Puisi

title

Maskumambang


Penulis: WS Rendra | Posting: 12 Juni 2021


Kabut fajar menyusut dengan perlahan.

Bunga bintaro berguguran

di halaman perpustakaan.

Di tepi kolam,

di dekat rumpun keladi,

aku duduk di atas batu,

melelehkan air mata.


Cucu-cucuku!

Zaman macam apa, peradaban macam apa,

yang akan kami wariskan kepada kalian!

Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.


Kami adalah angkatan pongah.

Besar pasak dari tiang.

Kami tidak mampu membuat rencana

manghadapi masa depan.


Karena kami tidak menguasai ilmu

untuk membaca tata buku masa lalu,

dan tidak menguasai ilmu

untuk membaca tata buku masa kini,

maka rencana masa depan

hanyalah spekulasi keinginan

dan angan-angan.


Cucu-cucuku!

Negara terlanda gelombang zaman edan.

Cita-cita kebajikan terhempas waktu,

lesu dipangku batu.


Tetapi aku keras bertahan

mendekap akal sehat dan suara jiwa,

biarpun tercampak di selokan zaman.


Bangsa kita kini seperti dadu

terperangkap di dalam kaleng utang,

yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,

tanpa kita berdaya melawannya.

Semuanya terjadi atas nama pembangungan,

yang mencontoh tatanan pembangunan

di zaman penjajahan.


Tatanan kenegaraan,

dan tatanan hukum,

juga mencontoh tatanan penjajahan.

Menyebabkan rakyat dan hukum

hadir tanpa kedaulatan.

Yang sah berdaulat

hanyalah pemerintah dan partai politik.


O, comberan peradaban!

O, martabat bangsa yang kini compang-camping!


Negara gaduh.

Bangsa rapuh.

Kekuasaan kekerasan merajalela.

Pasar dibakar.

Kampung dibakar.

Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.

Tanpa ada gantinya.

Semua atas nama takhayul pembangunan.

Restoran dibakar.

Toko dibakar.

Gereja dibakar.

Atas nama semangat agama yang berkobar.


Apabila agama menjadi lencana politik,

maka erosi agama pasti terjadi!

Karena politik tidak punya kepala.

Tidak punya telinga. Tidak punya hati.

Politik hanya mengenal kalah dan menang.

Kawan dan lawan.

Peradaban yang dangkal.


Meskipun hidup berbangsa perlu politik,

tetapi politik tidak boleh menjamah

ruang iman dan akal

di dalam daulat manusia!


Namun daulat manusia

dalam kewajaran hidup bersama di dunia,

harus menjaga daulat hukum alam,

daulat hukum masyarakat,

dan daulat hukum akal sehat.


Matahari yang merayap naik dari ufuk timur

telah melampaui pohon jinjing.

Udara yang ramah menyapa tubuhku.

Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.

Berdengung sepasang kumbang

yang bersenggama di udara.

Mas Willy! istriku datang menyapaku.

Ia melihat pipiku basah oleh air mata.

Aku bangkit hendak berkata.

Sssh, diam! bisik istriku,

Jangan menangis. Tulis sajak.

Jangan bicara.


Cipayung Jaya, 4 April 2006

------------------------------------------------


Sajak Sebatang Lisong


menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya

mendengar 130 juta rakyat

dan di langit

dua tiga cukung mengangkang

berak di atas kepala mereka


matahari terbit

fajar tiba

dan aku melihat delapan juta kanak kanak

tanpa pendidikan


aku bertanya

tetapi pertanyaan pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet

dan papan tulis papan tulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan


delapan juta kanak kanak

menghadapi satu jalan panjang

tanpa pilihan

tanpa pepohonan

tanpa dangau persinggahan

tanpa ada bayangan ujungnya


menghisap udara

yang disemprot deodorant

aku melihat sarjana sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiunan


dan di langit

para teknokrat berkata :


bahwa bangsa kita adalah malas

bahwa bangsa mesti dibangun

mesti di up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor


gunung gunung menjulang

langit pesta warna di dalam senjakala

dan aku melihat

protes protes yang terpendam

terhimpit di bawah tilam


aku bertanya

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair penyair salon

yang bersajak tentang anggur dan rembulan

sementara ketidak adilan terjadi disampingnya

dan delapan juta kanak kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian


bunga bunga bangsa tahun depan

berkunang kunang pandang matanya

di bawah iklan berlampu neon

berjuta juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau

menjadi karang di bawah muka samodra

­­­­­­­­­­­..............

