Cerpen

title

Selepas Subuh


Penulis: Norham Abdul Wahab | Posting: 09 Oktober 2021

Mbah Sukiman --begitu dia biasa dipanggil masyakarat setempat-- adalah seorang yang terlihat ramah. Di rumah, dia hidup sendiri. Padahal, rumah limasan jawa itu tergolong besar, dengan empat tiang di ruang tengahnya. Di bagian depan, ada enam daun pintu berukir indah: dua di tengah dan dua lagi terletak di sebelah kanan dan kiri rumah. Jati semua. Di beberapa sudut, di ruang tengah, tersusun karung-karung besar berisi gabah. Ketika aku tanyakan hal itu, “Lebih awet nyimpannya. Ndak ada ulernya,” jawabnya.

Sejak istrinya meninggal dunia, Mbah Sukiman memang hidup sendiri. “Dulu ada anak saudara yang nemeni, tapi sekarang sudah nikah dan tinggal ro bojo ne neng Kleco, desa sebelah,” ujar Mas Nyoto, tetangga Mbah Sukiman.

Ya, sebelum aku ke rumah Mbah Sukiman, aku sempatkan dulu mampir ke tempat Mas Nyoto, hendak mencari tahu tentang “pemilik” Masjid Rukinah ini, sambil memesan kopi dan menyantap gorengan. Mas Nyoto buka warung nasi pecel, kopi dan gorengan, di sebelah rumah Mbah Sukiman. Dia masih saudara, dan cukup banyak tahu tentang kehidupan Mbah Sukiman.

“Lha, njenengan dari mana?”

“Dari Riau, Mbah.”

“Riau-nya mana? Aku dulu pernah tugas di Riau lho, di Pekanbaru, Korem 031/WiraBima. Tapi cuma sebentar,” lanjutnya. Dia lalu menunduk kepala. Dan dengan kedua bola matanya menatap aku lebih tajam dan dalam, menyelidiki.

“Kalau lahir, saya di Bengkalis, Mbah. Tapi sejak SD sudah dibawa pindah ke Selatpanjang dan Pekanbaru,” jawabku, sekenanya.

“Oooo…,” sahutnya. Setelah itu, dia menerawang, seakan melihat kehidupannya yang pernah dijalaninya selama dia bertugas di Pekanbaru, Riau, dahulu.

Sebagai seorang tentara, masa-masa pemberontakan G30S/PKI tahun 1965 adalah masa yang paling mempengaruhi hidup Sukiman. Penuh ketegangan dan kekejaman. Susah hendak menentukan, siapa kawan dan siapa lawan. Ketika itu, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun di lingkungan kesatuan angkatan bersenjata, penuh kecurigaan dan kewaspadaan. Sebab, kaum pemberontak G30S/PKI yang hendak mengudeta dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah anak bangsa sendiri.

Sebenarnya, Sukiman pernah punya dua anak, Soeharno dan Titin, dari istrinya yang pertama, Sulastri. Namun, istri dan kedua anaknya sahid menjadi korban pembantaian sadis pemberontak G30S/PKI. Dia sangat terpukul sekali ketika itu. Menyimpan dendam yang dalam! Hatinya terbakar, dipenuhi rasa marah yang membuncah! Dan sejak itu, Sukiman tidak menikah, sampai akhirnya bertemu dengan Rukinah.

Bukan hanya keluarga Sukiman, sebenarnya, yang merasakan kekejaman dan korban pembantaian pemberontak G30S/PKI. Gerakan yang terorganisasi dan sudah menyebar merata ke seluruh wilayah NKRI ini mengancam ratusan ribu keluarga di Indonesia, dengan keberingasan mereka. Terutama yang tidak mendukung, apatah lagi yang menentang mereka.

Setelah peristiwa pemberontakan G30S/PKI yang gagal itu, Sukiman pun ditugaskan kesatuan menjadi salah satu algojo dari pasukannya: memburu, menangkap dan membunuh anggota pemberontak, yang berniat menghancurkan NKRI. Tentu saja, usaha aparat negara ini mendapat perlawanan dari mereka di banyak wilayah di Indonesia, termasuk Magetan-Madiun dan sekitarnya. Namun ada juga yang lari sembunyi dan mengubah identitas diri.

