Puisi

title

Lagu Muram Pedalaman


Penulis: Habolhasan Asyari | Posting: 27 Juli 2021


“Oo, kaka oo kiki

Padi etam dimakan pipit

Sarang burung sarang kode’

Hambat-hambat kunaiki”


Lagu itu tak pernah kami dengar lagi

dulu selalu kau dendangkan

menjaga padi huma timuran

di rapak panjang, rumput peredang


Lagu itu tak pernah kami dengar lagi

sejak aku melangkah ke negeri jauh

bersama ketinjau enggan membangunkan pagi

kala sarangnya hilang terampas

pohon tumbang bergelimpangan

hanyut menjadi kampar di Mahakam


lagu itu, lagu alam di himba langgong

berubah irama menjadi raung chainsaw

dan mesin-mesin mutakhir

menerabas huma rapak dan

pucuk padi kehilangan tuah

embun tak lagi datang menyapa


lagumu dalam irama sumbang

semakin bertambah sumbang

diterpa angin perubahan

tak pernah membuat kita paham


tapi mestikah kita mengangguk paham

sebab kita memang tak paham

kecuali keleluasan Iangkah kian terjepit

bagai seekor payau sekarat

terpijak di belukar tua


pondok kita di tengah huma

bertiang empat berikat kotok

tinggal sepotong suha dirongkop jabok

terbenam sepi di tompok galungan

tempat kau membatung jerat menangkap keruak


saksi bisu yang lumus

dimakan roda perubahan

yang entah apa namanya

entah untuk siapa


Anakku,

mungkin kita memang telah kalah

atau memang diharuskan mengalah

denyut nadi pun sengaja diatur

agar tak terdengar detakannya

sehingga satu tarikan irama

demi kebersamaan


benarkah untuk kebersamaan?


entahlah anakku, entahlah

kita tetap saja tak paham

karena tanah kehilangan tuahnya

musim mengasak pun pupus

sebelum bintang kutika bertengger

di dada langit


gunung, rapak, hutan, belukar dan himba

bukan sahabat seperti semula

telah berada di tangan pengampu

buah pun tak lagi bermusim

rondong etam pun sudah ada pewaris

bukan dari jalur darah leluhur

tapi datang dengan segenap keperkasaan

bersenjatakan sepotong surat bertanda tangan

pohon meritam, lohon dan kertongan

hanya tercatat dalam kenangan


lara menghunjam gamang

kita terpuruk dalam sawan panjang

harapan ibarat kerlip bintang


tak mungkin digapai

meski dengan sawai dan memang

lantas di manakah mesti mengayun parang

menyingkai mandau menebas belukar

untuk menyebar tembuyang

dari sekompe benih


kini, kita tinggal merajut

mimpi-mimpi panjang

dalam himpitan nasib di tanah kelahiran

dihempas angin tapas

lantak terbakar langat


“Buah bolok kuranji papan

duduk mendongok tanpa harapan

buah bolok rasanya asam

etam terpojok di kampung halaman”


anakku

kini lagumu

lagu yang selalu kau dendangkan

tak pernah kami dengan lagi


Kota Tepian, 14 September 1994




HABOLHASAN ASYARI. Lahir di Kota Bangun, 1 Mel 1961. Mulai menekuni sastra dan teater sejak tahun 1980 ketika bergabung dengan kelompok Teater Suluh Indonesia. Kemudian menjadi pembina sejumlah kelompok teater di Samarinda dan Tenggarong. Sudah menulis sekitar 30 cerpen, 30 naskah panggung, dan 100 puisi. Naskah fragmen/sinetron di TVRI Kaltim, di antaranya “Riak-Riak Mahakam (12 episode), “Jejak Dalam Air”, “Godai”. Naskah panggungnya antara lain “Darah dan Darah”, “Gilalagi”, “Tunggul”, “Lopat”, “Monumen”, “Perapah”, ‘Wadag Leh”, “Petaka”, “Parang Maya”. Skenario fiImnya “Boyon Dengsanak Etam” dan “Menggapai Hari Esok” garapan Parfi Kutai Kartanegara. Beberapa naskah cerpennya pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang, Ringan, Pesona, Dewi, harian Kaltim Post, Suara Kaltim, mingguan Sampe, dan Menara. 


Photo by Firos nv/unsplash

Share:
Puisi Lainnya