kita mesti berhenti membeli rumus rumus asing

diktat diktat hanya boleh memberi metode

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

kita mesti keluar ke jalan raya

keluar ke desa desa

mencatat sendiri semua gejala

dan menghayati persoalan yang nyata


inilah sajakku

pamplet masa darurat

apakah artinya kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

apakah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan


ITB Bandung 19 agustus 1978

------------------------------------------------


Surat Cinta


Kutulis surat ini

kala hujan gerimis

bagai bunyi tambur yang gaib,

Dan angin mendesah

mengeluh dan mendesah,

Wahai, dik Narti,

aku cinta kepadamu!


Kutulis surat ini

kala langit menangis

dan dua ekor belibis

bercintaan dalam kolam

bagai dua anak nakal

jenaka dan manis

mengibaskan ekor

serta menggetarkan bulu-bulunya,

Wahai, dik Narti,

kupinang kau menjadi istriku!


Kaki-kaki hujan yang runcing

menyentuhkan ujungnya di bumi,

Kaki-kaki cinta yang tegas

bagai logam berat gemerlapan

menempuh ke muka

dan tak kan kunjung diundurkan


Selusin malaikat

telah turun

di kala hujan gerimis

Di muka kaca jendela

mereka berkaca dan mencuci rambutnya

untuk ke pesta

Wahai, dik Narti

dengan pakaian pengantin yang anggun

bunga-bunga serta keris keramat

aku ingin membimbingmu ke altar

untuk dikawinkan

Aku melamarmu,

Kau tahu dari dulu:

tiada lebih buruk

dan tiada lebih baik

dari yang lain­

penyair dari kehidupan sehari-hari,

orang yang bermula dari kata

kata yang bermula dari

kehidupan, pikir dan rasa


Semangat kehidupan yang kuat

bagai berjuta-juta jarum alit

menusuki kulit langit:

kantong rejeki dan restu wingit

Lalu tumpahlah gerimis

Angin dan cinta

mendesah dalam gerimis.

Semangat cintaku yang kuta

batgai seribu tangan gaib

menyebarkan seribu jaring

menyergap hatimu

yang selalu tersenyum padaku


Engkau adalah putri duyung

tawananku

Putri duyung dengan

suara merdu lembut

bagai angin laut,

mendesahlah bagiku !

Angin mendesah

selalu mendesah

dengan ratapnya yang merdu.

Engkau adalah putri duyung

tergolek lemas

mengejap-ngejapkan matanya yang indah

dalam jaringku

Wahai, putri duyung,

aku menjaringmu

aku melamarmu


Kutulis surat ini

kala hujan gerimis

kerna langit

gadis manja dan manis

menangis minta mainan.

Dua anak lelaki nakal

bersenda gurau dalam selokan

dan langit iri melihatnya

Wahai, Dik Narti

kuingin dikau

menjadi ibu anak-anakku!


------------------------------------------------


Orang Orang Miskin


Orang-orang miskin di jalan,

yang tinggal di dalam selokan,

yang kalah di dalam pergulatan,

yang diledek oleh impian,

janganlah mereka ditinggalkan.


Angin membawa bau baju mereka.

Rambut mereka melekat di bulan purnama.

Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,

mengandung buah jalan raya.


Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.

Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.

Tak bisa kamu abaikan.


Bila kamu remehkan mereka,

di jalan kamu akan diburu bayangan.

Tidurmu akan penuh igauan,

dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya

karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.


Jangan kamu bilang dirimu kaya

bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.

Dan perlu diusulkan

agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.

Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.


Orang-orang miskin di jalan

masuk ke dalam tidur malammu.

Perempuan-perempuan bunga raya

menyuapi putra-putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan

meraba-raba kaca jendelamu.

Mereka tak bisa kamu biarkan.


Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.

Mereka akan menjadi pertanyaan

yang mencegat ideologimu.

Gigi mereka yang kuning

akan meringis di muka agamamu.

Kuman-kuman sipilis dan TBC dari gang-gang gelap

akan hinggap di gorden presidenan

dan buku programma gedung kesenian.


Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,

bagai udara panas yang selalu ada,

bagai gerimis yang selalu membayang.

Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau

tertuju ke dada kita,

atau ke dada mereka sendiri.

O, kenangkanlah :

orang-orang miskin

juga berasal dari kemah Ibrahim


Yogya, 4 Februari 1978

------------------------------------------------


Aku Tulis Pamplet Ini


Aku tulis pamplet ini

karena lembaga pendapat umum

ditutupi jaring labah-labah

Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,

dan ungkapan diri ditekan

menjadi pengiyaan


Apa yang terpegang hari ini

bisa luput besok pagi

Ketidakpastian merajalela.

Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki

menjadi marabahaya

menjadi isi kebon binatang


Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,

maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam

Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.

Tidak mengandung perdebatan

Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan


Aku tulis pamplet ini

karena pamplet bukan tabu bagi penyair

Aku inginkan merpati pos.

Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku

Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.


Aku tidak melihat alasan

kenapa harus diam tertekan dan termangu.

Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.

Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.


Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?

Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.

Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.


Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.

Rembulan memberi mimpi pada dendam.

Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah


yang teronggok bagai sampah

Kegamangan. Kecurigaan.

Ketakutan.

Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini

karena kawan dan lawan adalah saudara

Di dalam alam masih ada cahaya.

Matahari yang tenggelam diganti rembulan.

Lalu besok pagi pasti terbit kembali.

Dan di dalam air lumpur kehidupan,

aku melihat bagai terkaca :

ternyata kita, toh, manusia!


Pejambon Jakarta 27 April 1978

------------------------------------------------


Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang


Tuhanku,

WajahMu membayang di kota terbakar

dan firmanMu terguris di atas ribuan

kuburan yang dangkal


Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia


Apabila malam turun nanti

sempurnalah sudah warna dosa

dan mesiu kembali lagi bicara

Waktu itu, Tuhanku,

perkenankan aku membunuh

perkenankan aku menusukkan sangkurku


Malam dan wajahku

adalah satu warna

Dosa dan nafasku

adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan

kecuali menyadari

-biarpun bersama penyesalan-


Apa yang bisa diucapkan

oleh bibirku yang terjajah ?

Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai

mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku

Erat-erat kugenggam senapanku

Perkenankan aku membunuh

Perkenankan aku menusukkan sangkurku


Mimbar Indonesia 18 Juni 1960

------------------------------------------------


Gerilya


Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling di jalan


Angin tergantung

terkecap pahitnya tembakau

bendungan keluh dan bencana


Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan


Dengan tujuh lubang pelor

diketuk gerbang langit

dan menyala mentari muda

melepas kesumatnya


Gadis berjalan di subuh merah

dengan sayur-mayur di punggung

melihatnya pertama


Ia beri jeritan manis

dan duka daun wortel


Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan


Orang-orang kampung mengenalnya

anak janda berambut ombak

ditimba air bergantang-gantang

disiram atas tubuhnya


Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan


Lewat gardu Belanda dengan berani

berlindung warna malam

sendiri masuk kota

ingin ikut ngubur ibunya


Siasat Th IX, No. 42 1955

------------------------------------------------


Sajak Seorang Tua untuk Istrinya


Aku tulis sajak ini

untuk menghibur hatimu

Sementara kau kenangkan encokmu

kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang

Dan juga masa depan kita

yang hampir rampung

dan dengan lega akan kita lunaskan.


Kita tidaklah sendiri

dan terasing dengan nasib kita

Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.

Suka duka kita bukanlah istimewa

kerna setiap orang mengalaminya.


Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh

Hidup adalah untuk mengolah hidup

bekerja membalik tanah

memasuki rahasia langit dan samodra,

serta mencipta dan mengukir dunia.

Kita menyandang tugas,

kerna tugas adalah tugas.

Bukannya demi sorga atau neraka.