Walau begitu, tetap saja banyak yang mati di tangan Sukiman. Bahkan, terkadang juga disembelih dengan sepenuh dendam, menggunakan sangkur kebanggaan. Sukiman juga punya daftar nama orang yang akan dilenyapkan. Setiap selesai menjalankan tugas, dia akan langsung membersihkan bayonet dari darah musuh, dengan lidahnya sendiri. Hampir setiap hari, ketika itu, mulutnya selalu basah oleh darah marah yang penuh dendam itu.

Terkadang, bersama beberapa anggota kesatuan di tempatnya bertugas, dia langsung menjemput paksa orang-orang yang masuk daftar, yang ada di tangannya, tanpa banyak tanya. Setiap berhasil menangkap dan membunuh satu orang musuh negara itu, dia akan langsung mencoret nama yang bersangkutan dengan darah atau pena bertinta merah, pertanda sudah berhasil menjalankan tugas negara, pertanda sudah dieksekusi. Dia tidak kenal dan tidak mau kenal, siapa yang telah dibunuh itu.

Malam hari, Sukiman dan anggotanya akan mengevaluasi hasil kerja mereka dengan komandan pasukan yang dibentuk untuk penangkapan dan pembunuhan anggota pemberontak NKRI tersebut. Hampir semua nama dalam daftar di tangannya dapat disingkirkan. Hanya beberapa saja yang tak dapat mereka temukan dan menangkapnya. Mereka menjalani kehidupan seperti itu hampir seminggu lamanya.

Tidak hanya dari desa di sekitar rumah dan tempat bertugas --Magetan dan Madiun-- tapi juga dari tempat yang lumayan jauh juga, seperti di Ngawi, di Ponorogo, Caruban, Nganjuk. Juga di wilayah Purwantoro, Imogiri dan sampai ke Nawangan, Pacitan. Sukiman berserta anggota kesatuan, ketika itu, sangat terkenal dan ditakuti oleh anggota pemberontak G30S/PKI yang sembunyi dan lari tunggang-langgang. Bahkan, pun sekadar mendengar namanya.

Setelah usai masa pemberontakan yang menegangkan itu, Sukiman selalu terlihat bermenung-menung sendiri di depan rumah. Terkadang, dia menangis-nangis atau tertawa-tawa atau senyam-senyum sendiri. Dia disebut-sebut tetangga sebagai orang yang sangat tertekan dan tersiksa batinnya. Bahkan ada juga yang menyebutnya sudah gila. “Sampai-sampai, orang desa pada takut mau mampir ke rumah Mbah Sukiman, ketika itu,” jelas Mas Nyoto.

Mbah Sukiman adalah seorang yang masih penuh gairah hidup, sebenarnya. Walaupun, terkadang, dia lebih banyak merenung dan menerawang, kalau berkisah tentang masa lalu. Namun, ketika ditanya tentang nama masjid yang sama dengan nama istrinya, Mbah Sukiman terlihat bersemangat. “Hadiah untuk bojoku, Rukinah,” ujarnya, tersenyum, getir. Lalu, dengan gesit, dia melanjutkan cerita tentang kehidupan yang bahagia bersama istrinya tersebut.

Mbah Sukiman bertemu dengan istrinya Rukinah beberapa puluh tahun yang lalu. Mereka pertama kali berjumpa di sebuah acara mantenan anak teman mereka. “Kok ya aku jadi sueneng dan langsung kecantol,” ujarnya, mengingat. Ada senyum di bibirnya yang keriput, yang mengerut.

Ternyata, gayung bersambut. Atas jasa tuan rumah, Marwoto --begitu Mbah Sukiman menyebut nama temannya itu-- dia diperkenalkan dengan Rukinah, yang menurut Marwoto, juga sudah lama memerhatikan dirinya. Sejak itu, Sukiman sering terlihat berulang tandang ke rumah Rukinah, di Jiwan, Madiun, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berumah tangga. Ketika itu, mereka berdua sudah hampir berusia lima puluh tahun.

