Puisi

title

Jembatan Asap


Penulis: Ibramsyah Amandit | Posting: 21 Juli 2021


Pohon-pohon tahun ini berkhutbah asap

dan tongkat api. Bagai perahu-perahu mendayung fatwa

dan bahan diskusi


Gemuruh suara berloncatan

fenomena alam pada angin: musim

bukit-bukit yang terkoyak

ozon yang tercabik dan teriakan hutan diobrak-abrik

Ah, jari-jari berselingkuh dalam lipatan!


Tapi pastikanlah: itu takkan lama

kemarau akan berlalu

dan anak-anak negeri segera lupa Tuhan memegang batu-Nya

sebelum melemparkan muka manusia


Betapa sayang...

mereka lupa makna selarik duka

dan tanpa kesanggupan melihat tanda-tanda

bahkan semacam isyarat-isyarat kabut pekat dalam jiwa


Oo, betapa sayang...


Tamban, November 1997

------------------------------------------------


Rumah

Buat Sulasi Sry Mulyati


Yang kudambakan sekarang: sebuah rumah

punya kolam kecil berpagar kaktus dan keladi merah

bening berwarna putih kasa

air mawar isinya


Kau istriku: diam-diam di rumah

tenang semacam kolam halaman rumah

wajahmu bening putih kasa

meskipun hiruk-pikuk dan balau anak-anak kita


Rumah: rumah yang kudambakan

berembus semilir angin di dalamnya

senyum berbunga semi sepanjang waktu

dengan mesranya mengantar bau mawar

di gerbang kelambu


Tamban, Juni 1973

------------------------------------------------


Hadapan


Jangan membayangkan diriku di tempat wudhu

di bawah altar pertobatan

atau di kuil pemujaan...


Pengakuan apa pun kau tuntut?

cuma kukirim setangguk kemunafikan


Hartaku hanya sepasang daun pintu

gang setapak, itu pun buntu


Memang penuh ritma!

tapi tak terhubung dengan lintasan jalan raya

meski aku merasa gerah

meski di belakangku jendela-jendela menghembus angin pelbagai arah

bau busuk kotoran dan sampah

bau-bau amis darah

karena sejujurnya aku beternak singa jantan yang pemarah!


Tamban, 12 Februari 2011

------------------------------------------------


Candi Agung


la wariskan kegamangan

dan gemetaran kaki

di batas rimba sejarah silam

berkabut banua kami


Tapi bagiku tak hilang apa-apa

lantaran jauh pelataran candi;

tak rugi rupa-rupa bunga sesaji

tanpa perapian asap dupa

tanpa perabot ruyung ulin

simpuh tawasul duduk bersila!

hingga dongeng itu bisa bergeliat

lalu tegak berdiri

lalu jalan-jalan ke sana-kemari

ke anak-anak sekolah

ke orang-orang agama yang lemah


Mungkin di liang candi;

peziarah banyak yang jatuh

seperti berbalut kain kafan

kehilangan iman

rohnya bangkit;

berkumpul di jama’ah tahayul

yang lain berpisah

ke rumah-rumah pembuat kisah.


Tamban, 13 Februari 2011


------------------------------------------------

IBRAMSYAH AMANDIT. Lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, 9 Agustus 1943. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta tahun 1971. Tahun 1979, ia menjadi kepala Seksi Peningkatan Mutu Taman Budaya Depdikbud Kalimantan Timur. Kemudian ia beralih bekerja di beberapa perusahaan swasta. la mulai menulis puisi tahun 1971 saat bergabung dalam komunitas Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta yang diasuh Umbu Landu Paranggi dan bergabung bersama Emha Ainun Nadjib (Insani) serta Pondokan Abdul Hadi WM di Belimbing Sari. Karyanya dipublikasikan di Mercu Suar, Sampe, Banjarmasin Post, dan lain-lain. Di antaranya ada dalam buku antologi berjudul Bahalap (1984), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998) yang diterbitkan di Marabahan, Barito Kuata. Dari Kaltim, ia kemudian menetap di Tamban, Kecamatan Tamban, Kalimantan Selatan.

Share:
Puisi Lainnya