ketika jendela perlahan terbuka
berkilauan embun menetes
di ujung daun-daun
bumi pun basah
kita kembali bangkit
merentas embun yang bergayut
di ujung kaki
dan adakah yang bermakna
saat merasakan mimpi berselimut malam
atau tak seharusnya selalu terbayangkan
hingga pada perkisaran waktu
bersinar cahaya di langit pagi
betapa terang kehidupan
untuk dipandang
lantas,
kita pun mempersiapkan langkah
untuk mewujudkan suatu harapan
meskipun dalam kerja yang sederhana
MS Koloq, '89
------------------------------------------------
Kepada Langit Setinggi Pandang
Kepada langit setinggi pandang
berbisik mata di hati dalam
kadang termangu tengadah perlahan
apakah sungguh percaya penuh
Begitulah atas kesaksian
kemanusiaan kita
hingga baik buruk
antara keinginan dan kesabaran
Sementara kaca cakrawala
pantulkan cahaya
O, seakan rawan
deru angin berkabar sayup
Tentang hidup yang fana
terlintas getar
pada setiap hembusan napas
sebentar gema menggapai rasa
Dan selagi bayangan
belum terlupa dan hubungan teduh
entah dalam doa, terpandang surga
ah, tak habis renung dalam beribu sajak
O, ke manakah kelak suara terdengar
untuk kemudian memanggil segala kasih
selama diri mempersiapkan tujuan
adakah sudah di bumi ini, bermakna isi
Sedang di keluasan langit
betapa tak terduga rahasia, memendam misteri!
Tgr., '84
------------------------------------------------
Pada-Mu Tuhan
dari segala puji kuasa penuh
deru kalbu guruh dalam doa
kuseru rasa mendalam renung
sejauh pandang kulambungkan sanjung
segapai tenaga menjulang ke langit angkasa
rindu misteri
dalam diri
sekejap sayup
sedang keteduhan dambaan nikmat sejati
kuingin sampai segala sungguh
dan segala penuh rasa menimbang
pada-Mu Tuhan,
dan segala risau menikam bimbang
dalam harap yang tak henti penuh akrab
aku ingin kasih segala bersih
teguh bersemayam merasuk sukma
sementara apa yang bisa kuucapkan
lebih nikmat berkata resap
hingga tenteramlah aku jadi manusia
jika ajal menagih berulang sayang
pada kenangan yang paling terdalam
pada-Mu Tuhan,
apa pun yang menyatukan
dalam intisari rahasia alam semesta
takkan kupalingkan wajahku
baiklah hingga kelam bumi
jika malaikat mesti memburuku
tetaplah ya, Illahi
aku minta cahaya
Kutai, '85
Secuil Bulan di Atas Mahakam, 1999. Editor Syafruddin Pernyata dkk., Samarinda: Komite Sastra DKD Kaltim
------------------------------------------------
Kata di Balik Sajak
Berdiam hati pada kata
Berdiam diri pada hati
Agaknya ada sesuatu yang berbisik
Pada jiwa gelisah kata
Tak tahu jawab yang ingin kutahu
Walau tak dimengerti oleh siapa pun
Atau sesuatu yang tak wajar untuk dipersoalkan
Entah siapa pun senang atau tidak
Ah, kecuali kesetiaan dipelihara rasa sabar
Lantas membaca suatu kebijaksanaan
Dan memberi anti pada kehidupan
Adalah kata di balik sajak!
MS Koloq, '95
------------------------------------------------
MASRIADY MASTUR. Lahir di Sanga-Sanga, 5 Mei 1957. Menempuh pendidikan dasar hingga menengah atas di Tenggarong. Sejak duduk di bangku sekolah, dia sudah menulis puisi. Setelah lulus sekolah, ia mulai menunjukkan kemampuan dengan mengikuti berbagai kegiatan sastra. Ia kerap menggunakan nama samaran ES Koloq atau MS Koloq. la telah menulis hampir seratus judul puisi dan beberapa di antaranya sudah dibukukan. Pada tahun 1978, ia mengikuti acara pembacaan puisi karya Ahmad Dahlan.
Di samping gemar membuat puisi, Masriady juga menyukai seni teater, seni tari, dan seni fotografi. Berkat bantuan Lembaga Pengembangan Kebudayaan Kutai Kartanegara (LPKK), ia mengikuti kursus seni di Padepokan Bagong Kussudiardja Yogyakarta dan bergabung dengan Teater Gandrik pimpinan Butet Kertaradjasa (1987).
Bersama Yaya WS, dia kemudian mendirikan dan membina Teater Gong Tenggarong. Anggota teaternya kini mencapal seratusan orang dan telah beberapa kali mengadakan pementasan, baik di Tenggarong maupun di Samarinda. Pada tahun 1980-an, ia juga tergabung dalam Teater Total di LPKK pimpinan Zailani idris.
Karya-karyanya terbit dalam berbagai buku antologi puisi bersama, misalnya Tempoyak (1980), Topeng (1981), Riak (1986), Menepis Ombak Menyusuri Sungai Mahakam (1999), dan Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999). Puisi karya Masriady yang paling berkesan baginya adalah puisi berjudul Sebuah Renungan. Puisi tersebut pernah dipentaskan secara teatrikal oleh Teater Bintek (Bina Teater Kutai Kartanegara). Sastrawan ini tutup usia pada bulan Mei 2008.
Photo by Jaimie Phillips/Unsplash