“Aku hampir ndak percaya, kok ya ada wong wedok ayu suka perhatikan aku dan mau jadi bojoku,” ujarnya mengingat, dengan sedikit tertawa. Giginya masih bersisa, tapi tinggal sedikit saja. Ketika itu, dia sudah purnawirawan. “Aku ndak kuat tugas lagi. Aku minta pensiun,” jelasnya. Dia lalu memperlihatkan foto istrinya Rukinah yang memang masih terlihat cantik dan berkharisma, di umur setengah baya.

Mbah Sukiman menambahkan, bahwa di acara pernikahan mereka, anak Rukinah, Budiman juga menyempatkan diri hadir ke Jiwan, Madiun, di rumah Rukinah. Budiman, adalah anak Rukinah bersama suami yang pertama. Budiman memang aktif di sebuah partai politik dan menjadi pengurus teras di Jakarta. Dan suaminya, sama dengan istri dan kedua anak Mbah Sukiman, juga meninggal dunia di masa-masa pemberontakan G30S/PKI. Selama ini Budiman berdomisili di Jakarta. Bersekolah di sana, tinggal bersama paman, adik kandung ayahnya.

Setelah mereka berumah tangga pun, Budiman masih mampir ke rumah mereka di Sugih Waras, Magetan ini, walau hanya sebentar saja, di sela kesibukan kunjungan resmi selaku anggota DPR-RI. Dalam setiap kesempatan singgah, Budiman selalu merayu ibunya agar mau pindah ke Jakarta, tinggal bersamanya. “Kita sekarang sudah semakin kuat, Ibu,” ujarnya, meyakinkan dan memberi semangat, agar Rukinah mau ikut dengannya. Mbah Sukiman selalu tidak mengerti dengan pembicaraan keakraban mereka berdua.

“Sudahlah, aku toh sudah tua. Aku mbok ya biar di sini aja, sama Bapakmu,” ujar Rukinah, menolaknya. Begitu selalu. Setelah itu, Budiman akan pergi, dan Rukinah akan segera bermanja-manja dengannya. Manjanya orang yang telah beruban semua rambutnya: minum kopi dan makan gorengan bersama, sambil senyam-senyum dan berpandang-pandangan saja. Oohh… indahnya!

Dulu, lebih kurang setahun sebelum meninggal dunia, Rukinah yang memang terkenal rajin beribadah, minta dibangunkan sebuah musala kecil, di sebelah rumah mereka. Maka dimulailah pembangunan musala tanpa nama itu. Bahkan, dinding bagian selatan musala tersebut dibuat dempet dengan rumah mereka. Ukurannya hanya 3 x 3 meter, ditambah mihrab yang menjorok di bagian barat, seukuran 1 x 1.25 meter.

Sejak itu, istrinya Rukinah senantiasa salat lima waktu di sana, bersama beberapa tetangga mereka. Termasuk Mas Nyoto, yang rajin sekali azan dan menjadi imam di sana, karena dia memang pernah nyantri di Ponpes Al Fatah, Temboro, Magetan, tidak jauh dari desanya. Sementara Mbah Sukiman hampir tidak pernah terlihat hadir bersama mereka.

Di musala itulah, Rukinah meninggal dunia. Selepas salat subuh berjemaah, seperti biasa, Rukinah melanjutkan amalan zikir paginya hingga awal waktu duha. Biasanya, setelah itu, baru dia menyiapkan kopi dan sarapan untuk mereka berdua. Namun, pagi itu, setelah lewat waktu duha, Rukinah tidak keluar dari musala. Setelah dilihat ke dalam, Rukinah ternyata masih terduduk di atas sajadahnya, dalam keadaan sudah tidak bernyawa.

Ramai kerabat dan handai taulan yang berziarah ke rumah duka. Bahkan karangan bunga memenuhi Jalan Raya Maospati--Magetan, di depan rumah mereka. Budiman, anak semata wayang Rukinah, juga hadir ketika itu. Dari Jakarta, dia berangkat dengan pesawat flight pertama menuju bandara Adi Soemarno, Solo, dan melanjutkan perjalanan dengan mobil yang sudah menunggunya di sana.

