“Oo, kaka oo kiki
Padi etam dimakan pipit
Sarang burung sarang kode’
Hambat-hambat kunaiki”
Lagu itu tak pernah kami dengar lagi
dulu selalu kau dendangkan
menjaga padi huma timuran
di rapak panjang, rumput peredang
Lagu itu tak pernah kami dengar lagi
sejak aku melangkah ke negeri jauh
bersama ketinjau enggan membangunkan pagi
kala sarangnya hilang terampas
pohon tumbang bergelimpangan
hanyut menjadi kampar di Mahakam
lagu itu, lagu alam di himba langgong
berubah irama menjadi raung chainsaw
dan mesin-mesin mutakhir
menerabas huma rapak dan
pucuk padi kehilangan tuah
embun tak lagi datang menyapa
lagumu dalam irama sumbang
semakin bertambah sumbang
diterpa angin perubahan
tak pernah membuat kita paham
tapi mestikah kita mengangguk paham
sebab kita memang tak paham
kecuali keleluasan Iangkah kian terjepit
bagai seekor payau sekarat
terpijak di belukar tua
pondok kita di tengah huma
bertiang empat berikat kotok
tinggal sepotong suha dirongkop jabok
terbenam sepi di tompok galungan
tempat kau membatung jerat menangkap keruak
saksi bisu yang lumus
dimakan roda perubahan
yang entah apa namanya
entah untuk siapa
Anakku,
mungkin kita memang telah kalah
atau memang diharuskan mengalah
denyut nadi pun sengaja diatur
agar tak terdengar detakannya
sehingga satu tarikan irama
demi kebersamaan
benarkah untuk kebersamaan?
entahlah anakku, entahlah
kita tetap saja tak paham
karena tanah kehilangan tuahnya
musim mengasak pun pupus
sebelum bintang kutika bertengger
di dada langit
gunung, rapak, hutan, belukar dan himba
bukan sahabat seperti semula
telah berada di tangan pengampu
buah pun tak lagi bermusim
rondong etam pun sudah ada pewaris
bukan dari jalur darah leluhur
tapi datang dengan segenap keperkasaan
bersenjatakan sepotong surat bertanda tangan
pohon meritam, lohon dan kertongan
hanya tercatat dalam kenangan
lara menghunjam gamang
kita terpuruk dalam sawan panjang
harapan ibarat kerlip bintang
tak mungkin digapai
meski dengan sawai dan memang
lantas di manakah mesti mengayun parang
menyingkai mandau menebas belukar
untuk menyebar tembuyang
dari sekompe benih
kini, kita tinggal merajut
mimpi-mimpi panjang
dalam himpitan nasib di tanah kelahiran
dihempas angin tapas
lantak terbakar langat
“Buah bolok kuranji papan
duduk mendongok tanpa harapan
buah bolok rasanya asam
etam terpojok di kampung halaman”
anakku
kini lagumu
lagu yang selalu kau dendangkan
tak pernah kami dengan lagi
Kota Tepian, 14 September 1994
HABOLHASAN ASYARI. Lahir di Kota Bangun, 1 Mel 1961. Mulai menekuni sastra dan teater sejak tahun 1980 ketika bergabung dengan kelompok Teater Suluh Indonesia. Kemudian menjadi pembina sejumlah kelompok teater di Samarinda dan Tenggarong. Sudah menulis sekitar 30 cerpen, 30 naskah panggung, dan 100 puisi. Naskah fragmen/sinetron di TVRI Kaltim, di antaranya “Riak-Riak Mahakam (12 episode), “Jejak Dalam Air”, “Godai”. Naskah panggungnya antara lain “Darah dan Darah”, “Gilalagi”, “Tunggul”, “Lopat”, “Monumen”, “Perapah”, ‘Wadag Leh”, “Petaka”, “Parang Maya”. Skenario fiImnya “Boyon Dengsanak Etam” dan “Menggapai Hari Esok” garapan Parfi Kutai Kartanegara. Beberapa naskah cerpennya pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang, Ringan, Pesona, Dewi, harian Kaltim Post, Suara Kaltim, mingguan Sampe, dan Menara.
Photo by Firos nv/unsplash