Tetapi demi kehormatan seorang manusia.


Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu

meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.

Kita adalah kepribadian

dan harga kita adalah kehormatan kita.

Tolehlah lagi ke belakang

ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.


Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.

Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.

Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit

melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.

Dan kenangkanlah pula

bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa

menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.


Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.

Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.

Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.

Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,

nasib, dan kehidupan.


Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna

Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.

Kita menjadi goyah dan bongkok

kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita

tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.


Aku tulis sajak ini

untuk menghibur hatimu

Sementara kaukenangkan encokmu

kenangkanlah pula

bahwa kita ditantang seratus dewa.


Sajak-Sajak Sepatu Tua,1972

------------------------------------------------


Sajak Seonggok Jagung


Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda

yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,

sang pemuda melihat ladang;

ia melihat petani;

ia melihat panen;

dan suatu hari subuh,

para wanita dengan gendongan

pergi ke pasar ­­­..

Dan ia juga melihat

suatu pagi hari

di dekat sumur

gadis-gadis bercanda

sambil menumbuk jagung

menjadi maisena.

Sedang di dalam dapur

tungku-tungku menyala.

Di dalam udara murni

tercium kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda.

Ia siap menggarap jagung

Ia melihat kemungkinan

otak dan tangan

siap bekerja

Tetapi ini :

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda tamat SLA

Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.

Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu

dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .

Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.

Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.

Ia melihat saingannya naik sepeda motor.

Ia melihat nomor-nomor lotre.

Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.

Seonggok jagung di kamar

tidak menyangkut pada akal,

tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar

tak akan menolong seorang pemuda

yang pandangan hidupnya berasal dari buku,

dan tidak dari kehidupan.

Yang tidak terlatih dalam metode,

dan hanya penuh hafalan kesimpulan,

yang hanya terlatih sebagai pemakai,

tetapi kurang latihan bebas berkarya.

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya :

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing

di tengah kenyataan persoalannya?

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya mendorong seseorang

menjadi layang-layang di ibukota

kikuk pulang ke daerahnya ?

Apakah gunanya seseorang

belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,

atau apa saja,

bila pada akhirnya,

ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :

Di sini aku merasa asing dan sepi!


TIM, 12 Juli 1975

------------------------------------------------


Sajak Burung-burung Kondor


Angin gunung turun merembes ke hutan,

lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,

dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.

Kemudian hatinya pilu

melihat jejak-jejak sedih para petani buruh

yang terpacak di atas tanah gembur

namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani buruh bekerja,

berumah di gubug-gubug tanpa jendela,

menanam bibit di tanah yang subur,

memanen hasil yang berlimpah dan makmur

namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah

yang mempunyai istana indah.

Keringat mereka menjadi emas

yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.

Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,

para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,

dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir

dari parit-parit wajah rakyatku.

Dari pagi sampai sore,

rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,

menggapai-gapai,

menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,

di dalam usaha tak menentu.

Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,

dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,

dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,

berjuta-juta burung kondor,

bergerak menuju ke gunung tinggi,

dan disana mendapat hiburan dari sepi.

Karena hanya sepi

mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.

Di dalam marah menjerit,

bergema di tempat-tempat yang sepi.


Burung-burung kondor menjerit

di batu-batu gunung menjerit

bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,

mematuki batu-batu, mematuki udara,

dan di kota orang-orang, bersiap menembaknya.


Yogya, 1973


------------------------------------------------

WS RENDRA. Penyair, dramawan, pemeran dan sutradara teater kelahiran 7 November 1935 . Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Bakat sastra Rendra sudah terlihat ketika di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Dia juga piawai di panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya dan tampil sebagai pembaca puisi yang berbakat.

Ia pertama kali memublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan 70-an.

Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak"ini, pada tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater ke Depok, Oktober 1985.

Rendra meninggal dunia di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun karena menderita jantung koroner. Jenazah WS Rendra dikebumikan di kompleks Bengkel Teater, Cipayung-Citayam, Depok setelah salat Jumat.

------------------------------------------------

Sumber Puisi : Penyair Terkenal

Photo by Erwyn Ardyan-Pinterest

Share:
Puisi Lainnya