Kedatangan Budiman disambut gegap-gempita oleh kader partai yang hadir membludak di sana. Dia dielu-elukan, dengan ratapan duka. Tidak hanya oleh pengurus partai di Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo dan sekitarnya. Namun, juga terlihat pengurus partai tingkat provinsi Jawa Timur dari Surabaya, yang sengaja menyewa helikopter untuk datang ke sana. Masing-masing mereka membawa serta wartawan dari berbagai media, baik cetak maupun layar kaca, untuk meliput di rumah duka.

Di antara karangan bunga yang terpajang di sepanjang jalan itu, ada satu berukuran besar dan terletak di pintu masuk ke halaman rumah Mbah Sukiman. Karangan bunga itu dipajang, hampir bersamaan dengan kedatangan Budiman. Karangan bunga dari ketua Dewan Pengurus Pusat sebuah partai politik berkuasa:

Turut Berduka

Atas Meninggalnya

WARTIK RUKINI

Ibunda Sahabat Kami Budiman

Penyemangat Kebangkitan

Ttd

Ketua

Beberapa hari setelah wafatnya Rukinah, Mbah Sukiman bersengaja minta diantar Mas Nyoto untuk bertamu ke rumah Marwoto, teman yang dulu memperkenalkan dirinya dengan Rukinah. Di sepanjang perjalanan, Mbah Sukiman berdiam diri saja. Membisu. Membatu. Sedang di tangannya tergenggam selembar kertas. Terlihat buram, penuh coretan dan banyak bercaknya. Sekali-sekali matanya melihat lembar itu dengan seksama, seakan tak percaya.

Sesampai di rumah Marwoto, mereka berbincang serius di teras menuju ruang tamu. Sesekali, terlihat Mbah Sukiman memperlihatkan kertas itu kepada Marwoto. “Rukinah itu saudaraku. Wartik Rukini kui yo dulurku. Orangnya sama! Walaupun dia dulu adalah ketua gerakan wanita, tapi aku sangat yakin dia sudah insaf. Makanya aku manut aja ketika itu. Dia suka dan mencintai njenengan, untuk menjadi pengganti suaminya yang dibunuh tentara, ketika itu. Itu katanya. Cuma itu yang aku tahu,” ujar Marwoto, menegaskan dan memberikan penjelasan, agar tidak dipersalahkan.

Maka Mbah Sukiman pun menyodorkan kertas lusuh di tangannya kepada Marwoto. “Apakah ada nama suaminya di sini?” tanya Mbah Sukiman, tegas dan bergetar. Marwoto mengambil kertas tersebut dan membacanya satu persatu. Ditandai pada nomor tiga, tertulis WARTIK RUKINI. Sedang nomor satu dan dua, sudah tertutup darah kering yang menguning, pertanda sudah berhasil menjalankan tugas negara. Cuma itu yang sanggup dibaca. Setelah itu, semua huruf seperti hilang dari pandang mata.

Marwoto pun akhirnya berdiam diri saja. Menatap Mbah Sukiman dengan perasaan tak menentu. Dia hanya menarik napas panjang, berulang kali. Sementara Mbah Sukiman tampak berwajah sedih tak terkira. Tubuhnya lemah dan lelah. Marwoto lalu mengajak Mbah Sukiman masuk ke ruang bagian dalam rumah, dengan memapahnya.

Ya, di rumah inilah Mbah Sukiman pertama kali bertemu dengan Rukinah, yang kemudian mengisi sisa hidupnya dengan sepenuh rasa bahagia, selama beberapa puluh tahun lamanya. Setelah hari itu, dia memang sempat terlihat semakin mendiam diri. Semakin mengurung diri. Seakan-akan sedang menyesali.

