: rumah yang kudambakan
berembus semilir angin di dalamnya
senyum berbunga semi sepanjang waktu
dengan mesranya mengantar bau mawar
di gerbang kelambu
Tamban, Juni 1973
------------------------------------------------
Hadapan
Jangan membayangkan diriku di tempat wudhu
di bawah altar pertobatan
atau di kuil pemujaan...
Pengakuan apa pun kau tuntut?
cuma kukirim setangguk kemunafikan
Hartaku hanya sepasang daun pintu
gang setapak, itu pun buntu
Memang penuh ritma!
tapi tak terhubung dengan lintasan jalan raya
meski aku merasa gerah
meski di belakangku jendela-jendela menghembus angin pelbagai arah
bau busuk kotoran dan sampah
bau-bau amis darah
karena sejujurnya aku beternak singa jantan yang pemarah!
Tamban, 12 Februari 2011
------------------------------------------------
Candi Agung
la wariskan kegamangan
dan gemetaran kaki
di batas rimba sejarah silam
berkabut banua kami
Tapi bagiku tak hilang apa-apa
lantaran jauh pelataran candi;
tak rugi rupa-rupa bunga sesaji
tanpa perapian asap dupa
tanpa perabot ruyung ulin
simpuh tawasul duduk bersila!
hingga dongeng itu bisa bergeliat
lalu tegak berdiri
lalu jalan-jalan ke sana-kemari
ke anak-anak sekolah
ke orang-orang agama yang lemah
Mungkin di liang candi;
peziarah banyak yang jatuh
seperti berbalut kain kafan
kehilangan iman
rohnya bangkit;
berkumpul di jama’ah tahayul
yang lain berpisah
ke rumah-rumah pembuat kisah.
Tamban, 13 Februari 2011
------------------------------------------------
IBRAMSYAH AMANDIT. Lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, 9 Agustus 1943. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta tahun 1971. Tahun 1979, ia menjadi kepala Seksi Peningkatan Mutu Taman Budaya Depdikbud Kalimantan Timur. Kemudian ia beralih bekerja di beberapa perusahaan swasta. la mulai menulis puisi tahun 1971 saat bergabung dalam komunitas Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta yang diasuh Umbu Landu Paranggi dan bergabung bersama Emha Ainun Nadjib (Insani) serta Pondokan Abdul Hadi WM di Belimbing Sari. Karyanya dipublikasikan di Mercu Suar, Sampe, Banjarmasin Post, dan lain-lain. Di antaranya ada dalam buku antologi berjudul Bahalap (1984), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998) yang diterbitkan di Marabahan, Barito Kuata. Dari Kaltim, ia kemudian menetap di Tamban, Kecamatan Tamban, Kalimantan Selatan.