bagi kelahiran di ujung pagi
sebuah nyawa di pangkuan dunia
besok dua putra jadi
kebanggaan ibu-bapa
kami punya penghuni lagi
dan harapan-harapan di fajar menyingsing
ibunda, terimalah sebuah nyawa
yang bakal memuliakan tanah pertiwi
SK Pembina, 1957
------------------------------------------------
Ingatlah, Oi
Itu wajah sudah kerut-kerut tua
Apalah lagi bertingkah seperti muda-mudi
Lanjut usia tidak mungkin kembali belia
Meskipun dihias rias
Itu wajah sudah kerut-kerut tua
Apalagi hendak memagut dunia
Berhenti jualah berbuat olah
Hidup ini hanya tempat singgah
Diri yang sudah tua bangka
Umur yang semakin lanjut
Dipikir-pikir jualah,
Oi.
Dan hitam semakin hitam
Berlumut sekali di lubuk hati
Titik hitam menikam menghunjam
Mengapa tiada sadarkan diri?
Hari ini atau hari esok
Datang titah Allah
Untuk segera hijrah
Ke alam barzah
Maka ingatlah, oi
3 yang Tidak Masuk Hitungan, 1974. Ahmad Dahlan dkk.,
Samarinda: Budaya
------------------------------------------------
BURHAN DAHLAN. Lahir di Samarinda, 3 Oktober 1931 dan saudara kandung penyair Kaltim Ahmad Dahlan. MeninggaI dunia di Samarinda pada 5 Juni 2000, berselang sembilan hari setelah wafatnya Haji Amir, rekannya sebagai penyair generasi awal dalam sejarah sastra di Kalimantan Timur. Di dekat rumahnya, di Jalan Sendawar tinggal rekan penyair seangkatannya, H Hasani HA, yang pernah menjadi Ketua Sanggar Seni Sastra Samarinda. SeteIah lulus HIS (Hollandsch Inlandsche School - sekolah dasar pribumi pada masa penjajahan Belanda), ia pernah menjadi pengantar koran Borneo Shimbun di zaman Jepang. Kemudian ia menjadi pegawai Departemen Penerangan di Samarinda, redaksi koran Pembina, Kepala Biro Rektorat Universitas Mulawarman, dan Kepala Hubungan Masyarakat Universitas M ulawarman. Sajak-sajaknya sebagian diterbitkan dalam Seorang Lelaki di Terminal Hidup (1974), 3 yang Tak Masuk Hitungan (1974), Apa Kata Mereka tentang 3 yang Tak Masuk Hitungan (1975), Menyambut Fajar (2002) dan lain-lain.
Photo by Isaac Quesada/Unsplash