Njenengan ngopi tho?” tanya Mbah Sukiman, memotong. Aku mengangguk, mengiyakan. Buyarlah renungan masa lalu Mbah Sukiman dari pikiranku. Lalu, dia beranjak ke bagian belakang rumah, dengan meninggalkan beberapa lembar foto berukuran besar, yang masih tergeletak di meja kayu jati berukir itu. Meninggalkan kesendirian aku, yang masih menatap foto-foto itu dan kembali bermesraan dengan masa lalunya yang penuh rahasia. Cukup lama! Dan malam sudah beranjak ke pukul 21.05 WIB.

“Jangan lama-lama lho natap fotonya. Nanti kecantol,” ujar Mbah Sukiman, mengejutkan aku, sambil tertawa-tawa. Dia masih sempat bersenda-gurau, rupanya. Di tangannya terlihat sebuah nampan dan dua buah gelas berisi kopi, yang mempertontonkan asap panasnya ke udara. Juga ada sebuah toples besar berisi kerupuk puli --kerupuk yang terbuat dari sisa nasi, yang dilumuri puli. Juga ada sebuah piring kaca yang berisi jemblem, parutan singkong goreng, yang dibuat bulat seperti bola, dan di dalam terdapat gula aren.

Setelah kami sedikit berbasa basi, sembari nyeruput kopi dan memakan kerupuk puli dan jemblem yang dihidang, Mbah Sukiman berkata, “Aku ini dulu, ya ndak tahu agama. Ndak tahu salat. Ndak tahu ngaji. Ndak tahu zikir. Ndak tahu ke masjid.” Nadanya getir dan luruh. Dia baru merasa tersadar dari kehidupan lalai dan sia-sia, setelah istrinya Rukinah meninggal dunia.

Ya, baru lima tahun terakhir, Mbah Sukiman terlihat rajin ke masjid. Bahkan, Mbah Sukiman juga langsung membangun Masjid Rukinah ini dengan biaya sendiri. Perencanaan dan proses pembangunan dibantu Mas Nyoto, tetangga, yang juga saudara. Sejak itu, Mbah Sukiman hampir tidak pernah tidak terlihat di masjid, di setiap lima waktu salat fardu. Sedang musala tempat Rukinah meninggal dunia, masih tetap ada di sana, di tempatnya semula. Terlihat bersih dan terawat. Mbah Sukiman sering berada di sana, mengaji dan berzikir, usai tunaikan salat fardu berjemaah di Masjid Rukinah bersama warga.

***

Aku masih berdiri di depan Masjid Rukinah, siang ini. Berbeda dengan sekitar satu tahun lalu, masjid ini kini terlihat semakin ramai. Pun rumah Mbah Sukiman, kini dipenuhi teriakan dan gurau canda anak-anak. Di depannya, bersebelahan dengan plang nama Masjid Rukinah, terpasang plang nama lain berukuran sama besar. Plang yang membuat aku bertanya-tanya:

Yayasan Sukiman-Rukinah

Rumah Yatim Piatu

dan

Tahfizh Alquran

Ketika waktu zuhur tiba dan azan dikumandangkan, aku berwudu dan masuk ke dalam masjid. Selesai qobliah, terlihat Mas Nyoto masuk ke dalam masjid. Begitu melihat aku, dia sedikit mengerenyitkan alis, lalu tersenyum dan mengucapkan salam. “Sudah lama ndak mampir ya. Balek ke Riau ya,” ujarnya. Lalu kami berbasa-basi sebentar, sebelum iqomah dikumandangkan.

Usai salat, Mas Nyoto mengajakku ke bagian dalam rumah Mbah Sukiman. Berbincang di sana. Dia menyampaikan bahwa Mbah Sukiman sudah meninggal dunia, beberapa bulan setelah aku dan rombongan pindah dari Masjid Rukinah. “Setelah njenengan pergi, dan lama ndak ke sini, dia masih sering nanyakan njenengan, “Cah Riou sing hijrah neng Mboro kui kok ra tahu rene yo,” tanyanya. Aku bilang, mungkin lagi sibuk mbah,” ujar Mas Nyoto, menuturkan.

Memang, setelah pertemuan itu, pernah sekali dua aku mampir ke rumah Mbah Sukiman, “Kebetulan lewat, mbah,” ujarku, ketika itu, sembari meninggalkan buah tangan berupa buah-buahan: jeruk, semangka dan anggur hitam non-biji. Pernah juga bawa jeruk, degan, jambu citra demak dan melon. Kami ngobrol banyak juga ketika itu, seputar sejarah kehidupan masa lalu.

