Puisi

title

Sandiwara


Penulis: Ahmad Dahlan | Posting: 01 Juli 2021


Dan jadilah kita pemain-pemain watak

di dalam sandiwara yang serba mahal ini

penonton pun bertepuk tangan kegirangan

melihat badut-badut berperanan


Di sudut ruang sana ada yang ketawa geli

Alangkah lucunya drama yang dimainkan ini

tapi di sudut hati ini ada sembilu mengiris

alangkah sedihnya komedi yang dipentaskan ini.


Dan penonton di luar panggung

yang menunggu ladang tinggal di gunung

yang menebang kayu tinggal di dalam rimba

yang mencari ikan di sungai dan rawa

tiada tahu kalau namanya dibawa-bawa

di dalam cerita beberapa adegan

kisah air mata yang tidak mengalir

kisah nestapa yang tidak mengandung duka


Dan bilamana pementasan selesai

para pemain pun bersorak-sorai

membawa oleh-oleh untuk istri

dan anak-anak manis yang menanti

Besok main sandiwara lagi

ya, bapakku yang terhormat

------------------------------------------------


Penilaian


Kupancangkan moncong meriamku

berpose di muka pelabuhan senja

bukan sekadar untuk dipandang pahlawan

tapi juga kedukaan hatiku menerima kekalahan


Kami berdesakan di tempat berdebu

dengan mata kehilangan sinar dan layu

bukan sekadar untuk dikagumi nilai budayaku

tapi juga keperihan menerima keruntuhan dinastiku


Kami yang tegak di Monumen Awang Long Senopati

dengan mulut ternganga lebar tanpa bunyi

kami yang menghuni Museum Kutai

duduk terhenyak tiada sorak-sorai

kami tidak membuat sejarah lagi

hanya terserah engkau untuk memberi arti

kepada kami yang tersungkur dari panggung

jatuh ke bawah terhuyung-huyung

terhempas tiada napas

babak baru berperan di pentas


Tenggarong, 28 Mei 1972

------------------------------------------------


Dalam Masjid


Tenangnya di rumah Tuhan ini

ketemu dalam yang kucari


Nampak surga di wajah cerah

pancaran Nur di mata ramah

wahyu mengalir di mulut merekah

mengisi imanku yang lemah


Aku yang duduk tafakur

hilang bentuk dan lebur


Bara yang membakar

padam dan pudar


Sepi dan rindu

kembali kepada-Mu


Oh, damainya di rumah Tuhan ini

------------------------------------------------


Sebuah Kisah di Tanjung Isuy


Para dara dan jejaka

Menari bersuka-ria

Berleleng dan bergantar

Berjamuq dan berburai


Para dara dan jejaka

Menyanyi bersenda-gembira

Menikmati masa remaja

Menghisap habis sari bahagia


Pesta pora ditingkatkan

Dengan bantuan orang khayangan

Banyak dara kesurupan

Banyak jejaka dapat kesempatan


Teringat aku wasiat bapak:

Jangan berpegang di ujung bahagia,

Jangan berdiri di ujung derita,

Nikmati hidup di antara suka dan duka

------------------------------------------------


Coba Jalang


Seperti kerbau saja

‘nurut komando tali

dan siksa pukulan menderu tubuh


                  Apa gaya! Apa daya!

Coba sekali bikin jalang

banting, sepak, terjang,

itu tali nanti putus-putus

dan baru kau ke luar gelanggang

bagai binatang pembina alat


1949

Masyarakat Baru, Selasa 22 November 1949

------------------------------------------------


Balik Kembali


Ini kali tiada tahan

mengembara di khayangan

mengikuti awan berarak-arakan

menuruti angin bertiup-tiupan

membuntuti margasatwa berterbangan

selamat tinggal, angkasa

aku kembali ke dunia nyata!


28 September 1947

------------------------------------------------


Sampaikanlah Pesanku


Adakah

Ombak yang menghambur

menghempaskan diri ke pantai

Kalimantan nan permai,

ombak yang datang dan pantai Jawa?

Adakah

ombak yang memecah,

melemparkan diri ke pantai

Jawa nan permai,

ombak yang datang dan pantai Kalimantan?

Kalau benar demikian, wahai ombak,

bawakan pesanku, bawakanlah

dan sampaikan hasrat kalbuku

yang membuncah dalam dadaku,

bahwa tujuanku, tujuan kami,

tetap kesatuan nan abadi..


26 Mei 1947

------------------------------------------------


Perih


Keputusan ini tentu

Seperti guntur merobek sawang

Tapi apa daya,

Apa daya?

Kita telah bikin penyakit sendiri

Bekas-bekas itu ikut kita nanti ke tiada

+ pula keputusan terakhir ini

= tikam diri, tikam diri


        Mari beri kita bertongkat

        Seperti orang tua melangkah

        Bertongkat menahan jatuh

        Akibat keputusan ini siapa


        Kuasa menyandang

        Kalau tak dipikul batin perkasa


Dan semoga kedua kaki ini

Tetap kuasa ‘mikul berat tubuh


Masyarakat Baru, 27 Desember 1949

Antologi Menyambut Fajar, 2002 .ed. H Syafruddin Pernyata-Misman RSU, Samarinda: DKD Kalimantan Timur


------------------------------------------------

AHMAD DAHLAN. Lahir di Samarinda, 17 Desember 1928 dan meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Jakarta pada Juli 1986. la merupakan tokoh penting dalam perkembangan kesusastraan di Kalimantan Timur. Dia merupakan generasi pertama penulis sastra di Kalimantan Timur bersama rekan-rekannya, seperti Haji Amir, Mansyah Usman, Maswan Dachri, Oemarmaiyah E.Hs., Achmad Noor, dan lain-lain.

Dalam menulis karya sastra ia sering menggunakan nama samaran D Adham. Tulisannya dipublikasi di Koran Masyarakat Baru yang dipimpin kakaknya Oemar Dachian, sejak tahun 1946. Sebagian sajaknya diantologikan dalam 3 yang Tidak Masuk Hitungan (1974), Apa Kata Mereka tentang 3 yang Tidak Masuk Hitungan (1975), Seorang Lelaki di Terminal Hidup (1976), Menyambut Fajar 2002), dan lain-lain.


Sumber: Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia

Share:
Puisi Lainnya