angin begitu mengenal musim sejak langit menoreh cahaya pertama
mimpi yang perih terbang bersamanya menunggu lengkap hitungan
bumi melambai dengan mata malaikat tua
siapa mengendap bersekutu dengan waktu?
malam bersama bulan menyimpan
mangsa kawin pada ranjangnya
birahi meronta dari peti-peti mati
seperti kenangan penyair yang letih
belajar mentakzim pelacur dan para pemabuk
pada ceruk-ceruk sungai sorga menyendiri
serombongan malaikat kembali tafakur
dengan usia bertambah tua
dengan jakun yang bergetar
menghikmat musim berlepasan
bersama mimpi ganjil yang harus tanggal
dari kisut tangan jahil mereka
tak ada tanda perkabungan yang pantas
kecuali kata yang ikhlas dipenggal
“kasihku, aku …!”
Ngawi, 019/021
------------------------------------------------
ABU TERAKHIR
dalam sepenggal sajak kutitip sepenggal doa
serupa mantra bersama musim kekal berganti.
kubayangkan kau menyalakan
matahari di kedua lengan
aku hampir gila menyentuhmu
kau tertawa menciptakan
gemuruh lautmu sendiri
abad-abad menjelma seribu kesunyian
rongga-rongga tak pernah diam di antara belukar,
dalam jendela, pada anglo-anglo uap dalam asap yang sangit
pohon abu-abu tafakur bersama waktu
terbata-bata melafal talqin-talqin tua
jari-jari bergetar mesra seakan terlampau kekal
batu-batu pemujaan yang bisu
tiang-tiang mimbar, ceruk-ceruk batu purba
tetesan suci dibuahi langit
kubayangkan kelak di antara seribu detak jarum
jam dinding berlari-lari berburu surup dan fajar,
penyair yang kelak tua menghisap abu terakhir
menulis penggal sajak yang juga terakhir
Ngawi, 019/021
------------------------------------------------
BULAN SUNGSANG
malam ini tak ada sajak bisa ditulis
gerimis memecah sunyi bersama bulan sungsang
tak ada yang dapat dicatat selain kenduri omong kosong
kita membikinnya semegah menara
kabut juga leret bintang kehilangan cahaya
timbunan galaksi seperti perut yang melompong
dengan rongga-rongga yang diam
jendala, di lobangnya jagat menganga
musim mendadak kembali berlari pada masa bocah
antara dendam dan jam bermain
dalam kubangan bayang-bayang
sulur pohon yang menyendiri
perempuan menghitung tulang iga suaminya
di antara jejak gerimis yang tersesat
bulan sungsang meringis seperti wajah penyair
merangkak bersama sorai malaekat dan iblis
menggambar sorga dari cuilan langit yang hitam
dalam tatapan bulan sungsang
seperti kembali belajar jatuh cinta
sebelum hujan benar-benar turun
menyempurnakan putik dan kelopak
bersamanya kelelawar menjerit
di punggung malam meledak
dari balik lobang jendela
selain sungsang bulan
apalagi yang dapat kau pandang?
Ngawi, 2021
------------------------------------------------
TJAHJONO WIDIJANTO. Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya antara lain Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpulan Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011), Penakwil Sunyi di Jalan-jalan Api (2018), Wangsit Langit (2015), Janturan (Juni, 2011), Cakil (2014), Menulis Sastra Siapa Takut? (2014), Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Kepustakaan Populer Gramedian dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010), , Compassion & Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009), dan lain-lain.
Memperoleh Penghargaan Sastra Pendidik dari Badan Pusat Bahasa (2011), Penghargaan Seniman (Sastrawan) Gubernur Jawa Timur (2014) dan Penghargaan Sutasoma (Balai Bahasa Jawa Timur, 2019). Juga sudah memenangkan berbagai sayembara menulis, antara lain Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2004), , Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010), Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009), Pemenang II Sayembara Esai Sastra Korea (2009), dan lain-lain. Saat ini tinggal di Ngawi, Jawa Timur.
Photo by Ben White/unsplash