Kenapa dikau masih dalam perjalanan
Matahari dan bulan penunjuk jalan
Nabi dan Rasul sudah dipancangkan
Selama makhluk dan insan memberi salam selamat jalan
Tiada kerajaanmu diciptakan
Dalam titik awal perjalanan
Sudah penuh dengan puji dan celaan
Seharusnya tanyakan padaku
Aku akan memberi jawab padamu
Semuanya adalah kerajaan
Tasdikkanlah, aku puas hanya
Bayangan, dalam Kun, Nya
Samarinda, 1973
------------------------------------------------
Dengan Nikmat-Mu
Berbisik warna di mataku
Membelai suara di anak telingaku
Hingga ujung rambutku
Dalam lubuk hatiku
Kudengar belaian kasih-Mu
Betapa dikau manjakan daku
Karena kasih-Mu
Pedih sangat peringatan-Mu
Untuk pagar kebenaran-Mu
Kasih sayang kepada hamba-Mu
Dan berbisik mencuil hatiku
Napas berganti membawa langkahku
Betapa panas mesin gairahku
Embun menetes salju hatiku
Betapa aku dengan izin-Mu
Boleh berkata bersenda gurau
Dengan nikmat-Mu
Apa Kata Mereka tentang 3 yang Tidak Masuk Hitungan, 1975, Samarinda: Budaya
------------------------------------------------
Aku Kekasihmu
Jikalau aku kuasa
kuingin kembali ke awal dunia
sampai mengenal yang mulia
agar lepas dan siksa neraka
Kuhadap wajahku
kupandang wajahmu
kulepas pendengaranku
kudengar suara kalammu
Betapa semula daku
meninggalkanmu
tapi demi kasihmu
kurasakan selalu pandanganmu
Kurasakan dikau
menjelajah tubuhku
tiada jarak aku
patutkah aku khianat
aku kekasihmu
Samarinda, April 1974
(judul lain puisi ini tertulis “Sajak” yang dimuat dalam naskah mamanda Syair Putri Junjung Buih)
------------------------------------------------
Kita Dekati
Kau akui ia Laisa
Kau akui ia kuasa
Sebenarnya, demi masa
Kenapakah masih jua bertepuk dada
Mari naik ke puncak aras- Nya
Menonton keempat Malaikat
Beribu berjuta tiada, lidah...
Dapat menghitungnya hanya bayangan titik
Kilatan Nurnya
Mari kita dekati
Ia akan turun bersama kita
Berdiam dan bergerak dengan iramanya
Tongkat Musa akan berlalu
Pintu Syir akan terbuka
Rindu kasih bersamanya-Nya
------------------------------------------------
Puji Syukur Kepada-Mu
Nun sekian abad yang lalu
Kau pardu daku khalifah- Mu
Sebelum aku tiada
Hingga dari tiada ada
Berabad-abad dengan hitunganku
Kau hampari permadani
Perjalananku
Kini aku nyenyak lupa terpaku
Akan janji di hadapanku
Ya, Allah ke mana aku pergi
Ke mana aku pergi dan lari
Kasih-Mu terpatri di hatiku
Rahmat-Mu terjeli di tubuhku
Cukuplah sudah
Kataku puji syukur kepada-Mu
Samarinda, 1973
Seorang Lelaki di Terminal Hidup, 1976, Samarinda: Budaya
------------------------------------------------
KADRIE OENING. Lahir di Samarinda 1923. Dia lulus OSVIA (SekoIah Pamongpraja) di Makassar dan kemudian terjun di birokrasi. Ia pernah menjabat wedana di Penajam, camat di Samarinda Seberang dan Balikpapan.Selama dua periode (1969-1979), ia menjabat wali kota Samarinda. Sejak muda, Kadrie menyukai dunia sastra dan teater. Ia sering mementaskan karya dramanya di Balai Prajurit Samarinda. Sejumlah puisinya disertakan dalam antologi Seorang Lelaki dl Terminal Hidup dan Apa Kata Mereka tentang 3 yang Tidak Masuk Hitungan. Kadrie meninggai dunia di Samarinda pada 8 Juni 1989 akibat penyakit jantung.
Sumber: Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia
Photo by Masjid Pogung Dalangan/Unsplash