Ini sepatah kata
Selalu terdengar
Setiap hati
Bagai berjanji
Ramai permai
Demi cinta mula bersemi
Cinta
Kalau orang arif hakikat cinta
Maka tiadalah cinta itu air mata saja
Jiwa berlagu bagai nafiri
Lagu pengorbanan suci abadi
Awal Mei 1948, Masyarakat Baru, 28 Mei 1948
------------------------------------------------
Aku Takut
Berbisik nafsu
Bikin ini dunia
Jadi surga
Rampas dan tipu!
Oh.. Nafsu
Aku bukan takut menipu
Aku tak gentar merampas
Tapi aku sangat takut
Kalau aku
Bukan lagi hamba Tuhanku!
Masyarakat Baru, 12 Maret 1948
------------------------------------------------
Impian
Aku lari dengan sisa harapan
Ingatan pada semerbak harum-haruman
Di situ tinggal cintaku terakhir
Dan ceritanya kusimpan erat
Dalam mesra cahaya purnama
Bila kuhentikan langkah sejenak
Di bawah rimbun pohon-pohon
Angin pun datang dari kejauhan
Menjadikan daun-daunan gemerisik
Dan hatiku lalu berbisik
Sekarang aku jadi kuda pacuan
Mengejar harapan di sela rumput-rumputan
Biar dia mau larikan lagi
Tapi akan kuintip ia setelah ini
Dalam selubung malam kebiru-biruan
Dan lalu hatiku jadi impian
Penghujung November 1949, Masyarakat Baru 6 Desember 1949
Antologi Menyambut Fajar, 2002. editor H Syafruddin Pernyata – Misman RSU, Samarinda: Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kaltim
------------------------------------------------
Suatu Malam dalam Tahun 1995
Malam panas membakar gelisah
di luar bulan tergantung rendah
Laut, pantai dan pepohonan
gunung dan burung, segala yang indah
sudah saling terpisah
Sambil menenggak minuman
di gelas yang penghabisan
sepasang manusia masuk kamar
cup, cup, lalu bubar
Biar berdekatan kita teramat jauh
walau tidak janji saling menyendiri
kita seakan tidak berkenalan lagi
------------------------------------------------
Memandang Samarinda dari Gunung Selili
Memandang Samarinda dari perbukitan Selili
di bawah mengapung atap-atap toko, gedung dan
kapal bertambat, perahu ketinting
laksana merayap
Di Mahakam ada kapal yang melabuh jangkar
ada yang datang, ada yang pergi
memuat kayu bundar
Memandang Samarinda dari perbukitan Selili
jauh kehijauan melempar senyum
jauh di bawah sana dunia hijau semata
sementara hati ikut melayah kabut merendah
Di sini aku lahir
entah di mana aku mati
------------------------------------------------
Ular dan Manusia
Ular dan manusia sudah teken perjanjian
permusuhan abadi
lalu menjadi musuh bebuyutan
Sejak dua-duanya terlempar dari surga
sepanjang sejarah merayaplah keduanya
masing-masing menyimpan dendam membara
Hutan, rimba dan semak dibersihkan
tapi ular mengintai siang dan malam
Mengapa ular menggigit manusia sampai mati
Mengapa manusia membunuh ular sampai mati
Tidak ada damai antara keduanya
mungkin sampai mereka
dipersilakan masuk surga kembali
------------------------------------------------
Politik
Hai pendukung Orde Reformasi
Hai orang-orang status quo
Hai para mahasiswa
juga elite politik
juga yang mendirikan ratusan parpol
siapa saja, di mana saja
termasuk provokator
Kalian adalah alat sejarah
kalian dinilai oleh sejarah
Di tengah kemelut yang menyita harta,
tenaga, uang dan nyawa
kalian sesekali mungkin padaku
Namaku sederhana saja
kalaupun terlupa
catat dengan jujur:
namaku Machiavelli
Maret 1999
Secuil Bulan di Atas Mahakam, 1999 Editor Syafruddin Pernyata dkk, Samarinda: Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur
------------------------------------------------
Hatiku di Tanah Suci
1
Hati terguncang di Masjid Nabawi
di depan makammu, makam kedua sabatmu, ya Rasul
salawat dan salam serta doa untukmu
sahabat, keluarga serta pengikutmu dan segala zaman
Raudah, serta semua bagian dan liku Masjidmu
membuat terguncang hatiku
2.
Aku datang memenuhi panggilan-Mu
aku datang di sisi rumah-Mu
aku sujud merasakan kebesaran-Mu
Menapak tilas jejak Rasulullah
dan Arafah, Muzdalifah, Mina
dengan hangat air mata menghayati
masa dulu, sekarang, masa yang abadi
Aku penuhi panggilan-Mu
Engkau Maha Esa
Penguasa jagat semesta
Tidak ada sekutu bagi-Mu
Makkah, 28 Mei 1994
------------------------------------------------
ACHMAD NOOR. Lahir 23 Desember 1934 (sumber lain menyebutkan 23 Desember 1935). Kadang namanya ditulis Ahmad, tanpa huruf “c”. Ia termasuk sastrawan penting dalam perkembangan sastra di Kalimantan Timur. Sejak usia 13 tahun telah menyiarkan sajak-sajaknya dalam koran Masyarakat Baru yang dipimpin Oemar Dahlan. Koran Republikein ini terbit 1 Agustus 1946. Karyanya disiarkan media massa lokal, RRI Samarinda, serta di media massa Jakarta, Bandung, diantaranya di Mimbar Indonesia, Siasat, Zenith, Pusparagam, dan lain-lain. Selain puisi, ia juga menulis cerpen, cerita bersambung, dan sandiwara radio. Karyanya dimuat dalam 3 yang Tidak Masuk Hitungan (1974), Seorang Lelaki di Terminal Hidup (1974), Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999), Menyambut Fajar (2002), dan lain-lain.
Sumber: Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia
Photo by Mayur Gala/Unsplash