Puisi

title

Cinta


Penulis: Achmad Noor | Posting: 02 Juli 2021


Ini sepatah kata

Selalu terdengar

Setiap hati

Bagai berjanji

Ramai permai

Demi cinta mula bersemi

         

          Cinta

          Kalau orang arif hakikat cinta

          Maka tiadalah cinta itu air mata saja

          Jiwa berlagu bagai nafiri

          Lagu pengorbanan suci abadi


Awal Mei 1948, Masyarakat Baru, 28 Mei 1948

------------------------------------------------


Aku Takut


Berbisik nafsu

Bikin ini dunia

Jadi surga

Rampas dan tipu!


Oh.. Nafsu

Aku bukan takut menipu

Aku tak gentar merampas

Tapi aku sangat takut

Kalau aku

Bukan lagi hamba Tuhanku!


Masyarakat Baru, 12 Maret 1948

------------------------------------------------


Impian


Aku lari dengan sisa harapan

Ingatan pada semerbak harum-haruman

Di situ tinggal cintaku terakhir

Dan ceritanya kusimpan erat

Dalam mesra cahaya purnama


Bila kuhentikan langkah sejenak

Di bawah rimbun pohon-pohon

Angin pun datang dari kejauhan

Menjadikan daun-daunan gemerisik

Dan hatiku lalu berbisik


Sekarang aku jadi kuda pacuan

Mengejar harapan di sela rumput-rumputan


Biar dia mau larikan lagi

Tapi akan kuintip ia setelah ini

Dalam selubung malam kebiru-biruan

Dan lalu hatiku jadi impian


Penghujung November 1949, Masyarakat Baru 6 Desember 1949

Antologi Menyambut Fajar, 2002. editor H Syafruddin Pernyata – Misman RSU, Samarinda: Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kaltim

------------------------------------------------


Suatu Malam dalam Tahun 1995


Malam panas membakar gelisah

di luar bulan tergantung rendah


Laut, pantai dan pepohonan

gunung dan burung, segala yang indah

sudah saling terpisah


Sambil menenggak minuman

di gelas yang penghabisan

sepasang manusia masuk kamar

cup, cup, lalu bubar


Biar berdekatan kita teramat jauh

walau tidak janji saling menyendiri

kita seakan tidak berkenalan lagi


------------------------------------------------


Memandang Samarinda dari Gunung Selili


Memandang Samarinda dari perbukitan Selili

di bawah mengapung atap-atap toko, gedung dan

kapal bertambat, perahu ketinting

laksana merayap


Di Mahakam ada kapal yang melabuh jangkar

ada yang datang, ada yang pergi

memuat kayu bundar


Memandang Samarinda dari perbukitan Selili

jauh kehijauan melempar senyum

jauh di bawah sana dunia hijau semata

sementara hati ikut melayah kabut merendah


Di sini aku lahir

entah di mana aku mati


------------------------------------------------


Ular dan Manusia


Ular dan manusia sudah teken perjanjian

permusuhan abadi

lalu menjadi musuh bebuyutan


Sejak dua-duanya terlempar dari surga

sepanjang sejarah merayaplah keduanya

masing-masing menyimpan dendam membara


Hutan, rimba dan semak dibersihkan

tapi ular mengintai siang dan malam


Mengapa ular menggigit manusia sampai mati

Mengapa manusia membunuh ular sampai mati


Tidak ada damai antara keduanya

mungkin sampai mereka

dipersilakan masuk surga kembali


------------------------------------------------


Politik


Hai pendukung Orde Reformasi

Hai orang-orang status quo

Hai para mahasiswa

juga elite politik

juga yang mendirikan ratusan parpol

siapa saja, di mana saja

termasuk provokator


Kalian adalah alat sejarah

kalian dinilai oleh sejarah


Di tengah kemelut yang menyita harta,

tenaga, uang dan nyawa

kalian sesekali mungkin padaku


Namaku sederhana saja

kalaupun terlupa

catat dengan jujur:

namaku Machiavelli


Maret 1999

Secuil Bulan di Atas Mahakam, 1999 Editor Syafruddin Pernyata dkk, Samarinda: Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Timur

------------------------------------------------


Hatiku di Tanah Suci


1

Hati terguncang di Masjid Nabawi

di depan makammu, makam kedua sabatmu, ya Rasul

salawat dan salam serta doa untukmu

sahabat, keluarga serta pengikutmu dan segala zaman


Raudah, serta semua bagian dan liku Masjidmu

membuat terguncang hatiku


2.

Aku datang memenuhi panggilan-Mu

aku datang di sisi rumah-Mu

aku sujud merasakan kebesaran-Mu


Menapak tilas jejak Rasulullah

dan Arafah, Muzdalifah, Mina

dengan hangat air mata menghayati

masa dulu, sekarang, masa yang abadi


Aku penuhi panggilan-Mu

Engkau Maha Esa

Penguasa jagat semesta

Tidak ada sekutu bagi-Mu


Makkah, 28 Mei 1994


------------------------------------------------

ACHMAD NOOR. Lahir 23 Desember 1934 (sumber lain menyebutkan 23 Desember 1935). Kadang namanya ditulis Ahmad, tanpa huruf “c”. Ia termasuk sastrawan penting dalam perkembangan sastra di Kalimantan Timur. Sejak usia 13 tahun telah menyiarkan sajak-sajaknya dalam koran Masyarakat Baru yang dipimpin Oemar Dahlan. Koran Republikein ini terbit 1 Agustus 1946.  Karyanya disiarkan media massa lokal, RRI Samarinda, serta di media massa Jakarta, Bandung, diantaranya di Mimbar Indonesia, Siasat, Zenith, Pusparagam, dan lain-lain. Selain puisi, ia juga menulis cerpen, cerita bersambung, dan sandiwara radio. Karyanya dimuat dalam 3 yang Tidak Masuk Hitungan (1974), Seorang Lelaki di Terminal Hidup (1974), Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999), Menyambut Fajar (2002), dan lain-lain.


Sumber: Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia

Photo by Mayur Gala/Unsplash

Share:
Puisi Lainnya