Aku terkenang Mbah Sukiman yang blak-blakan. Bicara apa adanya.. Oohh…

Mas Nyoto menceritakan, hampir sama dengan istrinya Rukinah, Mbah Sukiman juga wafat selepas salat subuh berjemaah, di dalam Masjid Rukinah. “Selesai salam, tahlil dan doa, dia kelihatan mau berdiri, sambil berteriak “Allahuakbar”, lalu tiba-tiba jatuh lagi,” ujar Mas Nyoto. Ketika itu, semua jemaah masjid langsung mengerubunginya. Tapi ternyata, Mbah Sukiman sudah ndak ada. “Wajahnya cerah, tersenyum bercahaya. Subhanallah…” tambah Mas Nyoto.

Sekitar empat bulan sebelum wafat, Budiman, anak Rukinah yang tinggal di Jakarta, sempat datang lagi ke sana. Namun, tambah Mas Nyoto, sekali ini Budiman tidak sekadar singgah untuk sowan ke orang tua. Karena rupanya dia berencana mau membeli semua aset Mbah Sukiman di Sugih Waras, untuk dijadikan semacam monumen dan perkantoran partai mereka. Berapa saja harga yang disebutkan Mbah Sukiman, akan dibayarnya.

Tentu saja Mbah Sukiman sangat marah ketika itu. Dengan suara berat berwibawa, dia meminta Budiman segera pergi dan tidak perlu datang lagi ke situ. Keesokan hari, bersama beberapa saudara, tetangga dan orang kampung, Mbah Sukiman memulai proses pendirian yayasan ini. Dia menghibahkan semua hartanya, termasuk sawah yang luas di Desa Klagen, Kecamatan mBarat, Magetan, kepada yayasan. “Saya yang dipercaya ngurusnya,” ujar Mas Nyoto, menjelaskan. Cukup lama kami berbincang, hingga waktu ashar hampir tiba.

Ketika pamit, dari pintu musala yang terbuka, aku melihat Mbah Sukiman sedang salat di sana, dengan pakaian kegemarannya: sarung dan koko putih bercahaya. Di bagian kiri belakang, Rukinah ikut menjadi makmum, terselubung mukenah putih, juga bercahaya. (***)


Mboro, Kaki Lawu


-----------------------------------------------------

NORHAM ABDUL WAHAB. Dulu dikenal juga dengan nama Norham Wahab. Setelah menamatkan bangku kuliah di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta pertengahan tahun 1990-an lalu, ia kembali ke Pekanbaru dan menjadi sumbu penyala gairah kesusastraan kala itu. Lahir di Bengkalis, Riau, Norham dulu dikenal sebagai penanggungjawab halaman budaya “Sagang”, yang menjadi suplemen harian Riau Pos, edisi Ahad.

Karya cerpen, puisi, esai, dan tulisan kolomnya dimuat di beberapa media. Buku sastra yang dihasilkannya adalah kumpulan cerpen tunggal Ulat Perempuan Musa Rupat (Yayasan Sagang Intermedia, Riau; cetakan pertama 2018, cetakan kedua 2020 dalam format dwibahasa), kumpulan puisi Preman Simpang (Taresi Publisher, Jakarta; 2018), kumpulan puisi Tuah Uzlah (TareBooks, Jakarta, 2019), kumpulan puisi Gila Bayang (TareBooks, Jakarta, 2020).

Menghilang cukup lama, mantan jurnalis senior ini kini aktif di jalan dakwah wa tabligh, sambil menjalankan sejumlah perniagaan. Sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktu di sebuah desa kecil di kaki Gunung Lawu: Desa teMboro, Karas, Magetan, Jawa Timur, bersama istri dan ketiga anaknya, yang mondok di Ponpes Al Fatah, Temboro, untuk belajar tahfizh alQuran dan diniah.


Ilustrasi: Bisman Nainggolan

Share:
Cerpen Lainnya